Mohon tunggu...
Nabila Aulia Hasrie
Nabila Aulia Hasrie Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswi

BA (Hons) - Queen's University of Belfast, the UK MA - Columbia University, the US

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Prabowo Gagal Sebagai Menhan tetapi Pembelian Pesawat Tempur Rafale Patut Diapresiasi - Part 1/2: Performa Produk, Indeks GFP dan Konsep High/Low

10 Mei 2024   12:39 Diperbarui: 10 Mei 2024   20:47 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, sudah sepatutnya Indonesia meningkatkan kekuatan pertahanan dan keamanannya demi menjaga kedaulatan negara. Apalagi, belakangan ini sering terjadi konflik di wilayah perbatasan akibat penangkapan ikan ilegal yang dilakukan oleh kapal asing berbendera Vietnam, Malaysia, China, dan beberapa negara lainnya yang dengan sengaja merampas SDA Indonesia. 

Selain itu, konfrontasi yang dilakukan Negara Tiongkok atas sengketa Laut Cina Selatan dengan mengirimkan beberapa kapal perang di wilayah perbatasan laut Indonesia berpotensi menyebablan perlawanan militer terbuka bagi negara-negara yang berkepentingan di dalamnya. Hal ini semakin menegaskan pentingnya kekuatan senjata militer bagi pertahanan dan keamanan bangsa; utamanya untuk mengantisipasi konflik di kawasan Asia Tenggara dengan memperkuat persenjataan militer Tentara Nasional Indonesia (TNI). Indonesia hingga kini terus memperkuat pertahanan militernya di bawah komando Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Pada tahun 2022 lalu, Indonesia menandatangani kontrak pembelian salah satu jenis pesawat tempur tercanggih di dunia untuk meningkatkan pertahanan dan menjaga kedaulatan udara Indonesia. Wilayah udara merupakan salah satu pertahanan terpenting dalam pertahanan militer. Dari pemberitaan kunjungan kerja Menteri Pertahanan Prabowo, Dassault Rafale multirole generasi 4.5 asal Perancis serta pesawat F-15EX asal Amerika Serikat merupakan kandidat-kandidat dalam proses pengambilan keputusan di tubuh Kementerian Pertahanan pada saat itu. Indonesia pada akhirnya membeli 42 pesawat Rafale sekaligus pemilik 8 F-15EX. 

Walau begitu, pembelian 42 pesawat tempur Rafale oleh Menteri Pertahanan Prabowo Subianto pada awal tahun 2022 menuai pro dan kontra. Memang, membeli pesawat tempur baru merupakan pilihan strategis politik-militer yang kompleks. Keputusan ini tentu saja bukan sekadar pembelian keberanian, melainkan demi pertahanan dan keamanan negara. Jika tidak digunakan untuk aktif berperang, maka keberadaannya harus tetap efektif memberikan dampak positif terhadap pertahanan dan keamanan negara. 

Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk mengkaji kebijakan pemerintah dalam rencana tersebut untuk pengadaan pesawat tempur Dassault Rafale untuk Indonesia, dimana penulis memakai kacamata positif terhadap hal ini. Bahwa, terlepas dari penilaian negatif penulis terhadap kinerja keseluruhan Prabowo Subianto sebagai menteri pertahanan dalam Kabinet Indonesia Maju, keputusan Prabowo untuk membeli pesawat tempur Rafale ini tetap patut untuk diacungkan jempol.

Performa Dassault Rafale

Sekjen Kemenhan Marsdya Donny Ermawan Taufano dalam webinar 'Menyambut Pesawat Rafale' mengatakan, Indonesia saat ini hanya mengandalkan 33 pesawat F-16 yang berusia lebih dari 30 tahun. Sedangkan 16 pesawat tempur Sukhoi Su 27 dan Su 30 berusia hampir 20 tahun. Dengan kondisi seperti ini, maka menjadi kewajiban Kementerian Pertahanan untuk merencanakan pesawat tempur yang akan bertugas pada tahun 2030-an dan 2040-an.

Keputusan pemerintah memilih pesawat tempur Rafale pun didasari oleh pertimbangan teknis serta non-teknis. Memilih produk buatan Perancis jelas lebih aman dari sanksi AS terhadap Rusia atau lebih dikenal dengan CAATSA (Countering America's Adversaries Through Sanction Act); hal ini tidak lepas dari persaingan militer antara AS dan Rusia. Selain itu, kepastian transfer teknologi pesawat tempur Rafale juga lebih terjamin dibandingkan dua jenis pesawat tempur sebelumnya. Rafale dikenal sebagai pesawat serbaguna karena dapat digunakan untuk berbagai misi, misalnya saja interdiksi (larangan), pengintaian udara (air reconnaissance), ground support, serangan anti-kapal (anti-ship Attack), dan misi pencegahan nuklir (nuclear Prevention Mission).

Spesifikasi pesawat tempur Dassault Rafale yang dibeli oleh Kemenhan:

1. Pesawat generasi 4.5.

2. Kecepatan maksimum 1,8 Mach atau 750 knot.

3. Ketinggian maksimum 50.000 kaki.

4. Memiliki radar 'Active Electronically Scaned Away'.

5. Memiliki lebar sayap 10,9 meter, panjang 15,30 meter, dan tinggi 5,30 meter.

Spesifikasi Persenjataan Dassault Rafale:

1. Rudal tempur dan pertahanan diri MICA.

2. Roket meteor jarak jauh.

3. HAMMER (Highly Agile and Manouvrable Munition Extended Range) lengkap dengan GPS dan inframerah.

4. Rudal udara bertenaga rem angin.

5. Rudal jarak jauh SCALP.

6. Peluru kendali anti-kapal AShM AM39Excocet.

7. Bom berpemandu laser dengan hulu ledak berkisar antara 500-2.000 pon.

8. Meriam internal dengan 2.500 peluru/menit Nexter30M791 mm

Selain itu, untuk misi khusus, Rafale dapat mengirimkan rudal nuklir MBDA. Dengan tambahan alutsista tempur utama berupa pesawat tempur jenis Rafale, dipastikan kekuatan bertemput TNI AU merupakan yang terkuat di Asia Tenggara untuk saat ini. Namun tetap perlu diperhatikan bahwa area batas udara yang sangat luas dengan empat Komando Sektor (Kosek) Komando Pertahanan Udara Nasional (Korhanudnas) yang meliputi: Jakarta, Makassar, Medan dan Biak belum bisa disebut cukup mengingat jumlah dan postur alutsista tempur utama saat ini hanya mampu menopang maksimal 30 unit per Korhanudnas. Melihat perkembangan situasi geopolitik global yang penuh ketidakpastian pasca dimulainya invasi Rusia ke Ukraina, Pemerintah Indonesia perlu mempertimbangkan pemenuhan alat utama pertahanan tempur yang relatif memadai, canggih dan modern. Dengan demikian, kedaulatan wilayah udara Indonesia tidak mudah terancam dan dilanggar oleh pihak asing serta terlindungi dari serangan musuh jika sewaktu-waktu terjadi perang antara Indonesia dengan negara lain.

Indeks Global Fire Power

Indeks Global Fire Power merupakan salah satu lembaga yang menilai kekuatan militer seluruh negara di dunia. Indikator yang dinilai menentukan kekuatan militer suatu negara meliputi beberapa aspek, diantaranya geografi, jumlah pasukan, kekuatan persenjataan militer di darat, air, dan udara, hingga anggaran militer menjadi aspek penilaian. Berdasarkan beberapa lembaga seperti Global Fire Power Index, saat ini TNI AU hanya memiliki sekitar 445 angkatan udara. Armada ini sebagian terdiri dari pesawat tempur ringan kelas dua yang kualitasnya kian menurun. Sedangkan, total luas wilayah Indonesia yang harus dicakup mencapai 1,9 juta km2. Ini belum termasuk titik penting, seperti Laut Cina Selatan, perairan Natuna, Selat Malaka, dan sebagian wilayah timur yang memerlukan perhatian dan armada lebih.

Data diatas menunjukkan sub-indikator Total Aircraft Strength Indonesia berada pada angka 445 yang hanya kalah dari Thailand yang skornya sebesar 490. Kemudian pada sub-indikator Transport, Indonesia lebih unggul dibandingkan negara ASEAN lainnya di angka 66. Untuk urusan jumlah Pesawat tempur modern tingkat atas siaptempur, Indonesia juga masih tertinggal dibandingkan Vietnam, Thailand, apalagi Singapura. Kurangnya kekuatan pertahanan udara Indonesia, terlepas dari kenyataan RI sebagai negara terbesar di ASEAN, menunjukan suatu ironi yang pihak TNI harus perhatikan lagi. Dari segi jumlah personel angkatan udara, Indonesia diperkirakan memiliki 37.850 personel, masih kalah dibandingkan Thailand yang berjumlah 47.000 personel, padahal wilayah dan jumlah penduduknya sangat berbanding jauh di bawah kita (270 juta berbanding 70 juta), dan hampir setara dengan Vietnam (95 juta orang) dengan total 35.000 personel angkatan udara. Untuk itu, sebagai upaya mengantisipasi konflik dan penyerangan, pemeliharaan dan pembaharuan alutsista sangatlah penting. Modernisasi kekuatan militer juga dipengaruhi oleh kemajuan teknologi pertahanan. Hal ini mencerminkan kewaspadaan serta kegagahan sebagai bangsa.

Konsep High/Low

Membeli pesawat tempur baru adalah pilihan politik-militer yang strategis. Keputusan untuk mengeksekusi wacana tersebut bukan sekadar pembelian untuk 'kegagahan' semata, tetapi untuk pertahanan militer. Jika negara kita tidak terbiasa berperang secara aktif, maka kehadirannya harus efektif dalam memberikan efek preventif, yang juga diharapkan dapat berdampak positif pada keamanan regional dan sebagai bagian dari alat politik negara.

Nah, dalam menyusun portfolio pesawat tempur kenegaraan, kita bisa belajar dari contoh USAF (United States Air Force) yang menggunakan konsep "kombinasi high-low". Dalam hal ini,USAF tidak bergantung pada satu jenis pesawat canggih, tetapi lebih memilih untuk mengoperasikan beberapa jenis pesawat tempur yang memang dirancang untuk misi tertentu dan disederhanakan menjadi dua. Artinya, mereka yang berkemampuan tinggi (high) dan mereka yang berkapasitas rendah (low).

Dok. pribadi
Dok. pribadi

Pesawat tempur "high" dianggap superior dan didedikasikan untuk maneuver pertarungan udara. Spesifikasinya adalah pesawat-pesawat dengan kecepatan sangat tinggi di atas Mach 1,5, long-range, dilengkapi radar canggih yang sensitif, komputer canggih yang dapat mengidentifikasi dan melacak banyak target sekaligus,serta dapat mengangkut banyak rudal udara-ke-udara. Peran utama pesawat tempur "high" adalah untuk "menyapu bersih" zona pertempuran udara dari pesawat tempur musuh serta untuk sistem pertahanan udara. Hal ini membuat area pertempuran relatif lebih aman untuk kendaraan tempur lain, seperti pesawat pengebom taktis dan helikopter, yang lebih rentan terhadap serangan pesawat dan sistem pertahanan anti-pesawat, dimana dari fungsi tersebut muncullah F-15 Eagle dan kini penerusnya yaitu F-22, Su-35, Su-57 yang harganya sangat mahal serta membutuhkan komitmen tinggi untuk melalui proses yang panjang. Oleh karena itu, produksi pesawat tempur kelas "high" tidak setinggi kelas lainnya, dan armadanya juga dikhususkan untuk tingkat elit. Sementara permintaan yang tinggi akibat konflik masih terus berlanjut, sehingga muncullah solusinya untuk merancang pesawat tempur dengan kualitas satu kelas di bawahnya, yang spesifikasinya diperkecil dan pastinya lebih murah.

Untuk pesawat tempur "low", tugas utamanya adalah untuk menyerang darat, sehingga sifatnya lebih terfokus pada serangan-udara-ke-permukaan. Rudal udara ke udara masih ada, namun hanya sebagai alat pendukung terbatas yang gunanya untuk pertahanan diri. Pesawat tempur "low" akan mengandalkan pesawat tempur "high" untuk menjaga dan mempertahankan diri dari ancaman musuh karena desain pesawat tempur "low" biasanya lebih kecil dan memiliki jangkauan jelajah lebih pendek. Kecepatan maksimumnya lebih rendah, radarnya tidak secanggih kelas "high", serta avioniknya lebih sederhana. Contoh pesawat tempur kategori ini adalah F-16 Fighting Falcon, dan sekarang ada juga yaitu F-35.

Kelanjutan dari artikel ini dapat dibaca melalui tulisan bagian 2 dari tulisan ini dengan judul yang sama

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun