Mohon tunggu...
Suhermanto Yasduri
Suhermanto Yasduri Mohon Tunggu... wiraswasta -

Pembelajar seumur hidup

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Valhalla

19 Januari 2015   08:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:50 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku terbangun oleh sengatan matahari yang membakar punggungku. Nafasku tersengal. Wajahku terbenam di pasir hitam. Seluruh persendianku kaku dan nyeri. Aku menjerit kesakitan ketika membalikkan badan. Ada panah yang menancap di bahu kiriku. Aku nyaris telanjang. Setelah berhasil duduk baru aku merasakan sakit yang luar biasa di sekujur tubuh. Ada goresan di lengan kiri atas, ada luka menganga di kepala, ada sayatan panjang di tangan kanan. Aku berada di tengah tengah padang luas seperti tak bertepi. Aku tidak sendiri. Ribuan manusia dengan kondisi yang sama bergelimpangan di sekitarku.

Tiga kali aku mencoba untuk bangkit, tiga kali aku tersungkur. Ada patahan tombak menancap di paha kananku. Sebuah perisai terikat di tangan kiriku. Rompi besi melilit badanku. Kedua benda tersebut terasa sangat berat. Aku butuh benda tajam untuk memotong tali pengikat benda - benda itu. Secepat kilat aku cabut mata tombak di paha. Panah di bahu kiri juga kucabut. Sekali lagi aku menjerit kesakitan lalu kembali tersungkur. Darah mengalir dari luka - luka yang aku derita. Dengan mata tombak berlumur darahku, aku potong tali yang membelitku. Akhirnya aku bisa berdiri. Tenyata aku memang sendiri. Sosok - sosok yang bergeletakan di sekitarku semuanya sudah kaku dan membiru. Kuseret kedua kaki yang semakin sulit diajak kompromi. Baru mencapai beberapa langkah, tiba tiba badanku mengejang. Gelap.

Kali ini aku dikejutkan oleh rasa sakit di kaki kiriku. Ada seekor anjing liar sedang menggigit gigit kakiku. Secara refleks aku tendang serigala tersebut dengan kaki kiriku. Dia terpental dan melolong. Dia tidak sendiri. Lolongan mereka bersahutan. Mereka sedang berpesta. Sebentar lagi memang senja akan turun. Aku tidak mau menjadi santapan anjing liar! Aku mengumpulkan benda - benda tajam yang ada di sekitarku. Sebilah pedang berhasil kutarik dari bawah sebuah reruntuhan kereta perang yang terbakar. Perlahan aku beringsut menjauhi kawanan serigala lapar. Rupanya pergerakanku menarik perhatian mereka. Aku dikepung. Aku mengayun ayunkan pedang ke arah mereka. Mereka terprovokasi. Racun panah membuat tangan kiriku nyaris tidak berfungsi. Dengan menahan nyeri aku genggam anak panah api di tangan kiri. Aku berusaha menghindari serangan serigala dari sisi kiri. Di situlah kelemahanku saat ini. Sisa sisa bara api peperangan kutendang ke arah mereka. Berhasil. Mereka melolong lalu berlari menjauhiku. Sebelum mereka kembali, aku berlari ke arah bukit di sisi barat padang kematian yang masih agak terang. Aku menuju ke arah matahari.

Semakin mendaki kondisi di atas bukit semakin terang. Aku kerahkan segenap tenaga untuk berlari menjauh padang kematian. Haus, lapar, dan lelah.  Tercium bau busuk di udara. Semakin cepat aku berlari mengejar matahari. Pemandangan berganti. Sekarang banyak belukar berduri yang kutemui berdiri di tepi jalan yang kulalui. Ribuan anak panah, tombak, pedang, trisula, gada, dan bangkai kereta berserakan di sepanjang jalan. Tidak ada lagi sosok - sosok membusuk yang aku temui di padang tandus berduri.

Ketika nafasku hampir terputus, pemandangan kembali berganti. Tersua hamparan rumput hijau di depan mata. Ada telaga di tengahnya. Air! Aku mempercepat ayunan kakiku menuju air telaga yang beriap riap memantulkan sinar matahari senja. Aku terperangah ketika dari balik rerimbunan pohon ara ternyata ada perkemahan. Satu tenda besar di tengah dikelilingi lima tenda dengan ukuran lebih kecil. Di puncak tenda besar berkibar umbul umbul warna kuning kunyit dan hijau daun. Itu pasti kemah sang raja. Ternyata di bagian belakang ada dua tenda lagi berbentuk persegi tempat ternak dan kuda. Sepi. Hanya ringkikan kuda - kuda yang riuh terdengar. Meskipun rasa lapar dan haus semakin meraja, aku memutuskan untuk memeriksa keadaan di sekitar perkemahan. Aku tidak menemukan seorang pun. Seluruh tenda masih komplit isinya. Perabotan, simbol - simbol kerajaan, tempat tidur beraroma melati semua masih tertata rapi. Di kemah utama bahkan aku menemukan meja makan yang penuh dengan hidangan lezat siap santap. Aku menyerah pada godaan. Aku melakukan tindakan yang kurang terpuji. Aku ambil beberapa buah dan minuman. Aku tahu hukuman apa yang akan kuterima jika sang penguasa memergokiku saat itu.

Sebelum gelap benar benar menyelimuti, aku berlari berkeliling menyalakan obor - obor penerangan. Ada 117 buah obor yang berhasil kunyalakan. Setelah sejenak melepas penat, aku menceburkan diri ke telaga. Usai mandi aku masuki kemah di sisi kanan yang kuyakini tempat para perwira. Aku membutuhkan pakaian. Dari peti - peti kayu jati yang berjajar aku memilih pakaian yang aku butuhkan. Setelah itu menunggu. Karena lelah, aku tertidur di kemah perwira.

Matahari sudah agak tinggi ketika aku terbangun. Kembali kurasakan sejuknya air telaga. Tapi aku tidak bisa berlama lama. Aku memutuskan, apabila sampai tengah hari tidak ada seorang pun yang datang maka aku akan pergi. Setelah kuhitung ternyata di istal ada 99 ekor kuda. Mereka adalah kuda - kuda terbaik milik kerajaan. Dari sekian banyak kuda, aku menemukan pilihan hatiku. Kuda jantan hitam legam. Sangat gagah. Ketika aku mendekatinya, dia menyalamiku dengan takzim. Kepalanya disandarkan di pundakku. Dia mencoba berkomunikasi denganku. Setelah palang pintu kandang aku buka, si legam keluar perlahan. Dia menyuruhku membuka seluruh palang pintu agar teman - temannya bisa bebas. Aku melepaskan seluruh kuda  milik kerajaan. Aku seharusnya dihukum mati!

Sebelum meninggalkan perkemahan, si legam memintaku untuk mengajak serta kuda betina berwarna coklat. Aku tidak keberatan, malah bersyukur. Kuda - kuda berkelompok membentuk 7 kawanan yang segera berlari menuju arah yang berlainan. Dari cara mereka berlari aku tahu mereka kuda yang sangat terlatih. Belari dengan elegan. Kami bertiga meninggalkan perkemahan paling akhir. Tak lupa aku membawa bekal makanan yang kira kira cukup sampai esok hari. Sebelum matahari condong ke barat kami sudah sampai di tepi jurang. Buntu. Di bawah kami mengalir sebuah sungai. Untuk menuju ke sungai, kami harus kembali mengitari bukit lalu menuruni lembah di sisi utara. Tapi si legam tidak mau beranjak. Dia minta aku memasang tenda. Sebelum tenda sempurna terpasang, tiba tiba si coklat meringkik keras memanggil kami. Dia menemukan sebuah gua di pinggang bukit cadas. Tenda urung kupasang. Bergegas aku memeriksa keadaan gua dan sekitarnya. Gua ini terasa hangat. Ada sisa api unggun di sudut kanan. Ketika dirasa aman, aku segera merebahkan badan. Sementara kedua sahabat baruku keluar mencari makanan. Sebelum mataku tertutup aku melihat mereka kembali. Mereka mengambil posisi tidur di dekatku.

Si legam membangunkanku dengan ekornya. Hari masih pagi ketika aku membersihkan diri di sungai. Kedua sahabatku mengitari sekitar bukit untuk mencari makanan. Dari tengah sungai pandangan mataku tidak lepas dari mereka. Aku sekadar meyakinkan diri mereka baik baik saja. Sebelum melanjutkan perjalanan, kantong - kantong kulit kuisi dengan air untuk bekal. Si legam mengisyaratkan agar kita berjalan menuju ke arah matahari terbenam. Di sanalah letak kotaraja. Padahal itu berarti kita harus menyeberangi sungai lalu menyeberangi padang pasir sesudahnya. Aku ragu. Si legam melenguh dan meringkik meyakinkan diriku. Dia memintaku untuk tetap berada di punggungnya selama mengarungi lautan pasir. Mungkin diperlukan waktu seharian untuk mencapai ujung barat gurun tandus ini, begitu perkiraanku. Tapi si legam dengan mantapnya melangkahkan kaki - kakinya diiringi si coklat. Angin gurun yang panas menerpa muka dengan keras. Akan ada badai gurun. Semakin lama angin bertiup semakin kencang. Kedua mataku tertutup menghindari butiran pasir mengenani mata. Perkiraanku meleset. Sebelum tengah hari kami telah sampai di sebuah hutan dengan pohon - pohon ukuran raksasa. Pepohonan di hutan ini benar benar gigantik ukurannya. Sebagian sedang berbuah. Kedua sahabatku berhenti di bawah pohon yang buahnya seperti buah persik. Aku mengumpulkan beberapa buah lalu kuberikan pada kedua binatang yang sekarang menjadi sahabatku. Mereka melahap semua buah yang kuberikan. Aku harus berburu untuk mengisi perut yang lapar. Tidak terlalu sulit mencari hewan buruan di hutan ini. Malam itu kami tidur di hutan.

Keesokan paginya, kita memasuki sebuah desa. Di gerbang masuk terlihat sebuah kain kuning tua terikat pada sebuah pokok kayu. Di tugu batu hitam di sebelah kanan gerbang terlihat sesajian. Rangkaian janur kuning menutupi tugu batu. Bunga - bunga berserakan di jalan masuk ke desa. Aroma cendana meruap di angkasa. Meski terlihat indah itu adalah pertanda duka. Wafatnya seorang maharaja. Si coklat terlihat gelisah. Tapi aku harus menemui sang akuwu untuk meminta ijin menginap malam itu. Kedua sahabatku memaksaku untuk terus berjalan. Aku mengalah. Naluri mereka lebih tajam.

Sudah empat hari kami berjalan tapi belum sekalipun bertemu seseorang. Luka - lukaku sudah sembuh. Kemampuan olah pedangku sudah kembali sempurna. Ketika pagi itu aku berlatih olah pedang, aku berhasil membelah balok kayu angsana ukuran raksasa dalam sekali ayun. Namun hampir sepekan dalam kesendirian, apakah kemampuan olah pedang sungguh sungguh diperlukan? Aku bisa memanah sambil berkuda. Burung yang melesat di angkasa pun bisa kubidik dengan tepat. Aku telah terlibat dalam peperangan besar di bawah komando panglima hebat. Dan aku masih hidup hingga saat ini. Tapi di manakah pasukanku?

Seusai berlatih di tengah tengah pengembaraan di hari keenam, aku memutuskan untuk berpuasa. Secara fisik aku sangat fit. Tetapi secara mental aku meragukan. Aku tidak ingat siapa raja sang penguasa kami, senopati atau pun anggota pasukanku. Bahkan peperangan besar yang baru saja berakhir juga tidak aku ketahui melawan siapa! Selama ini aku tidak peduli dengan siapa kami berperang. Itulah dharmaku. Sepanjang yang bisa kuingat, aku terlahir untuk berperang. Tidak ada hal lain yang aku pelajari selain bertempur. Ketidakmampuanku mengingat membuatku sedikit cemas.

Di hari ketujuh kami sampai di sebuah kota. Lagi lagi tidak kutemui seorangpun anak manusia. Kota ini sangat aku kenal. Ini adalah kotaraja. Istana ini sering aku kunjungi paling tidak di balairungnya dan tentu saja istalnya. Bagian lain dari istana menjadi areal terlarang bagiku. Ternyata istana ini lebih luas dari yang terlihat mata. Pada saat akan memasuki istana, kedua sahabatku menolak untuk menunggu di luar. Kami harus berdebat lama sebelum akhirnya aku mengalah. Bertiga kami menelusuri bagian - bagian istana yang dulu sangat terlarang. Tempat pertama yang ingin kukunjungi tentu saja keputren! Luar biasa wangi. Ribuan kuntum mawar, melati, kenanga, kanthil, dan tanjung memenuhi sebuah ruangan yang aku kira tempat bersolek putri putri raja. Kolam terbuat dari batu hitam dengan air sebening kristal. Kamar peraduan didominasi warna putih. Sampai lelah aku berjalan mengelilingi istana yang sekarang kosong melompong. Aku tertidur di atas tilam empuk di kamar beraroma wangi pandan milik entah siapa. Lebih melelahkan berjalan di dalam istana daripada bertempur di medan laga.

Aku sudah bosan dalam kesendirian. Aku harus kembali ke medan perang. Aku berteriak memanggil sembarang nama. Hanya si legam dan si coklat yang tertegun melihatku bertingkah aneh. Aku berjalan di atas kasur, melompati dampar kencana, memukul gong sekeras kerasnya, melahap hidangan di meja jamuan istana, melempar tombak sakti milik raja. Tombak yang kulempar tepat mengenai kaca jendela besar di sisi kiri bangunan. Keributan tercipta di balairung yang porak poranda. Jika ketahuan sang raja aku siap dihukum mati. Sepekan lebih aku menanggung hidup dalam derita. Kehidupan tanpa perang menurutku itulah kematian yang paling mengerikan. Aku menghunus keris sakti milik raja. Kutikam dada kiriku! Keris patah. Pedang kutikamkan ke perut. Pedang pun patah. Si legam meringkik panjang. Ringkikannya merangkai sebuah ucapan : "Kau tidak bisa mati dua kali!"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun