Mohon tunggu...
Lalang PradistiaUtama
Lalang PradistiaUtama Mohon Tunggu... Penulis - Ayah satu anak

Bekerja di Dinas Kominfo dan S2 Ilmu Komunikasi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mitos Sisifus KPK

11 Mei 2021   07:34 Diperbarui: 11 Mei 2021   07:37 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

'Serangan balik' terhadap rangkaian OTT melalui UU KPK adalah sikap terhadap agresivitas KPK yang melulu tentang OTT. OTT juga rawan digunakan untuk kepentingan politik tertentu dengan memanfaatkan KPK. Banyak pejabat publik yang akhirnya 'terjebak" OTT karena kesalahan 'kecil' yang bersifat administrative yang akhirnya mereka harus berkelindan dengan berbagai oknum untuk membersihkan perkara mereka.

Tentang hal di atas, Presiden Jokowi ternyata jeli. Pada masa awal periode pertama, Jokowi mengumpulkak para Kajati yang memberikan pesan bahwa kesalahan yang bersifat administratif jangan dulu ditindak. Jokowi dengan pengalamannya sebagai kepala daerah agaknya tahu penegak hokum sering bermanuver saat kesalahan bersifat administratif menerpa.

Main mata antara pejabat publik dengan penegak hokum inilah yang memunculkan berbagai spekulasi. Terlebih ketika Walikota Tanjung Balai ketahuan berkonspirasi dengan penyidik KPK. KPK sebagai lembaga super body yang sangat ditakuti itu dijamah-jamah oleh oknum pejabat public, lalu bagaimana dengan penegak hokum yang tidak diberi kewenangan seluas KPK?

Kong kalikong antara penegak hokum dengan pihak yang berpekara paling legendaris yang kemudian diungkap KPK adalah jaksa Urip dengan Artalita Suryani atau Ayin. Inilah pintu masuk OTT KPK yang disebabkan persekongkolan antara penegak hokum dengan pihak berperkara.

KPK Tinggal Legenda?

Apatisme masyarakat terhadap KPK sebetulnya dimulai saat dimulainya seleksi pimpinan KPK di masa yang sekarang. Kasus penyobekan yang dikenal dengan buku merah KPK sehingga sang pegawai dihatuhi hukuman etik dan kemudian menjadi salah satu pimpinan merupakan distorsi atas reputasi dan citra yang telah dibangun selama ini.

Di tengah sorotan masyarakat yang belum selesai, pimpinan KPK kembali diterpa berita helikopter yang menghebohkan. Di Indonesia yang sedang gandrung dengan kesederhanaan, helikopter adalah anti-tesis dari apa yang digandrungi masyarakat.

KPK melegenda karena berhasil menyeret nama-nama besar baik OTT maupun bukan ke meja pesakitan. Sesuatu yang sebelumnya tidak pernah terjadi dan legenda itu dibentuk dari personal KPK yang mempunyai idealism. Idealisme itulah yang kemudian membuat mereka baik pimpinan maupun penyidik terpental. Sebut saja Antasari Azhar yang sedang garang-garangnya harus terhenti oleh kasus yang kemudian hari oleh public dicurigai sebagai sesuatu yang tidak seperti digambarkan.

Lalu, kemudian ada Novel Baswedan dan 74 pegawai lainnya yang harus menghadapi nasib tak jelas setelah gagal melalui tes wawasan kebangsaan. Tidak main-main, TWK ini melibatkan lembaga telik sandi yang pastinya latar belakang mereka telah diteliti dengan seksama.

Kita semua sepakat jika hasil TWK bersifat obyektif maka ke-75 pegawai itu memang harus dievaluasi karena itu bersinggungan dengan ideology negara yang tidak bisa ditawar. Akan tetapi, jika TWK itu dipakai sebagai legalitas untuk menyingkirkan personel yang tidak good boy, maka ini akan menjadi boomerang bagi eksistensi lembaga keramat itu. Jangan sampai ketidak heranan para akademisi bulak sumur atas gagalnya Novel dkk terbukti. Diperlukan ketransparanan dari KPK akan hal tersebut agar citra mereka tidak makin merosot dan kepahlawanan mereka hanya tinggal legenda.

KPK harus segera merestorasi citra mereka dengan bergerak cepat dalam hal pemberantasan korupsi. Restorasi citra ini hanya bisa dilakukan jika sebuah lembaga mampu menunjukan kinerja baik sesuai dengan bidangnya (Kriyantono: 2014). Sehingga batu besar yang dibawa Sisifus dalam KPK yang sekarang di bawah bisa kembali ke atas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun