Dear Diary
Desa kecil itu menjadi sanksi persinggahan hidupnya keluarga kecilku. Sungguh tak dapat dipungkiri, hidup di tengah keluarga penjual mie ayam ini membuatku sangat bahagia.Â
Bahagia karena tak kurangnya kasih sayang yang didapatkan, tak kurang materi yang didapatkan walaupun serba berkecukupan hal itu membuatku belajar banyak hal akan arti kehidupan melalui kedua orang tua yang hebat. Orangtua yang banting tulang untuk mencari nafkah, dan mampu membiayaku masuk Perguruan tinggi. Mereka hebat!
Berbicara bulan Ramadan ini, hanya suasana yang berbeda. Suasana yang mempengaruhi segala hal di kehidupan keluargaku.Â
Namun, setiap tahunnya bulan Ramadan adalah bulan yang sangat spesial dan istimewa. Meja makan dipenuhi oleh laul pauk masakan ibu dan bapak, makan bersama saat berbuka dan sahur dengan lauk sebelumnya.Â
Itu sudah menjadi rutinitas dalam keluargaku. Lahir di tengah orang tua hebat ini menjadikanku seorang yang tangguh dengan rasa syukur yang merka ajarkan kepada ketiga anaknya termasuk aku.
2 bulan lalu, ibuku meminjam uang di salah satu lembaga keuangan. Hal itu beliau lakukan untuk menyambung hidup keluarga kecilnya. Uang itu pula digunakan ibuku untuk membayar utang kepada yang lainnya, sungguh rasanya aku ingin membantu tapi tabunganku sudah tak tersisa. Ingin rasanya menangis, tapi tak ada gunakan karena setiap rencana Allah itu yang terbaik buat makhluknya. Keyakinan itu selalu tertanam di keluarga ku.
Dan 2 bulan lalu pula, ibu ku merasakan penurunan drastis atas jualan mie ayamnya.
Sampai saat ini, hanya sekitar 6-8 mangkuk setiap harinya yang mampu terjual. Dengan 2 gerobak yang harus didorong setiap akan berangkat jualan, bergotong royong sebagai anak adalah tugasnya untuk membantu mendorong gerobak. Sampai-sampai bapak memiliki julukan buat kami "3 Dara Pendorong Gerobak" jika anak laki-lakinya sedang memiliki kegiatan lainnya.Â
Sedangkan bapak sudah tidak bekerja setelah kecelakaan itu terjadi, akan tetapi beliau mempunyai aktivitas yang membuat penatnya hilang yaitu mengajar ngaji di musholla pasar setiap selepas salat magrib. Dan berusaha berjualan lagi sekuat 5 bulan yang lalu, namun kondisi ini pula yang membuat bapak menutup total jualannya selama pandemi ini berlangsung.
Sampai saat ini, hanya mampu berjualan seminggu 3-4 hari untuk menyambung hidup karena sepi jalanan membuat ibu merasakan lelah di setiap badannya.
Sampai saat ini, ibu selalu berusaha tersenyum di depan suami dan anak-anaknya bahwa beliau sedang baik-baik saja. Tapi aku tau hatinya dan otaknya selalu berfikir gimana caranya mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Sampai saat ini pula, ibu ku yang menjadi tulang punggung keluarga untuk mencari nafkah. Sungguh ibu ku membuktikan bahwa di dunia ini kesetiaan dan kesabaran itu tidak ada batasnya, apalagi ketangguhan dan kekuatan yang selalu melengkapinya.
Sungguh, aku ingin menjadi tulang punggung keluarga ku. Tapi kalau ini aku tak diperbolehkan untuk bekerja karena kondisi dari pandemi ini.
Alhamdulillah,alhamdulillah dan alhamdulillah. Dilahirkan di keluarga ini. Aku sayang kalian.
Dear diary.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H