Mohon tunggu...
lalu salappudin
lalu salappudin Mohon Tunggu... Guru - lahir di Mataram

descargar musica gratis online descargar musica gratis de youtube Menyukai musik slow

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Smanti: Aku, Hijab, dan Allah

29 Januari 2015   14:43 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:10 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku, Hijab dan Allah

(Tiara Safitri : Siswi SMAN 3 Mataram)

Jarum jam terus berdetik, seolah mengkuti detakan jangtung ku. Jarum jam menununjukan angka 11.45 wita jarum jam itu terasa berdetik semakin lama, tak sabar rasanya menunggu pergantian hari ni. Ya, hari ulang tahunku beberapa menit lagi usiaku akan genap 16 tahun. Ucapan dari orang-orang tersayang sudah membayangi otakku.

Waktu yang aku tunggu-tunggupun tiba tepat pukul 12.00 wita, waktu di mana aku meninggalkan umur 15 tahun dan memulai umurku yang baru. Beberapa ucapan kuterima dari teman terdekatku melalu sms dan sosial media, senang rasanya. Tak lupa, ku panjatkan do’a dan ucapan syukur kepada Allah SWT.

Keesokan harinya, ibu memasuki kamarku dan memberiku sebuah bingkisan cantik dengan pita ungu yang begitu anggun tertempel di atasnya.

“Selamat ulangtahun anakku!” ucap ibu sambil memeluk, dan memeberi kecupan hangat di keningku. Perlahan aku membuka kado yang ibu berikan. Isinya sehelai jibab putih yang begitu anggun. Segera kukenakan jilbab cantik ini di kepalaku.

“Subahanallah, betapa cantik anak ibu. Pakailah jilbab di setiap harimu, Nak. Suatu saat ia akan berarti untukmu!” pinta ibu memandangku dengan senyum indahnya.

Seusai shalat Magrib, aku termenung di atas sajadahku. Merenungkan nasihat ibu tadi pagi. “apa aku memang harus komitmen mengenakan jilbab saat ini?” tanyaku dalam hati. Serasa resah dalam hati ini. Terbayang beberapa pro dan kontra dalam hati dan pikiranku.

Pagi saat aku akan berangkat sekolah ku ambil jibab pemberian ibu kemarin. Aku berdiri di depan cermin dan mengaitkan jilbab itu di kepala. Pikiranku sudah mantap untuk mengenakan jilbab di setiap hariku. “Bismillah” ucapku.

Sesampai aku di sekolah, aku bertemu sahabat-sahabatku. Tak kusangka saat aku menceritakan kepada mereka tekadku untuk berhijab, mereka mendukungku penuh. Aku sangat bersyukur memiliki sahabat seperti mereka.

Bel pelajaran pertama dimulai. Aku segera memasuki kelas bersama sahabat-sahabatku. Hari ini pelajaran peratama adalah Biologi, salah satu pelajaran yang aku gemari. Salah satu alasan aku menyukai pelajaran ini karena ibu bercita-cita aku menjadi dokter.

Saat pelajaran sedang berlangsung, tiba-tiba ada seorang guru piket memasuki ruang kelasku, perlahan mendekati bangkuku dan sekarang ia berdiri tepat di sampingku. “Ada apa ini?” tanya batinku resah. Ia mulai bersimpuh di sebelahku. Aku semakin tak mengerti dengan situasi ini. Kemudian, ia berbisik di telingaku mengatakan aku harus segera pulang saat ini juga. Tetapi, aku membantah karena pelajaranku belum usai, lagi pula tidak ada alasan yang kuat yang mengharuskanku pulang sebelum pelajaran usai. Guru piket itu terus membujukku untuk segera pulang. Lagi-lagi aku menolaknya. Hingga pada akhirnya, guru piket itu berbisik kepadaku. “Nak, kamu harus segera pulang, ibumu baru saja meninggal dunia karena kecelakaan!”

Seketika saat mendengar bisikan itu, detak jantungku seolah berhenti. Kaki, tanganku terasa begitu dingin, sekujur tubuhku lemas tak berdaya dan perlahan air mataku menetes membasahi jilbab yang aku kenakan. Guru piket itu segera membopongku dan membawa aku pulang ke rumah.

Bendera putih telah berkibar di pagar rumahku, orang-orang yang silih berganti memasuki rumahku dengan pakaian serba hitamnya, dan lantunan surat: Yasin yang terdegar jelas di telinga ini membuat hatiku terasa semakin pilu. Aku segera berlari memasuki rumah. Kutemui wajah pucat ibu dengan senyum dan badan kaku ibu terbaring dengan balutan kain putih di atas ranjang. Kakiku melemas, aku besimpuh di sebelah ranjang bidadari hidupku itu. Tak biasa aku menahan rasa pilu yang semakin menusuk dalam batin ini, seketika tangisku pecah. Seolah tak percaya, secapat inikah bidadari hidupku ini pergi meninggalkanku? Kupeluk erat tubuh kaku itu, seolah hangat peluknya, lembut belaiannya, dan ikhlas kasih-sayangnya masih begitu aku rasakan.

Setelah kematian ibu, aku tinggal bersama bibi. Terasa ada yang hilang dalam diriku. Ada yang berbeda, aku sadar karena sekarang aku tak lagi di dampingi sosok ibu. Perlahan aku belajar untuk mengikhlaskan kepergian ibu, mungkin Allah lebih sayang kepadanya,” pikirku.

“Safa” terdengar suara bibi, yang menyadarkanku dari lamunan pendek itu. Aku segera berlari menuju sumber suara itu. Kutemui bibi sedang duduk dengan wajah serius di ruang tamu.

“Ada apa, Bi?” tanyaku menatap bibi.

“Bibi harus pindah bekerja ke luar negeri dan mau tidak mau kamu harus ikut!” jelas bibi dengan tatapan matanya yang tajam.

“Ke luar negeri? Apa bibi yakin? Aku ingin tetapi tinggal di sini” tanyaku seolah tak percaya.

“Bibi mengerti, tapi kita tidak punya pilihan lain. Bibi sudah menyanggupi amanah ibumu untuk mendidik dan mengurusmu” tegas bibi padaku.

Sejenak aku terdiam, “Ya Allah mengapa begitu bertubi cobaan yang Engkau berikan?”keluhku dalam hati.

Aku dan bibi duduk di kursi tunggu bandara untuk menunggu penerbangan pesawat kami. Tiba-tiba terdengar suara seperti memanggil namaku. Aku berdiri dan menoleh ke arah luar. Dari kejauhan terlihat sahabatku melambaikan tangan sambil berlari ke arahku. Entahlah, siapa yang memberi tahu mereka tentang keberangkatanku, aku sudah merahasiakannya. Aku berdiri tegak di samping koper menyambut mereka dengan senyum. Sejujurnya aku benci suasana ini karena pasti akan ada tumpahan air mata.

Mereka kini berada tepat di hadapanku, tak berselang beberapa detik mereka segera memelukku erat, tetesan air mata mereka terasa jatuh di pundaku. Sungguh untuk kali ini air mataku kembali menetes. Aku tak sanggup meninggalkan mereka. Beberapa bingkisan kenang-kenangan yang begitu indah mereka berikan untuku.

“Maaf ya, Fa. Kami hanya bisa memberimu sedikit kenang-kenangan ini, walaupun begitu kuharap dapat berguna untukmu” kata Ratna saat menaruh bingkisan tersebut di atas koperku.

“Sungguh, aku tak mengharapkan ini semua dari kalian. Kenangan hidupku bersama kalian saja sudah lebih dari indah dan tak ternilai harganya, terima kasih sobat kalian telah mengukir cerita indah dalam hidupku dan akan tersimpan rapi di dalam akuarium hati ini” kataku menatap mereka dengan mata berbinar seoalah saat-saat aku bersama mereka terus berputar seperti film tanpa henti di dalam otakku. Aku berjanji suatu saat nanti akan kembali ke tempat ini untuk kalian semua dan untuk almarhum, Ibuku.

Setelah kurang lebih 12 jam aku melayang di atas awan, akhirnya aku menginjakkan kakiku untuk pertama kalinya di tanah sebuah negara bagian Amerika. Perubahan cuaca di negara ini sedikit membuat sekujur tubuhku menggigil kedinginan dan tenggorokanku sedikit terasa serak. Aku melangkah sambil menggeret koperku mengikuti langkah kaki bibi yang menuju halaman bandara. Di sana telah menunggu sebuah mobil Ferary Silver, sepertinya itu mobil rekan kerja bibi yang menjemput kami. Setelah aku dan bibi berdiri di dekat mobil tersebut, seketika seorang lelaki bule yang berbadan tinggi besar, memiliki kulit putih, dan rambut coklat itu menyapa kami dengan senyum ramah. Tak lama kami pun membalas senyum itu.

“Farz, perkenalkan ini keponakanku dari Indonesia” kata bibi kepada lelaki itu. Aku sempat terkejut ketika bibi mengajaknya berkomunikasi dengan bahasa Indonesia.

“Safa, perkenalkan ini rekan kerja bibi. Ia juga sudah lama tinggal di Indonesia dan fasih menggunakan bahasa Indonesa” jelas bibi ketika melihatku terkejut mendengarnya menggunakan bahasa Indonesia.

“Hello Safa, senang bertemu denganmu” sapa Farz, ramah kepadaku.

“Hey Ferz senang bertemu denganmu juga” balasku.

Sepanjang perjalanan aku hanya terdiam mendengarkan bibi dan Farz berbicara dengan bahasa Inggris mereka yang fasih. Sepertinya mulai sekarang aku harus membawa kamus kemanapun aku pergi.

Sampailah kami pada sebuah rumah yang cukup besar, dan luas bercatkan putih indah. Ini adalah rumah yang akan aku dan bibi tempati, rumah yang cukup nyaman untukku dan bibi. Setelah menaruh barang bawaan kami, bibi mengatakan bahwa besok aku harus pergi ke sekolah baruku di sini. Sungguh, aku tidak yakin dapat beradaptasi dengan baik. Ya, aku harus mencoba sekolah baru itu. Aku tidak begitu antusias menyambutnya karena aku tidak suka mencoba hal baru yang mungkin nantinya tidak aku sukai.

Ini adalah hari pertama aku sekolah. Ya, sebuah sekolah di negara yang aku sama sekali tidak mengenal siapapun dan mulai saat ini aku harus menggunakan bahasa Inggris. Bibi mengantarku ke sekolah untuk hari pertamaku ini. Ia membawaku ke sebuah ruang kepala sekolah untuk mengurus admistrasi kepindahanku. Setelah itu bibi meninggalkanku. Saat berjalan di koridor sekolah untuk mencari kelasku, entah mengapa setiap orang menatapku tajam. Aku seperti berada dalam kandang harimau yang siap menerkamku. Mungkin karena penampilanku berbeda bengan mereka. Ya, hijabkulah yang membedakan aku dengan mereka.

“Hey, sedang apa kamu di sini? Sepertinya kamu anak baru di sini?” Tanya seorang gadis bule cantik, bermata biru.

“Iya, aku memang baru di sini aku mencari kelasku” jawabku.

“Bisa aku bantu? Kelasmu di mana?” tanyanya ramah padaku.

“Aku disuruh mencari kelas 10A apa kau tau di mana?” tanyaku meminta bantuan kepadanya.

“Oh, tentu aku tau itu adalah kelasku. Ayo ikut denganku” ajaknya. Aku mengikuti langkah kaki gadis ini. Sungguh tak seperti yang ku bayangkan, tenyata tak semua orang di sini risih denganpenampilanku. Saat perjalanan menuju kelas dia menanyakan namaku, sepertinya gadis ini adalah orang yang begitu baik dan ramah. Aku menyebutkan namaku dan balik bertanya nama gadis cantik ini. Dia menyebutkan namanya “Rachel” nama yang begitu indah.

Setelah beberapa mentit berjalan, kami sekarang tepat berdiri di depan sebuah pintu kelas. Dan seperti biasa ketika aku masuk mengikuti Rachel semua pasang mata yang ada di ruangan itu menatapku tajam. Entahlah, aku sendiri bingung harus bersikap seperti apa, aku hanya menunduk dan duduk di bangku sebelah Rachel. Terlihat beberapa gadis sedang mengobrol sambil memandangku aneh.

Saat jam istirahat, kami pergi ke ruang makan siang. Hari ini aku dan Rachel mendapat antrian paling akhir. Ketika kami telah mengambil makanan, ternyata semua meja telah terisi hanya ada dua kursi di tengah kumpulan gadis yang sepertinya teman sekelas kami. Rachel dan aku perlahan mendekati kursi itu.

“Permisi apa kami boleh bergabung” kata Rachel

“Jika kamu sendiri kamu boleh duduk di sini, tapi tidak dengan gadis serba tertutup di sebelahmuitu” cetus Jesica salah seorang dari kupulan gadis itu.

“Memangnya ada yang aneh dengan dia?” kata Rachel menanggapi.

“Jelas aneh dong, dia itu berbeda dengan kita lihat saja pakaiannya serba tertutup seperti itu, dan mungkin tidak memiliki rambut makannya ditutup dengan kain” lanjut Jesica.

“Atau mungkin rambunya penuh dengan ketombe” cetus salah seorang lagi.

Sungguh saat itu hatiku sangan teriris mendengar kata-kata mereka. Akuberlari keluar dan meninggalkan makananku. Ini adalah salah satu hal yang aku tidak sukai dengan sesuatu yang baru yang tidak akan mungkin memberiku kenyamanan seperti semula.

Sepulang sekolah aku segera masuk ke kamarku, memikirkan kata-kata Jesica dan teman-temannya tadi membuatku semakin tidak nyaman berada di tempat ini. Apa aku harus membuka jilbab ini? Agar aku bisa bergabung dengan mereka? Apa aku harus mengorbankan imanku hanya karena kata-kata yang menyakitkan itu? Beberapa pertanyaan itu terus bergejolak dalam hati dan pikiranku. Sekarang aku rindu sahabat-sahabatku di Indonesia. Mereka begitu antusias saat mengetahui aku menggunakan jilbab, aku rindu kehangatan mereka. Aku baru sadar bahwa bingkisan yang mereka berikan kepadaku belum sempat kubuka.

Kubuka satu persatu bingkisan itu. “Subahanallah”, betapa indah hadiah yang mereka berikan kepadaku. Seheai jilbab berwana ungu yang manis, sebuah Al-quran dan sepucuk pesan untuku yang kurang lebih berisi agar aku tetap kuat dan tidak melepaskan jilbab yang telah aku kenakan ini. Sungguh aku terharu menerima pesan ini, bahkan di saat seperti ini sahabat-sahabatku memberiku semangat dari jauh sana. Mereka membuatku semakin yakin untuk tidak melepaskan jilbab ini.

Keesokan harinya sama seperti biasa di sekoalah. Semua orang yang melihatku menakan jilbab ini mencibir dan mengucilkanku. Bahkan ada sekelompok orang pernah mengatakanku teroris. Ah, sudahlah aku tidak mau ambil pusing lagi dengan tanggapan orang terhadap penampilanku aku akan bertekat terus menggunakan jilbab ini.

Saat aku duduk di taman sekolah, tiba-tiba Rachel menghampiriku dengan sebuah amplop berwarna pink di tangannya.

“Ini untukmu Safa” kata Rachel memberiku amplop tersebut. Isinya, adalah sebuah undangan pesta ulang tahun Rachel.

“Kamu harus datang ya” sambungnya.

“Apa kamu yakin aku harus datang? Tetapi aku tidak bisa melepas jilbabku” jelasku pada Rachel.

“Tidak menjadi masalah, kamu tetap berpakaian seperti ini dan kamu tetap bisa datang ke acara pestaku. Aku mohon kamu datang ya?” pinta Rachel padaku. Aku pun menyanggupinya dengan anggukan kepala.

Seperti yang sudah kuduga saat aku sampai di acara pesta uang tahun Rachel semua mata tertuju padaku. Rasanya aku ingin segera beranjak dari tempat ini, apalagi dengan adanya Jesica dan teman-temannya membuatku semakin gerah mendengar cibiran mereka. Segera ku cari Rachel untuk mengucapkan selamat ulang tahun lalu aku segera beranjak pulang jika tidak, aku akan terus menjadi sorot perhatian semua orang di pesta ini.

Saat perjalanan pulang, aku melihat segerombolan preman di pinggir jalan, sepertinya mereka sedang mabuk. Aku ketakutan bukan main saat ini bagaimana jika mereka tiba mencegatku? Jika mereka melakukan hal-hal buruk kepadaku? Perlahan ku berjalan langkah demi langkahmelawati mereka. Ternyata mereka tidak bereaksi apapun ketika melihatku melewatinya. Syukurlah kuayuh sepedaku lebih kencang lagi hingga akhirnya sampai di rumah.

Pagi hari setelah aku sarapan, aku menghampiri bibi yang sedang menonton televisi. Betapa terkejutnya aku melihat berita pagi ini, Jesica dan teman-temannya diperkosa oleh preman yang tadi malam aku lewat. Segera kuceritakan kejadian yang aku alami semalam kepada bibi. Bibi juga heran mengapa preman itu tidak berniat menggangguku sedikitpun.

Akhirnya aku dan bibi memutuskan untuk pergi ke kantor polisi untuk memastikan berita tersebut. Ternyata apa yang diberitakan itu memang benar preman itu adalah preman yang aku temui semalam. Setelahdiintrogasi oleh polisi mengapa preman itu tidak menggangguku sedikitpun. Ia mengatakan bahwa aku serba tertutup dan tidak ada yang menarik dariku oleh sebab itu mereka tidak mau menggangguku.

Subahanallah, aku benar-benar bersyukur berkat pakaianku dan hijabku ini aku terbebas dari marabahaya dan tipu daya yang menghampiriku. Aku benar-benar bersyukur, sungguh tak bisa kubayangkan apa jadinya aku jika aku tidak mengenakan hijab ini. Allah masih menyayangiku.

***selesai***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun