Mohon tunggu...
dewa cengkar
dewa cengkar Mohon Tunggu... Lainnya - pengangguran

hanya pengangguran biasa

Selanjutnya

Tutup

Politik

"Devide et Empera" Ala SBY

11 Mei 2010   14:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:16 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menyimak paska terpilih dan dilantiknyanya SBY memangku RI - 1 yang keduakalinya, setidaknya memberikan pelajaran teramat berharga bagi rakyat Indonesia yang semakin melek. Baik melek politik maupun ekonomi, tapi tidak pernah melek terhadap sejarah dan kebudayaan Indonesia. Melek politik yang terus disebarkan secara membabibuta oleh media.

Begitu pun melek ekonomi, setelah peristiwa Sri Mulyani dihajar habis-habisan atas kasus century. Siapa pun tahu, SBY memiliki latar belakang militer dengan granddesain keahliannya ialah strategi. Siapa pun akan mengakuinya, baik di Indonesia maupun luar negeri. Ia ditempa oleh politik tidak mengenal ampun sewaktu jaman Soeharto.

Latar belakang ini, sudah membentuk pemikiran dan mental SBY kelak ketika ia berkuasa. Meski mental dan pemikirannya bergaya klasik, tapi kehidupannya berada di tepi jurang transisi. Namun bagi dia sedikitnya memberikan pehaman baru tentang gaya kepemimpinan kolaborasi. Antara model kepemimpinan Soeharto dan George Bush.

Di salah satu sisi, mementingkan sopan santun dan tika  berpolitik di masa transisi. Di sisi lain, tanpa pandang bulu menghajar pihak-pihak yang ingin meruntuhkan hegemoninya. Tidak saja kawan baik atau orang yang telah berjasa besar untuk dirinya. Jika tidak menguntungkan akan disikat, meksi tanpa harus berdarah-darah.

Manajemen konflik yang dikelola SBY, sangat apik dan tidak kentara. Justru keunikannya ialah menempatkan dirinya sebagai pihak terdzalimi. Posisi ini memberikan nilai positif untuk pengembangan dirinya. Hal itu tidak disadari lawan-lawan politiknya sehingga, kerap tanpa harus melawan pun sudah menang mutlak.

Salah satu contoh yang masih ingat, mungkin. Ketika memilih calon wakil presiden, Boediono. SBY, sangat mafhum trackrecord Boediono. Seperi ada unsur disengaja untuk membakar musuh-musuh politiknya. Harapannya, calon pendampingnya teraniaya dan dikesankan terdzalimi oleh kelompok penentang.

Ternyata kata kunci yang disampaikan ternyata dimakan bulat-bulat. Stempel neoliberalism, menyetak Boediono sebagai orang terdzalimi dan mendongkrak peraihan suara. Sebab rakyat Indonesia memiliki empati sangat kuat terhadap orang yang teraniaya. Keberhasilan ini, membuat lawan politiknya mati kutu tidak berdaya.

Begitu pun dengan kasus century. SBY, pandai mengelola manajamen konflik atas peristiwa itu. Ia sengaja membiarkan partai yang membencinya melakukan penghujatan dan memberikan stempel sebagai presiden yang tidak memiliki kemampuan. Begitu pun dengan kasus-kasus besar lainnya, dibiarkan berlari ke sana - ke mari menjadi bola salju liar.

Apakah atas peristiwa itu, ia kelelahan? Ternyata tidak, ia malah terus enjoy dan menikmati kekuasaan dengan hembusan nafas paling lapang. Ketika, usai persoalan yang mengharu-biru itu dari permukaan. Ia mulai menerapkan strategi agar selalu tercipta konflik di tubuh politik maupun pemerintah. Agar dia mengetahui betul yang akan dijadikan tumbal berikutnya.

Ketika Sri Mulyani, mulai kehilangan kendali atas desakan partai politik. Jurus itu pun dikeluarkan. Sri Mulyani, dikarantina lalu diangkat Aburizal Bakri sebagai ketua harian partai koalisi. Meski secara emosional, hubungan golkar dengan SBY tidak akan pernah hilang. Namun, ia mengharapkan kejatuhan Golkar di masa depan.

Sebab Golkar, kendati sudah dihancurleburkan pada pemilu 99. Namun daya imunitasnya masih kokoh. SBY paham betul bahwa Golkar memiliki politisi handal yang ditempat kekuasaan selama 32 tahun. Sehingga tidak mudah untuk menghancurkan dalam eskalasi instan. Salah satu caranya, membiarkan ia berdiri, namun kaki dan tangannya diikat.

Dampak pengangkatan Aburizal Bakrie sebagai ketua harian koalisi. Mulai lah hembusan angin tidak sedap dan bernada minor menghantui gedung dewan juga masyarakat Indonesia. Pihak-pihak yang selama ini bermain dengan gaya Golkar dan bertukar kartu trup, menjadi kebakaran jenggot. Seolah-olah Golkar mendahulukan kepentingan kelompoknya.

Hal ini, membuat partai lain mulai menjauh, begitu pun masyarakat mulai merenggang dari politisasinya yang ternyata jauh panggang dari api. Tinggal sekarang, SBY tertawa terbahak-bahak atas keberhasilannya mendesain politik yang santun dan beretika.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun