Mohon tunggu...
Lambang Wiji Imantoro
Lambang Wiji Imantoro Mohon Tunggu... Konsultan - Amor fati fatum brutum

Manusia biasa yang menjalani hidup dengan biasa-biasa saja

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Nihilisme: Sebuah DIskursus untuk Moralitas yang Kian Tergerus

27 Juni 2023   12:55 Diperbarui: 27 Juni 2023   12:57 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai mahluk yang diberkahi rasio adalah suatu keniscayaan ketika manusia berupaya terus menerus untuk menemukan makna dan tujuan dalam hidupnya. Sesekali mungkin kita pernah bertanya apa tujuan hidup kita, apa yang kita cari dalam hidup ini, bahkan seringkali kita mempertanyakan apa itu kebahagiaan dan bagaimana cara memperolehnya.

Di tengah hiruk pikuk kehidupan manusia terutama di abad 21 ini dimana kebanyakan manusia hanya dipandang sebagai objek dan angka, muncullah suatu aliran pemikiran yang menyatakan bahwa pencarian terhadap makna dan tujuan yang dilakukan manusia hanya akan berujung pada kesia-siaan. Aliran pemikiran itu disebut "Nihilisme".

Apa itu Nihilisme?

Secara bahasa nihilisme berasal dari bahasa Latin "nihil", berarti "tidak ada" atau "tidak ada apa-apa". Sederhananya nihilism adalah pandangan filsafat yang menolak atau memandang ketiadaan arti terhadap nilai-nilai objektif, tujuan hidup, bahkan makna yang bersifat inheren dalam kehidupan manusia. Pemikiran tersebut muncul dan berkembang pada abad ke-19 dan membawa pengaruh besar dalam perkembangan filsafat modern.

Kata kunci atau gagasan utama nihilisme ialah dunia terutama keberadaan manusia tidak memilki suatu makna dan tujuan. Namun demikian nihilisme juga tidak dapat diasosiasikan dengan suatu hal yang radikal bahkan dianggap sebagai perilaku pesimisme yang ekstrim bahkan dianggap sebagai bentuk pemikiran yang mengesampingkan moral. Mengapa demikian?

Sejarah Nihilisme dan Tokoh-Tokoh Nihilisme

Akar nihilisme telah muncul sejak era Yunani kuno, terutama dalam pemikiran para Sophist seperti Gorgias (483-375 SM). Secara sederhana Gorgias dan para Sophist mengajukan 3 pemikiran yang menjadi dasar argumentasi. Pemikiran tersebut diantaranya tidak ada kebenaran objektif, kalaupun ada kebenaran itu tidak dapat diketahui, dan kalaupun dapat diketahui segala sesuatu yang ada hanyalah bersifat subjektif.

Gorgias mungkin menajdi filsuf yang meletakkan fondasi nihilisme, namun Friedrich Nietzsche (1844-1900) yang membangun konstruksi nihilisme yang sistematis di abad 19. 

Karya-karyanya terutama "Thus Spoke Zarathustra" dan "Beyond Good and Evil," memberi sumbangsih paling berpengaruh yang membidani kelahiran nihilisme. Dalam buku-bukunya Nietzche banyak mengkritik nilai-nilai tradisional serta penggambarannya terhadap dunia ia asosiasikan sebagai tempat kosong tanpa makna yang inheren.

Pandangannya yang paling kontroversial ialah ketika ia menyatakan bahwa kematian Tuhan atau kehancuran keyakinan tradisional akan menyebabkan kehampaan dan memunculkan sikap nihilistik dalam masyarakat. Ia juga berpandangan bahwa manusia harus melewati fase nihilistik untuk mencapai pencerahan yang memungkinkan mereka membangun nilai-nilai baru yang didasarkan pada spirit kehendak individu.

Ada banyak tokoh-tokoh nihilisme yang memberikan sumbangsih signifikan terhadap pemikiran nihilisme, 2 yang cukup dikenang ialah Albert Camus dan Jean Paul Sartre. Camus menawarkan konsepnya sendiri dalam ranah pemikiran nihilisme yaitu absurditas. 

Konsepnya bisa kita temui dalam karyanya "The Myth of Sisyphus," atau dalam karya sastranya yang monumental "The Stranger", dimana Camus menyatakan absurditas hadir karena adanya ketidakharmonisan antara keinginan manusia akan pencarian makna serta ketidakmampuan manusia untuk menemukan makna objektif dakam dunia yang tanpa hakekat. Maka ia mengusulkan pemberontakan sebagai suatu respons terhadap absurditas dengan melibatkan penerimaan penuh terhadap kehampaan eksistensi sambil tetap berjuang menciptakan makna subjektif.

Sementara itu Sartre yang merupakan filsuf eksistensialis juga menaruh sumbangsih terhadap pemikiran nihilisme. Dalam bukunya, "Being and Nothingness," ia menarasikan jika manusia hadir sebagai entitas yang bebas namun terjebak dalam ketidakpastian dan kehampaan eksistensi, dimana menurutnya kebebasan manusia tidak memilki arah atau tujuan inheren. Oleh karenanya ia menguslkan agar manusia menciptakan makna dan nilai-nilai mereka sendiri melalui tindakan dan pilihan mereka.

Dari sejarah beserta pemikiran para tokoh di atas dapat kita tarik benang merahnya bahwa nihilisme hadir sebagai bentuk gerakan anti kemapanan yang mengkritisi nilai-nilai moralitas yang konvensional dalam masyarakat. Namun demikian disadari ataupun tidak nihilisme justru hadir sebagai alternatif jawaban terhadap pertanyaan eksistensial yang tak surut digerus zaman.

Nihilisme dalam Moralitas Kontemporer

Pemikiran nihilisme telah membawa pengaruh yang sangat signifikan dalam pemikiran kontemporer terutama dalam kaitannya dengan unsur moralitas di era sekarang. Dalam pandangan seorang nihilis, nilai-nilai moral hanya diangga sebagai konvensi manusia semata yang tidak memilki dasar objetif ataupun tujuan etis.

Tidak ada benar atau salah yang melekat dalam tindakan manusia, mungkin fakta itulah yang saat ini menghinggapi kehidupan manusia. Aspek moralitas tak lagi menjadi hal yang dijunjung tinggi dalam setiap tingkah laku manusia. Korupsi, genosida, perang, serta kejahatan besar yang tak bermoral yang pernah dan sedang dilakukan manusia saat ini seolah menjadi pemandangan yang biasa kita lihat, dan tanpa disadari secara naif kta menganggap konsep nihilisme telah begitu menjamur dipraktikan oleh individu maupun sosial.

Dalam kaca mata kaum nihilis moralitas dianggap sebagai ilusi bahkan bentuk penindasan terhadap kebebasan individu. Maka secara sederhana orang-orang dapat menyimpulkan bahwa prilaku penympangan sosial seperti LGBT yang dalam moralitas tradisional dianggap sebagai prilaku amoral seolah merupakan bagian dari praktik nihilisme.

Lantas apakah moralitas masih relevan dan memilki arti bagi seorang nihilis? Dalam pandangan Nietzsche menjadi nihilis bukan berarti bahwa kita tidak dapat memiliki moralitas sama sekali, tetapi kitalah yang harus menciptakan moralitas kita sendiri berdasarkan pada kehendak kuat individu. Namun demikian pemikiran ini bukan tanpa celah, pandangan Nietzche dapat mengarah pada kesukaran dan apatisme dalam menetapkan dan menrapkan dasar etika yang konsisten dan dapat diterima oleh masyarakat, serta dapat berpotensi pada pelanggaran akan hak-hak orang lain.

Sementara Albert camus menawarkan pendekatan yang berbeda. Baginya walaupun kehidupan tidak memilki makna yang inheren, manusia tetap memiliki tanggung jawab moral dan harus menjunjung etika dalam menciptakan makna yang subjektif. Menurut Camus walaupun nihilisme mengakui kehampaan eksistensi bukan berarti ia dapat menghapus tanggung jawab moral manusia untuk bertindak secara etis.

Nihilisme Sebagai Gagasan Moral yang Baru

Tanpa disadari ketika membaca tentang nihilisme kebanyakan dari kita pasti akan mengerenyitkan dahi bahkan menjadi penentang dari jenis pemikiran ini. Namun demikian tanpa disadari pula banyak diantara kita yang mempraktikan nihilisme dalam kehidupan atau setidaknya melihat orang-orang mempraktikannya.

Dalam kenyataannya tidak ada kesepakatan tunggal mengenai apa itu nihilisme dan bagaimana ia mempengarui moralitas. Namun demikian, nihilisme beserta perdebatannya mendorong kita untuk berefleksi secara mendalam mengenai dasar-dasar etika dan tanggung jawab moral kita sebagai manusia.

Walaupun nihilisme terkesan menguliti dan menetang eksistensi beserta nilai-nilai objektif, namun demikian dalam nihilisme masih ada ruang untuk mempertimbangkan gagasan bahwa kita selaku manusia memilki tanggung jawab etika terhadap diri kita sendiri, orang lain, dan dunia di sekitar kita.

Dalam menghadapi kehampaan nihilistik kita haruslah menerima kehampaan eksistensi sambil terus mempertimbangkan dan mempertahankan nilai-nilai etika dengan tidak melanggar hak individu dan sosial.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun