Mohon tunggu...
Mataram Berita
Mataram Berita Mohon Tunggu... Jurnalis - Mataramberita.my.id
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Akun responsif Mataram Berita

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kita Terlalu Sok Tahu tentang Politik

9 Februari 2024   21:33 Diperbarui: 9 Februari 2024   21:37 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat ini kita hidup dalam hegemoni Fanatisme politik yang sungguh luar biasa, seakan yang kiri sudah pasti kiri dan yang kanan sudah pasti kanan. Apalagi dengan adanya media sosial yang hanya menyajikan sesuatu yang kita sukai sesuai dengan algoritma yang ada. Kitapun menjadi seorang insan yang menelan mentah-mentah sebuah Informasi, jadinya Fanatisme politik itu makin di dongkrak oleh informasi media sosial yang hanya berfokus pada satu sudut pandang. Namun yang menyeramkan adalah debat antara pendukung paslon presiden di kalangan akar rumput yang sampai mati-matian mendukung paslon kesukaannya, ketika diberikan sudut pandang yang lain terhadap calon yang ia dukung, ada saja argumen yang kadang tidak memiliki korelasi dan konsekuensi logis untuk membantah argumen dari sudut pandang yang lain itu.

Yang menjadi pertanyaan saya, sudah berapa banyak buku politik yang sudah kamu baca? Apakah kamu paham betul ideologi semua partai politik di Indonesia? Apakah kamu dapat menerka rapat yang dilakukan tim pemenangan, apa ada sebuah argumen yang jelas ketika paslon yang kamu dukung menang nantinya akan mensejahterakan masyarakat?

Lalu apa tolak ukur dari argumentasi tersebut. Sumber seperti apa yang cukup kredibel untuk dipercaya?

Sekali lagi saya sampaikan, bahwa kita hanya mengenal paslon idaman kita hanya dari Cover yang coba ditampilkan di media sosial, kita tidak pernah punya akses ke WhatsApp pribadi paslon yang kita dukung. Terlalu labil apabila menilai sesuatu hanya dari cover, dalam proses debat pemilu pun kita sungguh tidak ditampilkan "akar" dari si paslon, melainkan hanya kulit dan jawaban general. 

Yang sebenarnya esensi debat secara Harfiah bahasa itu sama sekali tidak berarti. Mungkin benar kita harus tetap menjaga budaya ketimuran itu, tetapi bukankah pendiri bangsa ini terbiasa dalam debat? Soekarno selalu berbedat dengan Bung Hatta sampai dobrak meja, tetapi mereka berdua sama sekali tidak pernah membenci secara personal, karena mereka tahu betul mereka adalah pemimpin Publik, dan setelah rapat yang dipenuhi debat itu, mereka berboncengan sepeda sambil tertawa dan berdiskusi selayaknya sahabat yang tak terpisahkan. Lalu budaya timur seperti apa yang kita pahami sekarang ini?

Apa kita hanya dianggap sopan apalagi tidak membantah?

Perbedatan antara Soekarno dan Hatta sangatlah penting karena mereka sama-sama paham geopolitik sampai Internasional, yang menjadi permasalahan adalah perbedatan yang dilakukan oleh kalangan akar rumput yang menganggap pilihannya tidak memiliki kecacatan sama sekali dan tidak memberikan ruang jikalau akan ada kemungkinan bahwa paslon yang ai dukung itu salah. Inipun senada dengan ungkapan Ali Bin Abi Thalib "Jangan Melihat orangnya tapi lihatlah apa yang di bicarakan".

Saya mengerti betul sebuah kebebasan berpendapat itu penting, tapi jika pendapat itu belum jelas kebenarannya, akan lebih bijak jika mengunyah dahulu sampai ke intisari, supaya lambung bisa mencerna dengan baik jua.

Saya kasih sebuah analogi sederhana, ketika seorang dokter berdebat dengan dokter yang lain, sudah pasti akan mendapatkan hasil yang terbaik karena spesialisasi mereka di bidangnya. Namun ketika pasien berdebat dengan pasien, sudah pasti hasilnya akan "ngawur". Begitu juga konteksnya kita sekarang, kita hanya berbedat antara pasien yang tidak memiliki kapasitas.

Yang perlu diingat adalah ketika paslon yang kita dukung memenangkan kontestasi pemilu, hal yang perlu dilakukan adalah mengawal dan mengkritisi setiap kebijakan yang dibuat. Bukanlah takut mengkritiknya lantaran dialah yang kamu pilih seakan-akan kita menghianati paslon yang didukung. Ketika paradigma itu dibalik, justru merekalah yang menghianati kita karena berkerja tidak sesuai apa yang kita inginkan.

Saya kira isu di Indonesia adalah sebuah fenomena musiman, ketika musim bola seakan semuanya paham tentang bola, ketika Covid seakan semuanya paham tentang kesehatan dan ketika musim politik seakan semuanya paham politik, padahal mereka hanya dalam tahap menerima Informasi, belum dapat tahap mencerna dan mengambil manfaat dari Informasi tersebut.

Jangan sampai kita kalangan akar rumput yang sulit mencari makan, cari pekerjaan, di terpa hujan dan terik matahari dan tinggal di rumah seadanya, berkoar-koar mendukung paslon idaman. Dan mungkin pada saat yang bersamaan paslon dan tim suksesnya lagi rapat di Hotel berbintang lima, harta yang berlimpah, ruangan ber AC, dan sedang membicarakan gimana caranya membodohi rakyat Indonesia dan mencari simpati rakyat untuk memilih mereka melalui cara-cara yang sangat halus dan bahkan tanpa sadar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun