Aku mengalihkan pandanganku kearah lain, kemudian tanpa sadar kaki ku membawa tubuhku masuk ke dalam rumah, meninggalkan Ara sendiri di halaman. Aku masuk ke dalam kamar. Tanpa rencana, air mataku keluar dengan sendirinya. Aku menjatuhkan badanku diatas kasur, pikiranku kosong. Mengetahui fakta ini benar-benar sakit untuk ku terima, aku memukul pipiku berkali kali dengan tujuan agar aku sadar jikalau ini hanyalah mimpi, namun hasilnya nihil, pipiku justru memerah karena pukulan yang keras.
Ara masuk ke dalam kamarku, ia mendekatiku lalu memeluk tubuhku. Aku semakin menangis di pelukannya, “Kenapa harus begini sih Ra...” ucapku dengan nada lemah, Ara hanya mengelus pundakku. Aku melepaskan pelukannya, lalu menatap mata Ara, “Ra, do i deserve this?” ucapku dengan suara paruh. Ara menggeleng sebagai jawaban, “Lo nggak pernah pantes untuk disakitin sama siapapun Kei” ucap Ara menenangkanku sambil terus mengelus bahuku. “Gue suka sama dia sejak 2 tahun lalu, dan gue seneng banget dengan segala kemajuan yang ada. Tapi malah ini hasil akhirnya? Gue nggak mau gini Ra...” ucapku berusaha berbicara di sesaknya dada. “You didn’t deserve this Kei, jangan pernah salahin diri lo untuk kesalahan ini ya” ucap Ara. Aku menggeleng, “Gue salah udah jatuh ke dia Ra” ucapku dengan susah payah. “Nggak ada yang salah dari mencintai seseorang Kei, dia yang salah karena udah buat lo jatuh terlalu dalam disaat dia aja punya seorang yang spesial. It’s okay ya Kei, berat emang. Tapi pelan pelan coba ikhlas ya? Gue yakin lo bisa kok!” ucap Ara yang kembali menarikku ke pelukannya. Mendengar semua omongan Ara membuatku semakin menangis.
Siang itu aku habiskan dengan menangisi lelaki yang bahkan tidak pernah perduli denganku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H