Presiden baru Indonesia, Prabowo Subianto, dilantik pada tanggal 20 Oktober lalu. Bahkan sebelum pelantikannya, pertanyaan mengenai bagaimana kebijakan luar negeri Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo sudah mulai muncul.
Rizal Sukma, penasihat mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sekaligus mantan duta besar Indonesia untuk Inggris, menyampaikan beberapa prediksi penting akan hal ini.Â
Yang pertama, bahwasannya jika Presiden Jokowi mengambil peran sebagai ‘presiden infrastruktur’, Prabowo akan mengisi posisi sebagai ‘presiden kebijakan luar negeri’ – sebuah peran yang bahkan lebih ia kuasai daripada seorang negarawan internasional macam Susilo Bambang Yudhoyono, mantan Presiden Republik Indonesia 2004-2014.
Tidak diragukan lagi bahwa Prabowo, mantan menteri pertahanan Jokowi dan mantan panglima tertinggi pasukan khusus Indonesia di bawah presidensi Soeharto, akan mengambil pendekatan ‘langsung’ terhadap kebijakan luar negeri. Sugiono, ‘anak didik ideologis’ serta loyalisnya, kini telah dilantik menggantikan Retno Marsudi.Â
Seperti yang baru-baru ini dicatat, hal ini akan memungkinkan Prabowo untuk mengelola hubungan luar negeri sesuai keputusannya – berbeda dari 10 tahun terakhir, di mana Jokowi yang sebagian besar mendelegasikan urusan tersebut kepada menteri luar negerinya, Retno Marsudi.
Hal ini tentunya akan memungkinkan Prabowo untuk memperbaiki reputasi Indonesia di panggung internasional melalui dua mekanisme: pertama, dengan memperbaiki reputasi RI sebagai negara demokrasi, dan kedua, dengan memperkuat statusnya sebagai negara non-blok. Kedua ‘reputation costs’ ini, menurut Rizal, merupakan produk dari meningkatnya ketergantungan pemerintahan Jokowi pada Tiongkok.
Setelah meletakkan dasar untuk kebijakan luar negeri tingkat tinggi yang lebih aktif, Prabowo terbukti kerap mengunjungi Tiongkok, Jepang, dan Malaysia kala ia masih menjabat sebagai menteri pertahanan, suatu bentuk usaha untuk meredakan kekhawatiran negara-negara anggota ASEAN lainnya akan probabilitas Pemerintahan Prabowo yang mungkin akan tidak memprioritaskan negara-negara tetangga Indonesia di wilayah setempat.Â
Kunjungan berikutnya ke Laos, Kamboja, Brunei, Thailand, dan Singapura telah meredakan kekhawatiran tersebut, setidaknya untuk sementara waktu. Pernyataan paling keras dari Prabowo tentang ketidakberpihakannya, bagaimanapun, dapat dikatakan terjadi pada tanggal 31 Juli, ketika ia mengunjungi Rusia.Â
Selama pertemuannya dengan Presiden Putin, Prabowo menyatakan keinginannya untuk mengirim mahasiswa Indonesia ke Rusia untuk pelatihan medis, sebuah inisiatif yang dianggap penting oleh Prabowo jika Indonesia ingin mengatasi isu kekurangan dokter medis saat ini – Prabowo mengatakan kepada Putin bahwa Indonesia membutuhkan sekitar 160.000 dokter lagi untuk mengatasi defisit tersebut.
 Prabowo juga mengatakan kepada Putin bahwasannya Indonesia akan menyambut baik industrialis teknologi nuklir Rusia untuk berkontribusi pada sektor energi di Indonesia, serta intensinya untuk mendirikan konsulat jenderal Rusia di Bali (setelah persetujuan penerbangan langsung Aeroflot ke Bali), dan partisipasi delegasi Rusia di konferensi dan pameran pertahanan Indonesia bulan depan.
Prabowo juga tampaknya akan terlibat secara intensif dengan Tiongkok dan Amerika Serikat, meskipun telah menahan diri untuk tidak mengunjungi Amerika Serikat – ia kemungkinan hanya akan mengunjungi AS setelah negara itu setelah pemilihan umum AS selesai.Â
Namun, hubungan yang kuat dengan Uni Eropa tampaknya kurang memungkinkan mengingat kekhawatiran Indonesia yang terus berlanjut terkait Peraturan Bebas Deforestasi Uni Eropa (EUDR) dan dampaknya terhadap akses Indonesia dalam mengekspor banyak komoditas alamnya ke pasar Eropa. Menariknya, 17 negara, termasuk Amerika Serikat dan Australia, telah berpihak pada Indonesia dalam hal ini.
Hubungan Australia-Indonesia yang lebih kuat di bawah Prabowo juga tampaknya mungkin terjadi. Pada tanggal 20 Agustus, Prabowo mengunjungi Australia dan menyelesaikan negosiasi untuk meningkatkan Perjanjian Kerja Sama Pertahanan Australia-Indonesia menjadi perjanjian tingkat perjanjian.Â
Perjanjian tersebut, yang ditandatangani di Indonesia oleh menteri pertahanan kedua negara, telah digambarkan oleh Prabowo sebagai 'tonggak bersejarah' dan oleh Menteri Pertahanan Australia Richard Marles sebagai 'perjanjian pertahanan paling signifikan dalam sejarah hubungan bilateral kita'.Â
Perjanjian tersebut, sebagaimana dicatat Marles, memberikan kedua negara ‘kemampuan [yang belum pernah terjadi sebelumnya] untuk beroperasi dari negara masing-masing.’Â
Penandatanganannya juga menyusul latihan Super Garuda Shield terbesar yang pernah ada – di mana personel militer dari Australia, Indonesia, dan tujuh negara lain melakukan latihan militer – dan akan diikuti oleh latihan militer bilateral terbesar Australia-Indonesia yang akan dilakukan di Surabaya bulan depan.
Langkah ini diharapkan dapat meredakan kekhawatiran Barat akan ‘condong’nya Indonesia ke arah Tiongkok. Namun begitu, nyatanya Indonesia dan Tiongkok belakangan ini juga mengumumkan kerja sama latihan militer mereka sendiri, yang mungkin merupakan upaya Indonesia untuk menyeimbangkan kedekatan mereka terhadap Barat.
Tentu, Tiongkok punya alasan untuk khawatir. Antara tahun 2021 dan 2023, latihan militer Indonesia-China menyumbang kurang dari 20 persen dari latihan militer gabungan Indonesia, sementara latihan militer gabungannya dengan Amerika Serikat menyumbang lebih dari 85 persen dari total pelatihan militer. Ini, tentu saja, bukan kebetulan.Â
Selain ketidakpercayaan militer Indonesia yang sudah berlangsung lama terhadap subversi komunis Tiongkok, sikap agresif Tiongkok yang terus berlanjut di Laut Cina Selatan, yang baru-baru ini dibuktikan dengan perilaku agresifnya terhadap kapal-kapal Filipina, merupakan pengingat yang jelas bagi Indonesia bahwa mereka harus mendekati Tiongkok dengan penuh kewaspadaan.Â
Hubungan ekonomi yang lebih kuat dengan Tiongkok mungkin akan menguntungkan Indonesia dalam jangka pendek hingga menengah, namun upaya Tiongkok mengatur semua itu dalam sembilan garis putus-putusnya – yaitu, sekitar 80% Laut Cina Selatan – tentu akan merugikan RI dalam jangka waktu panjang dan dalam skala yang lebih besar.
Oleh karena itu, tantangan utama kebijakan luar negeri Prabowo akan tetap menjadi tantangan  – bagaimana ia dan kabinetnya dapat mencapai keseimbangan sehingga aliran keuangan Tiongkok terus masuk ke dalam negeri, tanpa harus membiarkan Tiongkok mendapatkan kebebasan penuh untuk melanggar kedaulatan maritim Indonesia.
Oleh karena itu, hubungan yang lebih erat dengan Amerika Serikat dan Australia tetap menjadi keharusan, terutama sementara angkatan laut Indonesia terus terdiri dari hanya empat kapal selam. Namun, begitu, hubungan finansial Prabowo dengan Tiongkok tampaknya tetap tidak dapat diabaikan.Â
Bahkan, sangat bertolak-belakang dengan retorika anti-China yang kerap ia lontarkan saat berkampanye untuk kursi kepresidenan pada tahun 2014 dan 2019 melawan Jokowi.
 Namun sebagai menteri pertahanan Jokowi, ia secara jelas menahan diri untuk tidak mengecam pelanggaran berulang Tiongkok terhadap kedaulatan maritim Indonesia di Laut Natuna Utara. Lantas bagaimana Prabowo mengelola simpul Gordian ini, akan menjadi ujian akhir bagi kebijakan luar negeri pemerintahannya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI