Mohon tunggu...
dewa cengkar
dewa cengkar Mohon Tunggu... Lainnya - pengangguran

hanya pengangguran biasa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Darah Kucium Amis di Tubuhmu

30 September 2010   15:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:50 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_274692" align="alignleft" width="300" caption="the unik.com"][/caption]

Jalan raya masih tertimbun cahaya matahari, baru saja menyibak mega kelabu, sisa malam yang terkapar. Warna merah di kaki langit seperti menjerit, memamah angin yang terkapar di setiap pucuk pohon. Merambat lewat ranting dan merayap pada tanah. Gigil, masih membabibuta di ceruk tulang dan memanggil selimut membalut sepi.

Raji, sepagi itu masih termenung di lampu merah menyalakan sebatang lisong. Mukanya kusut, berhelai-helai memindai wajahnya. Matanya tawar menyibak sepi. Lenguh nafasnya pun mengeja pelan-pelan dingin mencucuk kulit. Aroma pagi, tak mengendurkannya memilah batang lilin yang semakin redup.

Pagi dengan warna merah. Angin yang mendayu. Sepi menikam. Mengingatkannya 40 tahun lalu. Mengingatkan perih yang meleleh di setiap dengus nafasnya. Ia tidak pernah lupa, cengraman gigil yang membawanya sampai rambutnya berganti warna. Bahkan sampai detik-detik terakhir nafasnya terputus pun tidak akan terlewatkan dari garbanya.

Bapaknya, meregang memertahankan lembaran nyawanya helai demi helai agar tidak terputus. Ibunya pun mengerang sekuat tenaga menarik kembali darah yang meleleh dari perut menganga. Suami istri itu mencari sekarat yang paling indah dalam sisa hidupnya. Mencari sensasi teramat keramat menuju keharibaan-Nya.

Namun terasa sia-sia, rintihan panjang menyapu seisi ruang tamu, kamar tidur, dapur dan mungkin sampai pelataran rumah. Raji yang terlelap menyisiri mimpi terperanjat. Suara sepatu melanggar pintu teramat keras, menyerupai granat yang dilemparkan dan meledak pas di gendang telinganya. Seperti cicak, ia melompat dan mencari sudut kamar.

Tempat itu dianggap paling aman bagi seusia anak-anak untuk menguburkan tubuh dan sukmanya saat dijarah ketakutan. Disaat seperti itu, hidungnya yang kerap bernyanyi dan matanya membuat anak sungai. Hilang seketika. Giginya gemeruntuk, mencari celah pentasbihan rasa takutnya agar tidak meledak seketika.

Suara sepatu, kembali menerjang ranjang, lemari, rak buku, kursi. Suaranya teramat berisik seperti lapar yang tidak pernah bisa diajak kompromi. Suara hardikan pun mengaduk-aduk seisi kamar. Luka menganga pun menggores di setiap sudut. Raji, semakin mengkerut tak ubahnya akan berinkarnasi menjadi liliput.

Dari lubang pintu yang menganga, ia melihat bapak dan emanya terkapar bersimbah darah. Matanya melotot hampir ke luar memertahankan nafasnya yang hampir sejengkal. Tiba-tiba, suara berdebam menghantam lantai. Mata Raji menumbuk, sesosok lain yang sangat dikenalnya. Dia Ratih, adiknya masih berusia dua tahun.

Ubun-ubunya sudah mengeluarkan darah segar, seperti mata air yang tidak pernah mengering. Tangan kanannya tidak berdaya dan tertelikung ke belakang umpama tidak punya tulang. Begitu pun dengan kedua kakinya. Namun dari bibirnya mendulang senyum teramat indah bak katumbiri pada senja hari. Raji pun memejamkan matanya.

Hatinya terasa dicabik-cabik. Pipinya kembali membuat anak sungai, berkelok-kelok. Kini ia merasa sendirian dan nasibnya tidak akan jauh dengan orang tua serta adiknya. Ketika kegaduhan itu muncul kembali di dapur. Ia tiba-tiba terbang menerobos jendela yang masih terkunci. Seperti burung walet dikejar tokek.

Suara bedebum, jendela mengagetkan orang-orang yang mengamuk di dapur dan berbekal bayonet di punggungnya. Sebelum mereka mencapai jendela, Raji kembali terbang menjauh memburu cakrawala. Mencari ilalang yang menghampar di savana. Mencari rusa yang tidak pernah kehabisan rumput. Mencari burung yang tidak pernah kehabisan air.

***

Mata nanar Raji, menempel di lampu setopan. Jemarinya menggapai-gapai sebotol bir yang tandas isinya. Ia ingin melupakan kejadian tragis itu. Ia ingin melupakan, suara bedebum, bentakan, erangan dan suara isak pilu. Ia ingin melupakan hidupnya sendiri.

Walapun, nyawanya terselamatkan. Meskipun matanya masih dapat menikmati hiruk pikuk yang semakin gemuruh. Warna-warna neon terus berubah-ubah. Lenggak-lenggok jalan raya, gedung pencakar langit, dan berbusa-busa kata menabur langit. Apalah artinya? Tak mampu menyempitkan kenangan itu.

"Aku, ingin melupakan 30 september," ucapnya sambil memasukan kembali mulut botol bir ke mulutnya. (bersambung)***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun