Konsepnya bisa kita temui dalam karyanya "The Myth of Sisyphus," atau dalam karya sastranya yang monumental "The Stranger", dimana Camus menyatakan absurditas hadir karena adanya ketidakharmonisan antara keinginan manusia akan pencarian makna serta ketidakmampuan manusia untuk menemukan makna objektif dakam dunia yang tanpa hakekat. Maka ia mengusulkan pemberontakan sebagai suatu respons terhadap absurditas dengan melibatkan penerimaan penuh terhadap kehampaan eksistensi sambil tetap berjuang menciptakan makna subjektif.
Sementara itu Sartre yang merupakan filsuf eksistensialis juga menaruh sumbangsih terhadap pemikiran nihilisme. Dalam bukunya, "Being and Nothingness," ia menarasikan jika manusia hadir sebagai entitas yang bebas namun terjebak dalam ketidakpastian dan kehampaan eksistensi, dimana menurutnya kebebasan manusia tidak memilki arah atau tujuan inheren. Oleh karenanya ia menguslkan agar manusia menciptakan makna dan nilai-nilai mereka sendiri melalui tindakan dan pilihan mereka.
Dari sejarah beserta pemikiran para tokoh di atas dapat kita tarik benang merahnya bahwa nihilisme hadir sebagai bentuk gerakan anti kemapanan yang mengkritisi nilai-nilai moralitas yang konvensional dalam masyarakat. Namun demikian disadari ataupun tidak nihilisme justru hadir sebagai alternatif jawaban terhadap pertanyaan eksistensial yang tak surut digerus zaman.
Nihilisme dalam Moralitas Kontemporer
Pemikiran nihilisme telah membawa pengaruh yang sangat signifikan dalam pemikiran kontemporer terutama dalam kaitannya dengan unsur moralitas di era sekarang. Dalam pandangan seorang nihilis, nilai-nilai moral hanya diangga sebagai konvensi manusia semata yang tidak memilki dasar objetif ataupun tujuan etis.
Tidak ada benar atau salah yang melekat dalam tindakan manusia, mungkin fakta itulah yang saat ini menghinggapi kehidupan manusia. Aspek moralitas tak lagi menjadi hal yang dijunjung tinggi dalam setiap tingkah laku manusia. Korupsi, genosida, perang, serta kejahatan besar yang tak bermoral yang pernah dan sedang dilakukan manusia saat ini seolah menjadi pemandangan yang biasa kita lihat, dan tanpa disadari secara naif kta menganggap konsep nihilisme telah begitu menjamur dipraktikan oleh individu maupun sosial.
Dalam kaca mata kaum nihilis moralitas dianggap sebagai ilusi bahkan bentuk penindasan terhadap kebebasan individu. Maka secara sederhana orang-orang dapat menyimpulkan bahwa prilaku penympangan sosial seperti LGBT yang dalam moralitas tradisional dianggap sebagai prilaku amoral seolah merupakan bagian dari praktik nihilisme.
Lantas apakah moralitas masih relevan dan memilki arti bagi seorang nihilis? Dalam pandangan Nietzsche menjadi nihilis bukan berarti bahwa kita tidak dapat memiliki moralitas sama sekali, tetapi kitalah yang harus menciptakan moralitas kita sendiri berdasarkan pada kehendak kuat individu. Namun demikian pemikiran ini bukan tanpa celah, pandangan Nietzche dapat mengarah pada kesukaran dan apatisme dalam menetapkan dan menrapkan dasar etika yang konsisten dan dapat diterima oleh masyarakat, serta dapat berpotensi pada pelanggaran akan hak-hak orang lain.
Sementara Albert camus menawarkan pendekatan yang berbeda. Baginya walaupun kehidupan tidak memilki makna yang inheren, manusia tetap memiliki tanggung jawab moral dan harus menjunjung etika dalam menciptakan makna yang subjektif. Menurut Camus walaupun nihilisme mengakui kehampaan eksistensi bukan berarti ia dapat menghapus tanggung jawab moral manusia untuk bertindak secara etis.
Nihilisme Sebagai Gagasan Moral yang Baru
Tanpa disadari ketika membaca tentang nihilisme kebanyakan dari kita pasti akan mengerenyitkan dahi bahkan menjadi penentang dari jenis pemikiran ini. Namun demikian tanpa disadari pula banyak diantara kita yang mempraktikan nihilisme dalam kehidupan atau setidaknya melihat orang-orang mempraktikannya.