Sesungguhnya aku tak mengerti, cinta macam apa yang kamu miliki untuk saat ini....
Dan kita berdua, sama-sama membenci akhir November....
***
"Aku ke Jakarta hari ini. Sore kita ketemu ya? Bisa kan?"
Itu bunyi pesanmu tadi pagi.
Lima belas tahun kita sudah saling mengenal, Rei. Waktu yang tidak sedikit. Tetapi perjalanannya serasa sebentar.
30 November 2007
Masih terekam jelas di benakku. Aku mengirimkanmu pesan yang sangat egois dan jahat: Rei, kita putus. Maaf.
Singkat. Tapi aku tau efeknya membuatmu patah hati bertahun-tahun.
Kita masih terlalu muda saat itu. Aku egois. Aku keras kepala. Aku menginginkan seseorang yang selalu ada di sampingku. Aku menginginkan seseorang yang menjadi tempatku berkeluh kesah. Aku menginginkan seseorang yang mempunyai banyak waktu untukku.
Sementara ketika itu, aku merasa cinta kita berdiri di atas fondasi yang rapuh. Cinta kita terlalu lemah. Jarak bagiku merupakan rintangan besar yang kamu sendiri tak mampu menerjangnya. Menjalin hubungan jarak jauh, bagiku adalah penyiksaan batin. Aku tak sanggup menjalaninnya.
Aku akui... aku egois. Tapi kamu sendiri juga tak mau berlari ke arahku. Kita masih sama-sama egois kan?
Sementara pada saat yang sama, seseorang telah mulai menggeser tempatmu, Rei. Dia menawarkan cinta sederhana. Cinta yang aku dambakan. Bukan sesuatu yang menggebu lantas menguap begitu saja. Bukan cinta egois seperti yang kita jalani.
Dia. Orang itu. Selalu ada ketika aku butuh. Dia datang ketika aku panggil. Dia menghiburku ketika aku berduka. Pada akhirnya, dia menjadi segala-galanya hingga detik ini. Dia seseorang yang gigih memperjuangkan aku. Seperti yang kamu tau, aku telah menikah dengannya 2010 lalu.
Tapi kamu, hingga detik ini, sama sekali tidak mau pergi menuju kehidupan yang lain. Kamu masih saja datang. Meski kamu sendiri sadar. Aku milik orang.
"Jadikan aku lelaki lainmu. Aku ingin kamu butuhkan. Panggil aku kalau kamu butuh. Aku akan datang."
Berkali-kali kamu mengatakan hal yang sama Rei.
"Jangan suruh aku pergi. Itu menyakitkan. Bahkan hanya begini saja. Aku bahagia."
Itu kata-kata yang kamu ucapkan setiap kali aku menyuruhmu pergi saja. Setiap kali aku menyuruhmu untuk menikahi pacarmu.
Sampai detik ini, kamu masih sama. Datang menemuiku ketika kamu rindu.
"Aku rindu. Makanya aku ke sana meski tak ada tujuan. Aku hanya mau ketemu kamu. Meski sebentar. Tolong jangan larang aku."
Hatiku pedih, Rei. Setiap kali kamu seperti ini. Tapi aku sendiri juga sudah gila. Hati kecilku tak ingin kamu enyah dari hidupku. Aku egois dan serakah, Rei. Kadang aku butuh orang sepertimu untuk teman berdebat. Karena kita sama-sama tak mau mengalah.
Nikmati saja...
Hatiku berkata demikian ketika saat-saat kebersamaan itu muncul. Meski hanya satu atau dua bulan sekali kita bertemu. Meski hanya satu-dua jam kita saling bersapa. Ada sedikit ketakutan, Rei. Takut bila kamu tiba-tiba pergi dan menghilang. Lihat kan? Betapa serakah dan egoisnya aku?
Pada akhirnya. Sesuatu seperti itu. Maksudku perpisahan. Tak akan pernah dapat kita hindari kan, Rei? Kita tak akan pernah tau kapan kita akan berpisah. Kita tak akan pernah tau bagaimana kita akan berakhir.
"Nikmati kebersamaan kita. Selagi bisa."
Itu kalimat yang kamu ucapkan setiap kita bertemu.
***
"Aku sudah tiba. Aku di hotel X. Aku jemput kamu ya?"
Pesanmu masuk lagi ke ponselku.
Aku menatap layar ponselku. Dan menekan tombol off.Â
Maafkan aku, Rei..
November sudah berakhir..
Â
Lunna
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H