Mohon tunggu...
LM Yakdatamare Yakub
LM Yakdatamare Yakub Mohon Tunggu... Dokter - Studure in sempiternum

Hiduplah dengan strategimu sendiri dan jadilah mahluk yang bermanfaat !

Selanjutnya

Tutup

Hukum

UU KUHP Dipaksakan, Judicial Review Solusi?

7 Desember 2022   01:00 Diperbarui: 3 Januari 2023   14:28 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : dr. L.M. Yakdatamare Yakub

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Memahami dunia sebagaimana adanya, bukan sebagaimana seharusnya, adalah awal dari kebijaksanaan. - Bertrand Russell, filsuf Inggris

Untuk tidak dikritik cukuplah mudah, cukup dengan tidak mengatakan apa-apa, tidak melakukan apa-apa, dan tidak menjadi apa-apa. -- Aristoteles, filsuf Yunani kuno

Lahirnya Undang-Undang (UU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dari Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) harusnya lahir berdasarkan asas problematika dan kebijaksanaan untuk memahami permasalahan yang ada di masyarakat. UU KUHP lahir bukan untuk melindungi suatu kaum tertentu, tetapi sebagai moda dalam mewujudkan keadilan. Kalau misalnya UU KUHP ini lahir hanya untuk melindungi penguasa, para majikan dan kaum borjuis, lebih baik negara ini bubar saja. Cukuplah cita-cita perjuangan kemerdekaan ini hanya menjadi konsep tekstual dan dongeng semata.

Niat terbentuknya UU KUHP cukup mulia, lantas urgensinya apa ? apakah undang-undang hukum pidana yang diadopsi dari bangsa kolonial kemarin sudah tidak relevan lagi dengan kondisi masyarakat kita ? jangan terkesan dipaksakan lahirnya UU KUHP ini, sampai isi dan isu yang dibahaspun ternilai otoriter, dan lawak. Redaksi kalimatnya pun kebanyakan typo dan tidak sesuai dengan penggunaan bahasa Indonesia yang baku sehingga esensinyapun hanya akan menimbulkan perdebatan dan bencana sosial dalam masyarakat.

Secara historis, memang benar bahwa RKUHP ini bukanlah hal baru, sejak tahun 1918 sampai dengan saat ini terus terjadi pergejolakan dalam melahirkannya. Lantas pada rapat paripurna ke-11 DPR RI mengesahkan RKUHP menjadi undang-undang yakni UU KUHP, lantas apakah sudah final produk hukum yang dilahirkan ? saya kira tidak, urgensinya dan pokok bahasannya juga terkesan terburu-buru tanpa memperhatikan dan menimbang asas keadilan dan kebijaksanaannya.

Paul Scholten, seorang guru besar romawi untuk bidang hukum menyatakan bahwa ada empat asas hukum yang sifatnya universal, yang menjadi acuan dalam melahirkan produk hukum; Pertama adalah, Asas Kepribadian, Manusia menghendaki adanya kebebasan individu, sehingga berharap ada pengakuan kepribadian manusia lain, dimana manusia dipandang sebagai subyek hukum penyandang hak dan kewajiban. Yang kedua, Asas Persekutuan, dimana manusia menghendaki persatuan, kesatuan, cinta kasih dan keutuhan masyarakat berdasarkan ketertiban. Yang ketiga, Asas Kesamaan , Menghendaki adanya keadilan, dimana manusia dipandang sederajad didalam hukum (equality before the law). Dan yang kempat yakni Asas Kewibawaan , Menunjukkan bahwa hukum berwenang memberi keputusan yang mengikat para pihaknya.

Lantas, apakah produk hukum yang lahir dari Rahim DPR (Dewan Penghianat Rakyat), maaf maksudnya Dewan Perwakilan Rakyat, yang dibahas dalam RKUHP telah memenuhi asas-asas tersebut ? kita tidak menutup mata, sangat banyak pasal-pasal kontroversial dalam RKUHP yang dipaksakan lahir menjadi UU KUHP lawak dan kontroversial

Berikut beberapa pasal kontroversial dan mungkin masih banyak lagi;

  • Pasal 256, tentang berpendapat dimuka umum; Salah satu pasal yang berpotensi merugikan masyarakat adalah pasal 256 tentang kewajiban publik untuk memberi informasi terlebih dahulu bila ingin melakukan unjuk rasa. Merujuk dokumen draft RUU KUHP terbaru, pasal 256 menyatakan bahwa orang yang menyampaikan pendapat di muka umum tanpa izin dapat dihukum penjara. keberadaan pasal 256 menunjukkan adanya kemunduran dalam berdemokrasi. Selain itu pasal ini juga menempatkan kebebasan berpendapat pada posisi beresiko dianggap sebagai kejahatan dan tindakan pidana. Setelah reformasi kita ketahui bersama bahwa berpendapat di muka umum merupakan hak yang dijamin undang-undang. Bagaimana mungkin bila berpendapat di muka umum hanya dibolehkan setelah pemberitahuan dan bila dilakukan tanpa pemberitahuan disebut kejahatan.
  • Pasal 188 (1), tentang komunisme, leninisme dan marxisme; Larangan penyebaran marxisme, leninisme dan komunisme absurd lantaran tak memiliki indikator yang jelas. Apalagi ketiga paham tersebut sudah biasa diajarkan di universitas dan perguruan tinggi. Masuknya pembahasan mengenai marxisme, leninisme dan komunisme dalam RUU KUHP menunjukkan sempitnya pemahaman kebangsaan. Dilarang mempelajari ajaran tersebut merupakan suatu kedangkalan berpikir dari perumus pasal tersebut.
  • Pasal 218 dan 219, tentang penghinaan Presiden; Pasal penghinaan presiden ini berpotensi menyeret masyarakat yang tidak terlalu melek hukum untuk dipidanakan. Apalagi masyarakat awam biasanya tidak terlalu bisa membedakan antara kritik dan penghinaan. Penilaian menghina ini subjektif sehingga berpotensi multitafsir. Oleh Mahkamah Konstitusi (MK) era reformasi pernah dihapus dan sekarang justru dihidupkan kembali.
  • Pasal 240 dan 241, tentang penghinaan lambang Negara; Pasal peghinaan lembaga negara dan pemerintah menunjukkan bahwa penguasa negara ingin diagung-agungkan seperti penjajah di masa kolonial. Pasal ini juga multitafsir dan mengakomodir kepentingan penguasa.
  • Pasal 412 tentang hidup bersama, Pembatasan hidup bersama untuk pasangan bukan suami istri hanya mengacu pada agama tertentu. Padahal di Indonesia ada agama dan keyakinan yang tak mempersoalkan hidup bersama ini. Tidak semua wilayah indonesia menganggap itu dilarang. Itu norma moral setempat. Tiba-tiba ada impor nilai agama pada hukum nasional terkesan seperti pemakasaan.
  • Contoh pada pasal 13 ayat 4 disebutkan bahwa pemufakatan jahat untuk melakukan tidak pidana dapat dikenai hukuman mati. Legalisasi pidana mati merupakan bentuk perampasan hak hidup manusia yang melekat sebagai sebuah karunia yang tidak dapat dikurangi ataupun dicabut oleh siapapun, bahkan oleh negara. Hukum pidana mati harus ditiadakan karena beberapa kasus telah terjadi bahwa pidana mati telah menimbulkan korban salah eksekusi. Bahkan hukuman matipun bukanlah solusi menyelesaikan persoalan.
  • Pasal 278, tentang penghinaan proses peradilan; Pasal tentang penghinaan proses peradilan atau contempt of court pada pasal 278 dinilai berpotensi menjadikan posisi hakim di ruang persidangan seperti dewa. Dalam persidangan, seringkali masyarakat menemui adanya hakim yang memihak. Pasal ini berpotensi kontroversial karena tidak ada indikator yang baku mengenai apa saja yang masuk dalam kategori bersikap tidak hormat. Apabila pasal ini disahkan, ketika bersikap tidak hormat terhadap hakim atau persidangan dapat dianggap sebagai penyerangan integritas. Pasal ini juga berbahaya bagi lawyer, saksi, dan korban.
  • Pasal 300, tentang tindak pidana agama; Pasal terkait tindak pidana agama ini dinilai mengekang kebebasan beragama dan kepercayaan seseorang. Persoalan agama atau hubungan antar manusia merupakan urusan personal. Apabila RUU KUHP disahkan, maka urusan transenden seperti agama bisa menjadi urusan publik.
  • Pasal 534, tentang kampanye kontrasepsi; Menghambat program pencegahan HIV/ AIDS
  • Pasal 433 dan 434, tentang pencemaran kehormatan dan fitnah, pasal ini punya makna yang multitafsir dan mengekang kemerdekaan dalam mengkritik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun