Oleh: Lalang Pradistia Utama
Pascasarjana Ilmu Komunikasi Unsoed Purwokerto
Humas Pemuda Muhammadiyah Purbalingga
Sisifus dikutuk untuk mendorong batu besar ke atas puncak bukit. Setelah batu besar sampai di puncak, batu digelindingkan kembali ke bawah dan hal tersebut berulang-ulang secara terus menerus. Itu adalah cerita mitos Sisifus dari Yunani yang dirangkum oleh Albert Camus untuk menggambarkan ke-absurd-an.
Cerita mitos tentang Sisifus dapat diinterpretasikan berbagai macam dan yang jelas itu adalah penggambaran bagaimana seseorang atau sistem yang dirancang dengan rapi untuk menuju kejayaan, dijatuhkan kembali menuju titik nadir. Dalam mitos itu juga terdapat unsur kesengajaan yang dilakukan seseorang agar apa yang dicapai dikembalikan lagi kepada titik terendah.
Dongeng atau mitos Sisifus tersebut semoga hanya mitos dan dongeng belaka karena hal itu sangat tidak masuk akal. Dimana cita-cita seseorang dan sistem untuk mengantarkan suatu yang luhur kepada puncak tertinggi justru digelindingkan kembali kepada yang paling nista dan tidak berharga. Itu tentu saja sebuah ketidakmasukakalan yang mengarahkan pada pengulangan sejarah yang tidak baik.
Tapi agaknya, dongeng sisifus begitu presisi untuk beberapa kasus termasuk dalam penegakan hukum. Di Indonesia, penegakan hukum yang paling mendapat sorotan adalah soal bagaimana sikap penegak hukum kepada para pelaku tindak pidana korupsi. Korupsi di Indonesia menjadi penyakit kronis yang menurun bahkan sejak reformasi dicetuskan. Di masa reformasi bahkan ada idiom yang menyatakan 'kalau dulu korupsi berlangsung di balik meja dan sekarang korupsi berlangsung di atas meja'. Sebuah kalimat yang menggambarkan pesimisme masyarakat terhadap praktek korupsi yang semakin menggurita.
Indeks persepsi korupsi di Indonesia tidak pernah beranjak kepada posisi yang baik dikarenakan mental para birokrat yang berorientasi untung untuk setiap pelayanan atau kegiatan. Kong kalikong persekongkolan untuk memuluskan niat jahat memperkaya diri sendiri para abdi negara dengan sesame abdi negara atau pihak ketiga 'lazim' dilakukan.
Harapan mulai muncul tatkala UU Nomor 30 tentang KPK tahun 2002 dan dipraktekan secara baik oleh Presiden Megawati Soekarno Putri. Di tahun-tahun kala Megawati berkuasa, terapi kejut lewat KPK berjalan cukup efektif setidaknya untuk mencitrakan kepada masyarakat bahwa pemerintah mempunyai itikad baik dalam hal pemberantasan korupsi. Keramatnya pos jabatan seperti Menteri terendus dan terjaring oleh penegakan hukum yang dilakukan oleh KPK. Tercatat ada empat Menteri yang tersangkut kasus korupsi di masa Megawati yaitu Rokhmin Dahuri yang kala itu menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, Achmad Sujudi yang menjabat sebagai Menteri Kesehatan, Hari Sabarno yang menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri dan Bachtiar Chamsyah yang menjadi Menteri Sosial.
Yang menarik dari Menteri-Menteri Megawati tersebut adalah mereka ditetapkan sebagai tersangka setelah mereka sudah tidak lagi menjabat Menteri atau ditetapkan tersangka saat tampuk pimpinan dipegang oleh Presiden SBY. Ini tentu saja menimbulkan pertanyaan apakah di masa pemerintahan sebelum SBY memiliki political will untuk melakukan pemberantasan korupsi. Karena dalam melakukan pemberantasan korupsi juga diperlukan niatan politik dari penguasa (Setiadi: 2000).
Bandingkan dengan SBY yang 'membiarkan' Menterinya dicokok KPK bahkan dua Menteri yaitu Andi Mallarangeng dan Jero Wacik adalah dua orang Menteri SBY yang merupakan dari partai yang sama dengan pemrintah yaitu Demokrat. Tentu saja itu tidak bisa menjadi indikator keseriusan pemberantasan korupsi dua mantan Presiden tersebut. Akan tetapi, pemberian ruang yang luas kepada penegak hukum khususnya KPK menjadi bukti supremasi hukum menjadi hal yang sakral di masa Presiden SBY.