Menarik Investasi dan Mengurangi Ketergantungan pada Ekspor SDA
Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah, tetapi terlalu bergantung pada ekspor bahan mentah dan komoditas seperti batu bara, minyak, dan kelapa sawit. Pada 2020, sektor pertambangan dan energi menyumbang sekitar 9% dari PDB Indonesia, namun Indonesia masih sangat tergantung pada fluktuasi harga global untuk komoditas-komoditas ini. Misalnya, harga batu bara yang turun drastis pada 2020 sempat menyebabkan penurunan tajam pada pendapatan negara dari ekspor komoditas, yang memberi dampak besar pada perekonomian Indonesia.
Ketergantungan ini membuat Indonesia rentan terhadap fluktuasi harga global yang dapat mengganggu stabilitas ekonomi. Untuk mengatasi hal ini, Indonesia perlu meningkatkan nilai tambah produk dengan mengolah bahan mentah menjadi barang jadi yang bernilai lebih tinggi melalui sektor manufaktur. Menurut World Bank, Indonesia memiliki potensi besar untuk mengembangkan sektor manufaktur, khususnya dalam industri otomotif, elektronik, dan tekstil, yang memiliki permintaan tinggi di pasar global.
Industri manufaktur, terutama yang berorientasi pada teknologi tinggi dan produk-produk bernilai tambah, dapat menarik investasi asing langsung (FDI) yang membawa teknologi dan keahlian baru. Menurut data Kementerian Perindustrian, industri manufaktur nonmigas Indonesia berpotensi menarik investasi lebih besar jika didukung oleh kebijakan yang tepat, seperti insentif pajak dan kemudahan perizinan.
Kritik terhadap Pemerintah Indonesia: Fokus Berlebihan pada Industri Tambang
Dalam beberapa tahun terakhir, kebijakan pemerintah Indonesia cenderung lebih berfokus pada sektor pertambangan dan sumber daya alam ketimbang pengembangan sektor manufaktur. Pemerintah lebih sering memberi insentif kepada perusahaan tambang dan eksportir komoditas daripada mendorong investasi di sektor industri yang dapat memberikan nilai tambah lebih besar dan lapangan pekerjaan lebih banyak.
Kebijakan ini tercermin dalam kebijakan larangan ekspor mineral mentah yang diterapkan pada 2014 yang dimaksudkan untuk mengarah pada hilirisasi. Meskipun ini adalah langkah yang baik, implementasinya masih sangat terbatas. Banyak tambang besar di Indonesia yang lebih memilih untuk mengeksploitasi sumber daya alam mentah tanpa cukup memberi perhatian pada pengolahan lebih lanjut atau pengembangan manufaktur yang berkelanjutan.
Selain itu, industri tambang juga sering menimbulkan dampak lingkungan yang besar, seperti deforestasi dan pencemaran air. Menurut Greenpeace, sektor pertambangan di Indonesia menyumbang 30% dari deforestasi global pada periode 2000--2010. Dalam jangka panjang, ketergantungan pada sektor ini dapat merugikan perekonomian Indonesia, karena harga komoditas sering kali sangat fluktuatif dan rentan terhadap perubahan pasar global. Pemerintah juga harus mengakui bahwa industri tambang tidak dapat menciptakan lapangan kerja yang sebanyak sektor manufaktur yang berbasis pada pengolahan produk.
Belajar dari Vietnam
Vietnam merupakan contoh negara yang berhasil mengembangkan sektor manufaktur dan meningkatkan kelas menengahnya. Dalam dua dekade terakhir, Vietnam telah berhasil membangun pusat manufaktur besar, dengan industri elektronik dan tekstil sebagai sektor utama. Sektor manufaktur Vietnam kini menyumbang hampir 16% dari PDB negara, sementara lapangan kerja di sektor ini juga meningkat pesat. Bahkan, Vietnam telah menjadi salah satu negara tujuan utama bagi investasi asing di Asia, dengan banyak perusahaan global memilih untuk memindahkan pabrik mereka ke Vietnam.
Kesimpulan