Mohon tunggu...
dewa cengkar
dewa cengkar Mohon Tunggu... Lainnya - pengangguran

hanya pengangguran biasa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Moral Sampah

24 April 2010   16:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:36 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku tuliskan sampah dalam sebuah catatan panjang. Catatan yang hampir menyerupai buku, tapi setiap kata tertulis berulang-ulang. Apakah bahasaku tidak pernah berkembang dari hari ke hari, dari minggu ke minggu, bulan ke bulan bahkan sampai tahun ke tahun. Sungguh menyedihkan sekali. Kata dan berikut yang saling susul menyusul.

Begitu pun aku, dia, kita, mereka dan seterusnya terus berkejaran. Tidak pernah berubah. Begitu pun kata lain selalu sama dari sebuah tulisan ke tulisan lainnya. Tidak itu saja, dari tema ke tema tidak ada perubahan. Hanya di sana - sini terlihat pembaharuan yang dianyam sesuai selera dan konteksnya. Celakanya lagi tarik sana, tarik sini dari tulisan orang lain.

Kadang tumbuh sebuah angkara dari ujung jari dengan bahasa yang kacau balau. Tidak jelas mau mengarah ke mana dan belok di tempat mana pula. Kadang lurus tanpa menyentuh rambu yang dipasang di pinggir jalan. Apalagi ingat trafick light. Ah, untungnya tidak ada polisi bahasa yang comel.

Aku pun lupa, dimana letak moral seperti yang ramai belakangan ini diperbincangkan kalangan politisi. Begitu pun menteri dalam negeri begitu sibuk dengan pembatasan moral terhadap calon raja kecil. Kepala pun ikut gatal, meski tidak mandi selama tiga bulan. Biasanya rasa gatal tidak pernah tumbuh di kepala.

Kecuali ketika diserbu keringat maha dahsyat atas terik yang melintang pukang setiap tidak turun hujan. Betapa gatal ini terus merobek-robek akar rambut. Berusaha memahami moral yang diharapkan Mendagri. Apakah moral secara normatif atau moral dalam bentuk abstrak. Sebab batasan moral, sampai saat ini belum ada literatur yang jelas definisinya.

Cacat moral secara normatif sejak adanya kehidupan sudah jelas dan gamblang. Terdapat dalam catatan-catatan di pihak berwenang. Namun pertanyaannya, apakah moral yang bersifat normatif dan administratif saja yang dikedepankan? Atau hanya sebuah catatan yang tidak jelas agar masyarakat ditelikung dengan kebijakan moralnya?

Sungguh kenaifan Mendagri dalam wacana yang tidak jelas dibuat sebuah pelaturan. Jika pun suatu saat dituangkan dalam UU, tentu harus jelas definisinya. Begitu pun rambu--rambu yang diterapkan, supaya masyarakat dapat membedakan mana moral normatif dan moral absurd. Apakah tidak bermoral itu karena pakaian?

Berbuat perslingkuhan, melakukan korupsi, melakukan pembunuhan, melakukan tindakan asusila dan seterusnya? atau tidak berbahasa dengan baik dan sopan dalam pergaulan? Atau apakah tidak dikatakan sopan, beretika dan bermoral, apalabil menuliskan dengan kata-kata yang sulit dimengerti? Ah .... semakin gatal saja kepalaku.

Lebih baik, kembali menulis sampah agar lekas selesai dan kembali menikmati kopi hangat dengan rokok.***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun