Akupun bangkit dari tempat tidurku sambil melipat selimut. Dengan langkah gontai aku mengambil handuk untuk mandi. Sungguh pagi ini aku tidak mendapatkan semangat hidup yang seperti biasanya, walaupun Ita tetap tersenyum. Aku sangat menyesal tidak dapat mengantarkan mereka ke dokter, pagi ini aku harus ke kota untuk mengirimkan tugasku ke kampus. Untuk menemani Ita, aku meminta izin untuk beberapa hari dari kampus.
” Mbak, berangkatnya jam berapa?” Tanyaku kepada Mbak Nova, mamanya Ita.
” Sekitar jam sepuluhan lah Dik, ntar Mas Elang yang jemput kami ke sini.” Jawabnya.
” Kira-kira berapa hari Ita harus di rawat Mbak?” Tanyaku.
” Mbak gak tahu Dik, kita tunggu aja apa kata dokternya. Oh ya, kamu jadi ke kota pagi ini?” Tanyanya.
” Jadi Mbak, tapi nanti sekitar jam sembilan. Ya udah ya Mbak, aku mandi dulu.” Kataku.
Dalam hati sebenarnya aku menangis, namun aku malu untuk menunjukkannya. Tetes-tetes air shower terasa hangat dan asin, aku menangis. Dalam hati kecil yang paling dalam aku kagum dengan Ita, keponakanku itu. Anak sekecil itu, saat dia belum akrab dengan dunia ini, saat dia belum mengenal kehidupan yang sesungguhnya, dia harus mengalami penyakit yang paling ditakuti oleh umat manusia. Aku kagum dengan dia, dalam kemudaannya dia telah diberi tahu tentang kangker dan kematian yang seharusnya tidak dia tahu untuk saat ini. Aku selalu ingat kata-katanya.
” Om, kenapa Ita harus takut mati. Kata mama Tuhan itu baik, jadi Ita pengen lihat Tuhan. Kata mama juga, kalau Ita mati pasti bertemu dengan Tuhan, jadi Ita harus senang kan Om.” Kata-kata yang sungguh tegar. Setegar karang di samudera luas yang tak akan pecah walau diterjang ombak dan dijemur oleh panasnya matahari. Saat itu aku ingin berteriak, seandainya aku diberikan kesempatan untuk mengantikan segala rasa sakit yang dia derita.
Rasanya urusanku di kota terasa sangat lama, padahal aku hanya mengirimkan sebuah dokumen saja. Tapi kegelisahan ingin segera menemui Ita membuat waktu semakin lama. Aku ingin berlari memutar waktu untuk segera dapat melihat senyumnya.
Setiba di rumah sakit, aku melihat Mbak Nova dan Mas Elang masih duduk di kursi tunggu. Semuanya biasa-biasa saja, saat itu juga semua pikiran burukku hilang sudah tak membekas. Rasa letih yang kurasakan saat itu terbayar sudah melihat semuanya baik-baik saja.
” Mbak, bagaimana dengan keadaan Ita?” Tanyaku.