Mohon tunggu...
Lalang PradistiaUtama
Lalang PradistiaUtama Mohon Tunggu... Penulis - Ayah satu anak

Bekerja di Dinas Kominfo dan S2 Ilmu Komunikasi

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Indonesia dalam Diametral Laut China Selatan

31 Mei 2024   15:10 Diperbarui: 31 Mei 2024   15:19 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

Indonesia Dalam Diametral Laut China Selatan

Oleh: Lalang Pradistia Utama, S.Pd., M.I.Kom., CPS

ASN Pranata Hubungan Masyarakat Pemkab Cilacap

Sejak ketua HoR (House of Representative) Amerika Serikat, Nancy Pelocy mengunjungi Taiwan pada 2022 lalu , ketegangan di selat Taiwan makin meningkat. Eskalasi yang kemudian dibarengi dengan isu kampanye militer Tiongkok tak terelakkan dan suhu di kawasan makin memanas. Bukan rahasia lagi, Taiwan bisa menjadi bom waktu yang menjadi trigger kurusetra atau battlefield kawasan di masa depan. "Dualisme" China yang saling mengklaim yaitu sejak perang saudara antara Kuomintang dan Komunis yang kemudian dimenangkan oleh komunis masih menjadi sekam hingga sekarang. Bagi Republik Rakyat China atau Republik rakyat Tiongkok (China daratan/ RRT), Republik China (Taiwan) adalah bagian integral yang terpisahkan dan di masa depan reunifikasi harus dilakukan dengan berbagai cara termasuk dengan konfrontasi militer.

Kedatangan Pelocy tentu saja mengundang reaksi RRT dengan menyiagakan militernya untuk berperang dengan menembakkan rudal ke dekat wilayah Taiwan dengan balutan latihan militer. Sebagai "Polisi Dunia", AS tentu saja berkepentingan setidaknya melindungi kepentingan sekutunya. Manuver AS bukan tanpa alasan, mereka juga ingin berperan aktif dalam isu Laut China Selatan (LCS) dengan berbagai variabel penunjangnya. Taiwan ditengarai sebagai proxy AS di kawasan LCS dan menjadi buffer zone jika friksi antara AS dan Tiongkok tidak terelakkan.

Sebagai informasi, sebenarnya AS telah menyatakan tidak berkepentingan di LCS walaupun mereka juga terus memantau perkembangan yang terjadi di kawasan terjadi. Akan tetapi, pergerakan AS  dengan menempatkan dan menambah armada  membuktikan sebaliknya bahwa AS ingin menancapkan hegemoninya. Para ahli banyak mengulas mengapa hal ini terjadi salah satunya karena cadangan sumber daya alam terutama minyak dan gas yang melimpah. Bahkan, cadangan tersebut diprediksi terbanyak kedua setelah Arab Saudi. Penambahan kekuatan perang AS yang suatu saat bisa dikerahkan di kawasan LCS harus menjadi hal yang diwaspadai demi stabilitas kawasan.

Ketegangan di LCS sejak puluhan tahun lalu memunculkan percikan berulang seperti saling intai dalam hal ini pengerahan kekuatan militer dengan skala yang bervariasi, saling klaim di antara negara sekeliling dan varian ketegangan lain yang pada intinya ingin merebut pengaruh di LCS. Saking menariknya kawasan tersebut, Brunei Darussalam yang hampir tak terdengar dalam percaturan geopolitik juga ikut mengklaim sebagian kecil kawasan yang diperkirakan memiliki kandungan SDA (Sumber Daya Alam) yang melimpah.

China, sebagai negara paling besar di kawasan itu tentu memiliki dalil-dalil ambisius untuk mengangkangi kawasan itu. Nine Dash Line (Sembilan Garis Putus-Putus) pada peta yang dikeluarkan oleh RRT pun membelah perairan yang selama ini diklaim sebagai wilayah integral negara-negara di sekitarnya tak terkecuali Indonesia. Rilis peta perairan RRT dengan Nine Dash Line seolah mendekonstruksi UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) yang menjadi landasan negara di dunia dalam hal perairan tidak digubris oleh RRT

 Indonesia, walaupun tidak secara frontal ikut bagian pada konflik LCS, nyatanya hal tersebut tetap menyeret Indonesia ke dalam pusaran karena misalnya, perairan yang kita sebut sebagai Laut Natuna Utara ikut diklaim oleh negara lain terutama RRT. Tentunya masih segar dalam ingatan kita bagaimana terpancingnya emosi masyarakat Indonesia karena Coast Guard RRT ikut mengawal nelayannya mengambil ikan di perairan Natuna Utara yang memang masih menjadi ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) 200 mil laut Indonesia. Penyamaan persepsi negara yang berkepentingan di kawasan bukan hal mudah, semua memiliki landasan atau dalil yang bisa digunakan untuk berargumentasi. Jika dilayani secara diametral militeristik, tentu hal tersebut akan menjadi hal destruktif dan akan memantik kejadian yang lebih besar, yang tentu saja tidak kita inginkan.

Sekali lagi tidak mudah, terlebih di kawasan ASEAN sendiri masih terdapat tumpang tindih dan berebut kepentingan serta pengaruh di wilayah tersebut. Kita ambil contoh dengan Malaysia. Indonesia dan Malaysia setidaknya telah melakukan perundingan sebanyak 18 kali untuk memecahkan masalah batas perairan yang hingga hari ini belum secara komprehensif mencapai kesepakatan (https://www.kemhan.go.id/itjen/wp-content/uploads/2017/05/zee_lcs.pdf).

Poros Maritim dan Komunikasi Untuk Jalan Keluar

Sejak dilantik 2014 silam, Presiden Joko Widodo terus mengkampanyekan agar Indonesia menjadi poros maritim dunia. Pondasi yang telah dibangun Presiden selama hampir 10 tahun seyogyanya bisa diteruskan di kemudian hari dengan tentu saja perbaikan dan inovasi secara lebih komprehensif. Pemerintahan Presiden Joko Widodo yang menghindari sikap konfrontatif perlu mendapatkan apresiasi dan bisa dijadikan cetak biru untuk melindungi kepentingan Indonesia khususnya pada isu LCS.

Pendekatan humanistic yang dilakukan selama pemerintahan Presiden Joko Widodo tak lepas dari upaya komunikasi berkesinambungan yang berkelindan dengan citra dan reputasi Indonesia dalam hal maritim. Sebagai negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia dan nomor satu di ASEAN, bisa dimanfaatkan untuk mengorkestrasi ASEAN untuk bersama-sama menjaga stabilitas kawasan. Selain diplomatik, Indonesia juga bisa memainkan pendekatan propagandistik dan kultural (Hanifahturahmi: 2020).

Ancaman di laut Natuna Utara, jika tidak ingin menimbulkan dampak yang lebih destruktif, maka langkah komunikasi internasional atau diplomatik harus dilakukan. Tentunya, langkah diplomatik bukan berarti Indonesia tidak bisa melakukan langkah koersif yang di dalamnya ada beberapa variabel seperti perdagangan, hegemoni dan variabel lain yang menunjukan kedaulatan bangsa Indonesia.

Menurut Hasher dkk (1977), sesuatu yang diulang akan menjadi sebuah kebenaran komunal. Propaganda, sebuah langkah yang harus dilakukan Indonesia untuk menjaga kedaulatan wilayah natuna utara yang irisannya diklaim oleh RRT melalui Nine Dash Line. Propaganda ini bisa mengarah ke dalam dan ke luar. Propaganda ke dalam, dengan menggunakan berbagai saluran, rakyat Indonesia harus diberi pengertian bahwa mereka mempunyai aset penting yang harus dilindungi untuk kepentingan bersama sehingga terdapat dorongan dari dalam untuk mengerahkan tenaga dan pikirannya menjaga kedaulatan dari berbagai ancaman termasuk dalam hal ini maritim. Harus diakui bahwa rakyat Indonesia akan bereaksi dan memiliki kesadaran tinggi jika terdapat wake up call seperti yang terjadi ketika terjadi dinamika di wilayah laut Natuna Utara.

Propaganda ke luar bisa juga dilakukan dengan berbagai saluran juga namun isian yang paling penting adalah Indonesia harus bisa menahbiskan diri ke luar terutama di wilayah ASEAN bahwa Indonesia mampu menghegemoni kawasan secara maritim. Indonesia harus bisa dipercaya sebagai conductor yang mampu mengorkestrasi ASEAN menghadapi ancaman di LCS. Posisi strategis yang dimiliki Indonesia yang tidak dimiliki bangsa lain harus mampu menjadi daya tawar di kawasan dan menjadi soft maupun hard koersif. Selat Malaka yang menjadi perairan penting bagi kawasan bahkan dunia harus mampu dimanfaatkan menjadi choking point yang kemudian memaksa negara lain termasuk RRT untuk melakukan perundingan komprehensif terkait LCS atau laut Natuna Utara. Kebutuhan minyak China, juga tidak lepas dari suplai Timur Tengah yang jalur distribusinya melalui Natuna Utara sehingga kebutuhan lalu lintas di kawasan tersebut tak bisa terhindarkan. Propaganda perlu dilakukan agar Indonesia tidak kalah dalam perang udara atau internet. Hal itu dikarenakan RRT juga melakukan hal sama dengan melakukan perang pemikiran tentang LCS dengan berbagai kanal media (Ananggadipa: 2018).

Kesemua hal yang dilakukan haruslah bermuara pada kejayaan bangsa Indonesia dan tentu saja kesejahteraan masyarakat Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun