Narsisme Politik
Oleh: Lalang Pradistia Utama, S.Pd
Di era sebelum kemerdekaan atau tepatnya pada masa yang lazim kita sebut dengan kebangkitan nasional, tuntutan agar kaum bumi putera lebih diberi ruang dalam kancah politik semakin mengemuka. Cipto Mangunkusumo beserta kawan-kawannya yang tergabung dalam Budi Utomo mendesak pemerintah kolonial memberikan panggung politik dan pemerintah kolonial memang memberikannya dan mengakomodasi bumi putera untuk duduk dalam volksraad.
 Cipto Mangunkusumo dan teman-temannya yang notabene adalah seorang ningrat yang sudah bergelimang kenikmatan tak mau terlena dengan kedudukannya. Jika mereka mau, mereka bisa saja stagnan pada zona nyaman yang diberikan pemerintah kolonial. Tapi, mereka mampu memandang dinamika dengan pandangan yang jernih dan tajam sehingga ketidakadilan yang di dapat warga pribumi mampu diterjemahkan melalui gerakan-gerakan yang mereka gawangi.
Tokoh politik saat itu hingga bermuara pada kemerdekaan Indonesia, berjuang dengan sangat murni untuk membebaskan bangsa Indonesia dari jerat penjajahan dan ingin mengurus bangsanya secara mandiri. Ketokohan seperti Soekarno, Hatta, Agus Salim mereka manfaatkan sebaik-baiknya guna bermanuver demi kepentingan bangsa semata.Â
Ketulusan itu bisa kita lihat dari pengorbanan para founding father tersebut. Soekarno harus bekerja sebagai penulis lepas di surat kabar dan dari honor tersebut digunakan untuk membiayai pergerakan. Pun Hatta, dia berjanji kepada dirinya sendiri untuk tidak menikah hingga bangsa ini merdeka.
Ketokohan seseorang dalam politik  dengan kesadaran niat yang tulus demi kemaslahatan bangsa. Ketokohan pada saat itu bukan sekedar narsisme tanpa isi. Prestasi mereka di kancah perpolitikan pada masa perjuangan mampu membuat pemerintah kolonial naik menuju perundingan yang pada akhirnya menguntungkan bangsa ini.
Kedekatan mereka dengan rakyat jelata pun menambah eksotisme sejarah bangsa Indonesia. Jauh sebelum kebangkitan nasional, Pangeran Diponegoro mampu menghadirkan sebuah filosofi ketokohan dalam politik. Seorang pangeran mau dan rela meninggalkan istana dengan segala hingar bingarnya dan memilih bergerilya Bersama rakyat serta tak mau menjilat kepada pemerintah kolonial.Â
Perjuangan Bersama rakyat itu mampu membuat pemerintah kolonial kalang kabut dan menghabiskan 25 juta gulden. Jika pemerintah kolonial tidak menggunakan cara licik, mungkin saja kemerdekaan bangsa ini akan hadir lebih awal.
Ketokohan seseorang telah terbukti menyedot perhatian simpati publik. Namun ada perbedaan mencolok kekuatan magis dari ketokohan zaman dulu dengan narsisme politik pada masa sekarang. Pemujaan terhadap diri sendiri melalui berbagai macam media adalah hiasan politik pada masa sekarang yang terkadang membuat kita risih.
Tuntutan popularitas yang diharuskan pada masa politik zaman ini membuat orang yang minim prestasi, kalua tidak mau dikatakan zero achievement berlomba menunjukan eksistensi mereka yang mirisnya menjurus pada narsisme. Mereka tanpa sungkan melebih-lebihkan dan menonjolkan diri mereka sendiri melalui media jalanan (poster, baliho, spanduk) dengan hanya menuliskan ajakan memilih dan tagline minim yang sedang trend.Â