Indonesia Dalam Diametral Laut China Selatan
Oleh: Lalang Pradistia Utama, S.Pd., M.I.Kom., CPS
ASN Pranata Hubungan Masyarakat Pemkab Cilacap
Sejak ketua HoR (House of Representative) Amerika Serikat, Nancy Pelocy mengunjungi Taiwan pada 2022 lalu , ketegangan di selat Taiwan makin meningkat. Eskalasi yang kemudian dibarengi dengan isu kampanye militer Tiongkok tak terelakkan dan suhu di kawasan makin memanas. Bukan rahasia lagi, Taiwan bisa menjadi bom waktu yang menjadi trigger kurusetra atau battlefield kawasan di masa depan. "Dualisme" China yang saling mengklaim yaitu sejak perang saudara antara Kuomintang dan Komunis yang kemudian dimenangkan oleh komunis masih menjadi sekam hingga sekarang. Bagi Republik Rakyat China atau Republik rakyat Tiongkok (China daratan/ RRT), Republik China (Taiwan) adalah bagian integral yang terpisahkan dan di masa depan reunifikasi harus dilakukan dengan berbagai cara termasuk dengan konfrontasi militer.
Kedatangan Pelocy tentu saja mengundang reaksi RRT dengan menyiagakan militernya untuk berperang dengan menembakkan rudal ke dekat wilayah Taiwan dengan balutan latihan militer. Sebagai "Polisi Dunia", AS tentu saja berkepentingan setidaknya melindungi kepentingan sekutunya. Manuver AS bukan tanpa alasan, mereka juga ingin berperan aktif dalam isu Laut China Selatan (LCS) dengan berbagai variabel penunjangnya. Taiwan ditengarai sebagai proxy AS di kawasan LCS dan menjadi buffer zone jika friksi antara AS dan Tiongkok tidak terelakkan.
Sebagai informasi, sebenarnya AS telah menyatakan tidak berkepentingan di LCS walaupun mereka juga terus memantau perkembangan yang terjadi di kawasan terjadi. Akan tetapi, pergerakan AS  dengan menempatkan dan menambah armada  membuktikan sebaliknya bahwa AS ingin menancapkan hegemoninya. Para ahli banyak mengulas mengapa hal ini terjadi salah satunya karena cadangan sumber daya alam terutama minyak dan gas yang melimpah. Bahkan, cadangan tersebut diprediksi terbanyak kedua setelah Arab Saudi. Penambahan kekuatan perang AS yang suatu saat bisa dikerahkan di kawasan LCS harus menjadi hal yang diwaspadai demi stabilitas kawasan.
Ketegangan di LCS sejak puluhan tahun lalu memunculkan percikan berulang seperti saling intai dalam hal ini pengerahan kekuatan militer dengan skala yang bervariasi, saling klaim di antara negara sekeliling dan varian ketegangan lain yang pada intinya ingin merebut pengaruh di LCS. Saking menariknya kawasan tersebut, Brunei Darussalam yang hampir tak terdengar dalam percaturan geopolitik juga ikut mengklaim sebagian kecil kawasan yang diperkirakan memiliki kandungan SDA (Sumber Daya Alam) yang melimpah.
China, sebagai negara paling besar di kawasan itu tentu memiliki dalil-dalil ambisius untuk mengangkangi kawasan itu. Nine Dash Line (Sembilan Garis Putus-Putus) pada peta yang dikeluarkan oleh RRT pun membelah perairan yang selama ini diklaim sebagai wilayah integral negara-negara di sekitarnya tak terkecuali Indonesia. Rilis peta perairan RRT dengan Nine Dash Line seolah mendekonstruksi UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) yang menjadi landasan negara di dunia dalam hal perairan tidak digubris oleh RRT
 Indonesia, walaupun tidak secara frontal ikut bagian pada konflik LCS, nyatanya hal tersebut tetap menyeret Indonesia ke dalam pusaran karena misalnya, perairan yang kita sebut sebagai Laut Natuna Utara ikut diklaim oleh negara lain terutama RRT. Tentunya masih segar dalam ingatan kita bagaimana terpancingnya emosi masyarakat Indonesia karena Coast Guard RRT ikut mengawal nelayannya mengambil ikan di perairan Natuna Utara yang memang masih menjadi ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) 200 mil laut Indonesia. Penyamaan persepsi negara yang berkepentingan di kawasan bukan hal mudah, semua memiliki landasan atau dalil yang bisa digunakan untuk berargumentasi. Jika dilayani secara diametral militeristik, tentu hal tersebut akan menjadi hal destruktif dan akan memantik kejadian yang lebih besar, yang tentu saja tidak kita inginkan.
Sekali lagi tidak mudah, terlebih di kawasan ASEAN sendiri masih terdapat tumpang tindih dan berebut kepentingan serta pengaruh di wilayah tersebut. Kita ambil contoh dengan Malaysia. Indonesia dan Malaysia setidaknya telah melakukan perundingan sebanyak 18 kali untuk memecahkan masalah batas perairan yang hingga hari ini belum secara komprehensif mencapai kesepakatan (https://www.kemhan.go.id/itjen/wp-content/uploads/2017/05/zee_lcs.pdf).
Poros Maritim dan Komunikasi Untuk Jalan Keluar