Yoyo Supriadi, yang sering disapa Koh Yoyo, merupakan warga keturunan Tionghoa. Pria berusia 45 tahun ini tinggal di Desa Cibunar, Parung Panjang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Indonesia. Sosok pria yang telah memiliki istri dan 2 orang anak ini bekerja sebagai karyawan perusahaan di Jakarta. Dia beragama budha.
Demikian juga dengan anak dan istrinya serta kedua orang tuanya. Dia tinggal bersama ayah dan ibunya. Jadi, di keluarganya sebanyak 6 orang dan memeluk agama Budha. Seminggu sekali, Koh Yoyo bersama dengan keluarganya rutin beribadah ke Wihara/Klenteng di daerah Parung Panjang.
Sebagai informasi, di Desa Cibunar terdapat beberapa keluarga keturunan Tionghoa yang sudah ada sejak dulu kala. Dalam kehidupan sosial, mereka membaur dengan warga lokal, tanpa memandang suku, ras, budaya, dan agama. Sebuah pemandangan kehidupan sosial yang sangat menyejukkan. Hidup berdampingan dengan rukun meskipun memiliki banyak perbedaan seperti suku, budaya, ras, dan agama. Sebagian besar warga lokal memeluk agama Islam.
Terdapat tradisi unik di Desa Cibunar. Setiap perayaan umat Muslim, seperti Maulid Nabi [hari lahir Nabi Muhammad SAW], keluarga Koh Yoyo ikut merayakannya setiap tahun. Jadi, pada hari peryaan Maulid Nabi, keluarga Koh Yoyo memanggil tetangganya untuk datang ke rumah untuk berkumpul dan berdoa. Selain tetangganya, juga terdapat ustaz yang memimpin doa-doa secara Islam, seperti tahlilan dan doa-doa dalam Bahasa Arab.
Berhubung keluarga Koh Yoyo beragama Budha, mereka hanya ikut duduk bareng dan mendengarkan dengan khidmat tahlilan dan doa-doa yang dipimpin seorang ustaz.
Sementara itu, keluarga Koh Yoyo sudah menyiapkan kudapan, kue, bahkan memotong beberapa ekor ayam untuk disajikan bersama. Tidak hanya itu, Koh Yoyo pun menyiapkan nasi kotak dan jajanan (berkatan) untuk dibawa pulang para tentangga yang datang ke rumahnya.
Sebuah pemandangan yang sangat menyejukkan. Sebuah toleransi nyata antarumat beragama. Ini riil terjadi di sebuah desa di pinggiran DKI Jakarta. Ketika terdengar hingar-bingar berita-berita tentang kebencian antarumat beragama, paham ekstremisme, radikalisme, ternyata masih ada sebuah toleransi yang sangat indah di Desa Cibunar.
Demikian juga ketika perayaan Imlek (Tahun Baru China), keluarga keturunan Tionghoa di Desa Cibunar merayakannya. Mereka membagi-bagikan angpao dan memberikan kue-kue kepada para tetangganya.
Contoh kisah Koh Yoyo merupakan bentuk toleransi antarumat beragam. Lalu bagaimana dengan toleransi intraagama (dalam satu agama), yang juga seringkali terjadi perbedaan. Misalnya bagi pemeluk agama Islam, bacaan qunut saat salat Shubuh, bagi yang membaca doa qunut ataupun tidak, tentu harus saling menghormati. Perbedaan-perbedaan yang tidak fundamental seperti ini yang tidak perlu untuk diperuncing.
TOLERANSI UNTUK KEADILAN
Topik tentang toleransi sudah banyak dibicarakan para cendekiawan Muslim yang menjadi asas penting dalam pembentukan masyarakat madani atau beradab. Bagaimana membentuk sikap tenggang rasa dan saling menghormati di antara berbagai perbedaan yang mengemuka di masyarakat. Apalagi dalam konteks Indonesia yang sangat beragam baik dari sisi sosial, suku, budaya, dan agama serta tingkat perekonomian. Orang bijak mengatakan bahwa perbedaan adalah sebuah anugerah yang justru harus disyukuri, bukan dipersoalkan. Kalau kata anak muda, 'ga beda, ga asik' [kalau semuanya sama, semuanya seragam, menjadi monoton].
Kadang kala, ego sebagian kelompok, yang seringkali didorong oleh kepentingan politik, seringkali tidak bisa dihindari, terdengar begitu nyaring di ruang publik. Untuk konteks Indonesia, semestinya toleransi juga untuk menumbuhkan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat seperti tertuang dalam sila ke-5 Pancasila. Dalam bahasa Arab, "toleransi" artinya tasamuh yang pengertiannya mengandung hal resiprokal, musyarakah baynal isnayn.
Setiap individu selayaknya mengutamakan asas kemanusiaan yang lebih luas, seperti halnya keadilan. Dengan mengedepankan rasa kemanusiaan dan keadilan, toleransi, tenggang rasa, dan saling menghargai antarsesama makhluk Allah akan terbentuk dengan indah. Bukan menonjolkan perbedaan, tetapi mengedepankan kebersamaan dan keadilan serta kemanusiaan sehingga tercipta kerukunan dalam beragama maupun dalam kehidupan secara luas. Jika setiap individu menyadari hal itu, maka toleransi antar umat beragama akan terbentuk secara kuat.
Sejatinya, agama adalah pembimbing bagi manusia agar terwujud ketenangan, kedamaian, dan kesejahteraan kehidupan. Setiap agama membawa misi suci tersebut. Namun, seringkali dalam praktik kehidupan sehari-hari, agama tereduksi oleh sikap dan tindakan penganutnya sendiri. Padahal, agama berisi prinsip-prinsip dasar dalam membangun kehidupan.
Tentu, sikap toleransi secara luas dalam kehidupan diharapkan dapat terbentuk pada generasi milenial, para anak-anak muda yang akan menjadi masa depan bangsa bahkan dunia. Dengan tertanamnya sikap toleransi para generasi milenial diharapkan kehidupan dunia semakin damai, tenteram, dan sejahtera.
MELAWAN EKSTREMISME
Kita sering mendengar kata "ekstremisme". Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ekstremisme artinya keadaan atau tindakan menganut paham ekstrem berdasarkan pandangan agama, politik, dan sebagainya.
Ekstremisme ini identik juga dengan adanya kekerasan. Bahkan, ekstremisme adalah tindakan menganut paham ekstrem berdasarkan pandangan agama, politik, dan sebagainya. Ideologi ini dianggap berada jauh di luar sikap masyarakat pada umumnya.
Melihat artinya, tentu ektremisme tidak dikehendaki oleh manusia. Secara ideologi, ekstremisme adalah ideologi dengan sistem berpikir untuk mencapai sistem politik, sosial dan budaya yang melampaui batas dengan konsekuensi adanya bahaya dan kerusakan bagi individu atau lingkungan.
Lalu bagaimana cara mencegah tumbuhnya sikap esktremisme? Pertama, pendidikan. Pendidikan menjadi cara ampuh dalam mencegah sikap ekstrem. Selanjutnya pendidikan keluarga juga sangat mempengaruhi pandangan seseorang terhadap sesuatu hal. Keluarga menjadi peran penting dalam menumbuhkan sikap toleran dan tenggang rasa sekaligus mencegah tumbuhnya sikap ekstrem.
Hampir semua orang sudah pasti menolak ekstrimisme karena sangat merugikan. Cara melawan paham ekstrem tentu melalui sosialisasi tentang toleransi dan paham-paham kemanusiaan secara universal. Tidak ada tujuan baik ditempuh dengan cara jahat. Tujuan baik juga harus ditempuh dengan cara baik. Jika penganut ekstremisme beralasan dengan melakukan berbagai cara demi mencapai tujuan, tentu ini sangat salah besar.
Bagi generasi muda dan kaum milenial, kegiatan-kegiatan positif, bersosialisasi tanpa melihat latar belakang suku, budaya, ras, dan agama juga menjadi salah satu cara untuk melawan tumbuhnya paham ekstremisme.
Semua tentu berharap tumbuh sikap toleran dan tenggang rasa yang akhirnya dapat membendug paham ekstremisme. Kisah Koh Yoyo dari sebuah desa di pinggiran Ibu Kota Indonesia, DKI Jakarta, menjadi sebuah contoh konkret sikap toleransi yang dapat mencegah paham ekstremisme. Semoga kisah-kisah seperti ini bisa menginspirasi semua pihak untuk menjunjung tinggi sikap toleransi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H