Mohon tunggu...
Lalan Rupawan
Lalan Rupawan Mohon Tunggu... wiraswasta -

tulis aja mikir belakangan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Embun di Bibir Cangkir

26 April 2014   08:24 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:11 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah berbasa basi sebentar kau  meneguk kopi dengan embun di bibir cangkir , "aku harus pergi " katamu seakan terpaksa . "ya , kau memang harus pergi" jawabku , dan aku harus pulang ... ini tengah malam istriku sakit flu dan anakku belum minum susu , kau tahu sekotak susu harganya seratus ribu dan seratus ribu adalah upah kerjaku selama satu minggu.

Kita memang pernah bersama kuasai ini taman , kita kencingi sekeliling taman seolah kita adalah singa di rimba Afrika yang tengah menandai teritori . Tak ada makhluk di dimensi manapun di taman ini yang tak mengenal kita , kitalah penguasa malam taman Veteran . Tapi itu sebelas tahun lalu , aku kini beristri dan anak satu . Istriku sakit flu dan anakku belum minum  susu .

Kau datang tak tepat waktu , aku fakir dengan upah seratus ribu seminggu dan kau pelarian lapas Batu . Aku tak bisa membantu , kini aku ayah beranak satu yang butuh susu butuh buku agar anakku kelak tak jadi kuli berupah seratus ribu seminggu .

Embun di bangku taman , kawan lama kita mungkin mengetahui segalanya . Aku telah lama tak menemuinya sejak kau pergi dengan kepala tertunduk sebelas tahun lalu , kau tahu ... aku memang nokturnal tapi aku cuma suka kebebasan dan bukan suka kejahatan , aku berlepas diri dari semua yang menyeretmu ke lapas Batu .

Kau tahu , kawan , aku berjualan buku  berjualan sepatu berjualan kaca mata tiga sepuluh ribu semua demi aku bisa meneguk kopi di taman ini dengan embun di bibir cangkir , demi melampiaskan rinduku kepada taman dengan bau pesing tuna wisma dan lagu lagu Elvin Bishop satu satunya kaset yang dipunyai tukang kopi . kawan , aku tak pernah peduli kenapa uangmu begitu banyak padahal kau tak pernah berkeringat , yang aku peduli cuma embun di bibir cangkir , bau pesing dan Elvin Bishop , tentu saja dengan kau ada dan mengencingi teritori , maka ketika kau tak ada ... aku menandai teritoriku sendiri di rumah petak dua kali dua , menulis catatan melukis rembulan hingga aku temukan Sri yang kini sakit flu dan anaknya tidur sebelum minum susu .

Pergilah kawan , hadapi karmamu . Dua atau tiga tahun lagi kita akan rayakan kebebasanmu di rumah kontrakan karena di taman tak ada lagi teritori untuk dikencingi , pedagang kaki lima dan tuna wisma semakin banyak di negeri "fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara" ini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun