Mohon tunggu...
Ni Made Dwita
Ni Made Dwita Mohon Tunggu... Mahasiswa - Psikologi 19

tkut tp ttp prcya diri

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Prasangka Masyarakat terhadap Korban Pemerkosaan

13 Juli 2021   19:14 Diperbarui: 13 Juli 2021   19:21 594
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

PENDAHULUAN

Pelecehan seksual merupakan istilah yang tidak asing lagi ditelinga masyarakat kita. Pelecehan seksual adalah bentuk perilaku yang tidak diinginkan. Arti dari kalimat ‘perilaku yang tidak diinginkan’ sendiri berbeda dengan arti kalimat ‘tidak disengaja,' karena pada dasarnya seorang korban bisa saja menyetujui atau mengizinkan perilaku tertentu dan secara aktif berpartisipasi di dalamnya, meskipun tindakan itu menyinggung dan tidak menyenangkan. Dengan kata lain, apabila seseorang mengalami perilaku seksual yang tidak diinginkan, maka orang tersebut telah mengalami pelecehan seksual. Hal ini dapat dilihat dari apakah orang tersebut benar-benar menyambut permintaan untuk berkencan, komentar yang berhubungan dengan orientasi seksual, lelucon bersama teman, dan lain sebagainya. Dengan begitu, situasi tersebut disesuaikan kembali dengan keadaan masing-masing pihak yang mengalaminya (BNA Communications, Inc., 2014). 

Pelecehan seksual sendiri mencakup banyak hal, seperti pemerkosaan atau penyerangan yang berhubungan dengan perilaku seksual, komentar yang tidak diinginkan yang memuat konten seksualitas, bersiul pada seseorang, serta bertanya tentang kehidupan pribadi seksual seseorang. Tidak hanya itu, menyebarkan desas-desus akan kehidupan pribadi seksual seseorang dan membuat gerakan seksual juga dapat digolongkan termasuk ke dalam pelecehan seksual. Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan salah satu pihak tidak menyukai dan tidak menginginkan akan terjadinya perilaku seksual tersebut (BNA Communications, Inc., 2014). 

Pada dasarnya, semua orang berpeluang menjadi korban maupun pelaku pelecehan seksual. Korban dan pelaku pelecehan seksual tidak memandang gender, ras, suku, usia, dan lain sebagainya. Pelecehan seksual bisa dilakukan antar lawan jenis (pria ke perempuan atau sebaliknya), bahkan sesama jenis (perempuan ke perempuan atau pria ke pria). Namun, pada banyak kasus pelecehan seksual yang marak terjadi di lingkungan kita, perempuan lebih sering dijadikan sasaran korban perilaku asusila tersebut. Sebaliknya, laki-laki lah yang paling banyak ditemui sebagai pelaku dari berbagai kasus pelecehan seksual yang terjadi di masyarakat.   

Kasus pelecehan seksual dapat terjadi dimana saja. Banyak kasus pelecehan seksual yang ditemui di sekolah dan universitas. Padahal, sekolah dan universitas merupakan tempat yang aman bagi siswa serta mahasiswa untuk belajar dan menimba ilmu guna masa depan mereka. Namun pada kenyataannya, tempat tersebut juga dapat dijadikan sebagai tempat terjadinya pelecehan seksual. Pihak-pihak yang terlibat pada kasus tersebut tentunya merupakan pihak yang ada di dalam lingkungan itu sendiri. Berbagai media online meliput kasus pelecehan seksual yang terjadi di sekolah, baik antar sesama siswa maupun antar guru dan siswa. 

Berdasarkan pemberitaan Tribunnews.com (02/06/2021), terjadi pelecehan seksual yang dilakukan oleh pemilik sekolah kepada lebih dari 25 orang siswa. Perilaku tersebut diduga dilakukan berulang kali hingga siswa tersebut lulus. Pelaku melakukan perilaku asusila tersebut dengan berkedok akan memberikan pendidikan gratis bagi korban. Hal itu tentu saja menarik perhatian korban sehingga memudahkan pelaku melancarkan aksinya.  

Selain di lokasi sekolah, pelecehan seksual juga kerap kali terjadi di tempat kerja dan fasilitas umum, seperti di transportasi umum kereta, bus, angkot, dan bisa juga terjadi di trotoar yang menjadi tempat pejalan kaki berlalu-lalang. Dilansir dari Republika.co.id (27/11/19), kasus pelecehan di transportasi umum yang dilaporkan terjadi di dalam bus sebesar 35,8%, di dalam angkot 29,49%, KRL 18,14%, ojek online 4,79%, dan ojek konvensional 4,27%. 

Pelecehan seksual juga bisa terjadi di media online, yakni di media sosial. Pelecehan di media sosial sering kali dijumpai dalam bentuk komentar berbau seksual dan foto atau video tidak senonoh yang berbau seksualitas. Berdasarkan pemberitaan JawaPos.com (12/12/20), salah satu korban menceritakan bahwa dirinya pernah mengalami kasus pelecehan dari seseorang yang tidak ia kenal. Seseorang tersebut meminta korban untuk mengirimkan foto bagian tubuhnya dan akan diberi imbalan sebesar 700 juta rupiah. Hal tersebut tentu saja mengagetkan korban. Korban yang memilih tidak merespon pesan tersebut lantas mendapatkan gambar yang tidak senonoh dari pelaku.

Kasus pelecehan seksual lain yang kerap terjadi di masyarakat adalah dalam kekerasan seksual. Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Catahu Komnas Perempuan, kasus kekerasan seksual sebesar 962 kasus yang terdiri dari kekerasan seksual lainnya dengan 371 kasus. Kemudian diikuti kasus pemerkosaan sebanyak 299 kasus, 166 kasus pencabulan, 181 kasus pelecehan seksual, 5 kasus persetubuhan, serta 10 kasus percobaan pemerkosaan (Riana, 2021). Pada banyak kasus pelecehan seksual, perempuan adalah pihak yang seringkali menjadi korban. 

Perempuan sebagai korban pelecehan seksual membuat munculnya stigma di kalangan masyarakat bahwa kasus pelecehan yang terjadi merupakan kesalahan dari korban sendiri. Stigma ini dibuktikan dengan data dari Laporan Studi Kuantitatif Barometer Kesetaraan Gender yang dilakukan oleh IJRS dan INFID (2020) menyatakan bahwa masyarakat memiliki anggapan mengenai kekerasan seksual yang terjadi akibat kesalahan dari pihak korban. Dari laporan tersebut masyarakat kebanyakan beranggapan bahwa kekerasan seksual salah satunya disebabkan karena korban bersikap genit, centil atau suka menggoda, menggunakan pakaian terbuka, dan sebagainya. 

Selain itu, laporan tersebut memberikan data sebanyak 75,8% masyarakat menyebut kekerasan seksual terjadi dikarenakan tidak ada keamanan pada tempat kejadian. Kemudian sebanyak 71,5% menyatakan bahwa korban bersikap genit, centil, atau suka menggoda; 69,2% berpakaian terbuka; 53,7% suka berfoto menggunakan pakaian seksi atau terbuka; 51,2% tidak bisa menjaga diri dan suka pergi atau keluar di malam hari; 32,2% kurangnya informasi; 25,7% tidak adanya aturan dari pemerintah; dan sebanyak 20,7% tidak menggunakan kerudung atau berhijab (IJRS, 2021).

Anggapan yang paling sering kita dengar ketika adanya kasus pelecehan seksual adalah korban yang menggunakan pakaian seksi atau terbuka yang mengundang pelaku melakukan pelecehan seksual. Komentar-komentar yang menyalahkan korban karena menggunakan pakaian seksi atau terbuka sering kali kita lihat di media sosial. Komentar yang dilontarkan biasanya tidak memperhatikan kenyataan yang sesungguhnya terjadi. Mereka memberikan komentar hanya sebatas dari anggapannya saja. Adanya anggapan atau stigma yang ada di masyarakat tentang “penyebab pelecehan seksual adalah penggunaan pakaian perempuan yang terlalu minim sehingga akan mengundang hasrat laki-laki untuk melakukan perilaku tersebut,” seakan-akan menjadi hal yang benar dan mutlak adanya. Padahal, pada kenyataannya pakaian tertutup juga tidak menjamin perempuan terlepas dari pelecehan seksual. Menurut Ayatika (dalam Al Rahman, 2019), tidak peduli pakaian apa yang dikenakan oleh perempuan, laki-laki akan terus melakukan tindakan tersebut untuk menunjukkan kepada publik bahwa ruang publik itu milik laki-laki dan pada akhirnya, kekuatan patriarki menjadi semakin nyata.

Jika kasus-kasus pelecehan seksual ditelusuri lebih dalam lagi mayoritas korban dari pelecehan seksual maupun kekerasan seksual tidak menggunakan pakaian terbuka. Dilansir dari detikNews, hasil survei yang dilakukan oleh Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) menyatakan bahwa pakaian yang digunakan korban saat pelecehan seksual adalah sebanyak 17,47% menggunakan rok atau celana panjang, 15,82% menggunakan baju lengan panjang, 14,23% menggunakan seragam sekolah, 13,80% menggunakan baju longgar, dan sebanyak 17% menggunakan hijab pendek atau panjang (Damarjati, 2019). Ketertarikan pelaku pelecehan seksual bukan dilihat dari pakaian yang digunakan namun tubuh perempuan itu sendiri. Fairchild dan Rudman menyatakan bahwa dalam budaya Amerika, tubuh perempuan dianggap sebagai objek seksual melalui pornografi, dan media massa sehingga hal tersebut membuat tubuh perempuan mendapatkan perhatian sebagai objek seksual dari masyarakat (Rahman). 

Contoh kasus yang dapat memperkuat argumen bahwa pelecehan seksual yang dilakukan pelaku tidak memandang pakaian yang dikenakan oleh korban adalah kasus yang terjadi di Bekasi. Korban dari kasus tersebut adalah perempuan berusia 38 tahun yang saat itu tengah berjalan di dalam sebuah gang. Korban menggunakan pakaian tertutup dan mengenakan jilbab. Kemudian, terdapat seorang pengendara motor yang mendahului korban dan tiba-tiba berputar arah, lalu menjamah payudara korban. 

Pada fokus bahasan artikel TheJakartaPost membahas tentang pemerkosaan yang marak terjadi di Indonesia yang setiap harinya lebih dari 35 perempuan menjadi korban. Pemerkosaan sendiri adalah peristiwa traumatis, peristiwa yang secara psikologis diartikan sebagai pengalaman mental yang mengancam kehidupan dan melampaui kemampuan rata-rata orang untuk menanggungnya. Pengalaman traumatis dapat menyebabkan perubahan drastis dalam kehidupan seseorang, termasuk perubahan persepsi hidup, perilaku dan kesejahteraan emosional. Pemerkosaan mengganggu kesejahteraan korbannya; oleh karena itu, mereka membutuhkan serangkaian layanan yang terdiri dari layanan hukum, medis (termasuk kesehatan mental) dan sosial. Interaksi antara korban pemerkosaan dan sistem yang berbeda berdampak pada proses pemulihan (Anindyajati, 2018).

PEMBAHASAN

Dikarenakan semakin banyak kasus pelecehan seksual, terutama kasus pemerkosaan yang terjadi di masyarakat, membuat kalangan perempuan menjadi semakin resah. Kita semua tahu bahwa mulai dari ibu rumah tangga hingga tentara militer pun bisa menjadi korban pemerkosaan. Kasus-kasus yang muncul di berita atau artikel tentang pemerkosaan sering kali dikaitkan dengan cara berpakaian korban, terutama jika korban tersebut adalah perempuan. Cara berpakaian perempuan kerap kali disebut sebagai hasutan untuk melakukan pemerkosaan. Pakaian dengan kain yang tipis dan ketat, bawahan pendek, atasan pendek, perut telanjang, dan make-up sangat umum dikaitkan dengan konteks pemerkosaan (Dress - A Woman's Clothing is not an Incitement to Rape, 2021).

Perempuan sering dinilai berdasarkan cara mereka menampilkan diri, seolah-olah menggunakan bra atau warna lipstik yang tajam mengundang para pelaku untuk melakukan pemerkosaan kepada perempuan yang berpenampilan seperti itu (Dress - A Woman's Clothing is not an Incitement to Rape, 2021). Asumsi tersebut cukup mengganggu dan merugikan pihak perempuan. Perempuan seakan-akan dibatasi oleh stigma masyarakat dalam hal berkreasi dengan penampilan mereka. 

Masyarakat yang dulunya merasa baik-baik saja dan tidak ada masalah apapun dengan penampilan yang tajam dan berani itu kini berubah. Pada awalnya perempuan berpenampilan tajam dan berani itu untuk dirinya sendiri, karena perempuan menyukai fashion yang seperti itu. Dewasa ini, ketika kita melihat perempuan yang berpakaian tajam dan berani seperti itu, masyarakat akan menganggap bahwa perempuan tersebut ingin mengundang orang-orang melakukan pemerkosaan. Meneliti cara berpakaian seorang perempuan pada saat pelecehan seksual, terutama pemerkosaan adalah salah satu dari banyak cara dimana mitos dan prasangka umum untuk merusak reputasi dan kredibilitasnya demi kepentingan pembelaan. Berbagai macam cara berpakaian perempuan yang memakai pakaian terbuka seperti menggunakan tank-top, pakaian pendek, dan pakaian ketat itu menjadi penyebab terjadinya pemerkosaan adalah mitos (Dress - A Woman's Clothing is not an Incitement to Rape, 2021). 

“What You Were Wearing?” merupakan pameran yang berada di Amerika. Pameran ini dapat menjadi bukti bahwa cara berpakaian perempuan menjadi faktor pemicu terjadinya pelecehan seksual adalah mitos belaka. What You Were Wearing? merupakan sebuah pameran seni berdasarkan para korban yang selamat dari pakaian yang mereka kenakan selama serangan seksual yang mereka alami. Kisah-kisah ini dikumpulkan dari para penyintas oleh Jen Brockman dan Dr. Mary Wyandt-Hiebert di University of Arkansas pada tahun 2013  (Stories | What Were You Wearing?, n.d.). Ada banyak sekali pakaian-pakaian korban yang terpajang di dalam pameran tersebut. Pakaian tersebut ada yang berupa celana training, kaos universitas, dengan topi baseball. Kemudian ada juga yang memakai gaun sari, yakni pakaian yang biasa dipakai oleh perempuan India, Bangladesh, Pakistan, Sri Lanka, dan Nepal. Tidak hanya itu kaos dan sari, ada juga pakaian tentara angkatan darat ACU dengan pistol pun juga menjadi korban pemerkosaan di Amerika, serta masih banyak jenis-jenis pakaian yang dipakai korban saat terjadi pemerkosaan. Ini membuktikan bahwa tidak peduli pakaian yang digunakan seperti apa, jika pelaku memang sudah berniat untuk memperkosa, maka ia tidak memandang pakaian yang digunakan oleh target korbannya tersebut.

Akibat dari stigma-stigma masyarakat tentang cara berpakaian perempuan yang ‘katanya’ mengundang para pelaku untuk melakukan pelecehan seksual itu membuat perempuan semakin resah akan hal ini. Bahkan di tahun 2016, seorang penyanyi dan penulis lagu bernama Kartika Jahja atau yang biasa dikenal dengan nama Tika ini bersama dengan rekan satu bandnya mengeluarkan lagu tentang stigma akan perempuan di Indonesia. Kartika bersama dengan bandnya, yakni Tika and The Dissidents mengeluarkan lagu yang berjudul “Tubuhku Otoritasku” (Dhani, 2017). Lagu ini menjelaskan tentang bagaimana perempuan yang seharusnya memiliki kehendak atas dirinya sendiri, mulai dari cara berpenampilan, pendapat, dan lain sebagainya. Selain itu juga menjelaskan laki-laki yang seharusnya menghormati perempuan, terutama tubuh perempuan dan juga tentang cara memperlakukan perempuan oleh masyarakat. Lagu “Tubuhku Otoritasku” menjadi salah satu hal penting dan bahkan ini bisa menjadi lagu kampanye sosial untuk menyuarakan pendapat perempuan akan banyaknya korban pemerkosaan yang terjadi dan stigma masyarakat akan pakaian perempuan. 

Tidak hanya lirik lagu yang memiliki makna dalam, video musiknya pun juga. Hal pertama yang dilihat dari video musik “Tubuhku Otoritasku” ini adalah berbagai macam pengakuan dari setiap orang yang ada di dalam video tersebut. Mulai dari seorang perempuan yang menjawab pertanyaan mengapa dirinya harus berolahraga padahal badan dari perempuan itu sendiri sudah kurus hingga seorang perempuan yang diejek sebagai hewan monyet atau kera. Ini menunjukkan bahwa bagaimana perempuan berjuang untuk melawan stigma-stigma yang ada pada masyarakat akan perempuan. Terlepas dari pendapat masing-masing orang dan stigma masyarakat, lagu “Tubuhku Otoritasku” menjadi salah satu usaha perempuan untuk mempengaruhi dan membuka mata para masyarakat akan stigma ini (Dhani, 2017).

Selain itu, video tersebut juga menunjukkan seperti apa stigma prasangka dan stereotip label dari masyarakat kepada perempuan di Indonesia yang sering terjadi. Mulai dari perempuan harus memakai hijab atau kerudung untuk menghindari terjadinya pelecehan seksual, menutup lekuk tubuhnya dengan memakai pakaian longgar dan panjang agar tidak menjadi korban pelecehan seksual, hingga tuntutan kepada perempuan untuk memiliki tubuh langsing (Dhani, 2017). Tidak hanya tiga hal itu saja, masih banyak hal lain yang menjadi concern bagi perempuan Indonesia akan stigma prasangka dan stereotip label akan hal tersebut. Selain itu, video ini menunjukkan bahwa adanya ketidakadilan yang terjadi pada perempuan di Indonesia. Contohnya seperti pada saat kejadian pemerkosaan pada perempuan, banyak masyarakat Indonesia yang menyalahkan korban pemerkosaan, seperti hal-hal apa saja yang diperbuat dan pakaian apa yang digunakan hingga ia menjadi korban pemerkosaan. 

Secara tidak langsung, stigma prasangka dan stereotip label yang ada pada perempuan di Indonesia itu berdampak pada laki-laki. Hal ini memperlihatkan bahwa laki-laki di Indonesia memiliki dominansi dan memiliki kontrol terhadap perempuan. Ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Sherry B. Ortner dalam penelitiannya yang berjudul “Is Female to Male as Nature Is to Culture?” Di dalam penelitiannya tersebut, Ortner (1972) menjelaskan alasan mengapa posisi perempuan, terutama ibu rumah tangga yang lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah itu posisinya lebih rendah dibandingkan laki-laki yang berada di luar rumah untuk mencari nafkah dan bekerja. Ia menjelaskan bahwa masyarakat seringkali menilai dan melihat seseorang itu dari luarnya saja, seperti laki-laki yang mencari nafkah di luar itu memiliki nilai lebih di mata masyarakat dibandingkan ibu rumah tangga yang berada di rumah.

Stigma dan label yang diberikan masyarakat terhadap perempuan di Indonesia ini benar-benar sudah melewati batas, bahkan hingga masyarakat menganggap bahwa yang disalahkan saat terjadinya pemerkosaan adalah korban, terutama korban tersebut adalah perempuan. Pembahasan akan stigma masyarakat terhadap perempuan di Indonesia saat ada kasus pelecehan seksual ini pasti mengarah kepada cara berpakaian korban, terutama jika korban tersebut adalah perempuan. Maka hal yang disalahkan sudah pasti pakaian si korban dari pemerkosaan tersebut. Stigma di masyarakat yang menyatakan bahwa penyebab pelecehan seksual adalah penggunaan pakaian perempuan yang terlalu minim merupakan salah satu prejudice atau prasangka yang ada di dalam ranah Psikologi Sosial. 

Sebelum kita mengaitkannya dengan stigma masyarakat kepada perempuan Indonesia, kita membahas dulu apa itu prejudice. Apa itu prejudice? Prejudice atau prasangka yang dikemukakan oleh Ahmadi (dalam Adelina et al., 2017) adalah sikap negatif seseorang atau kelompok terhadap orang lain atau kelompok lain. Sikap negatif yang ditunjukan dalam permasalahan ini adalah tuduhan yang dilayangkan oleh masyarakat terhadap korban pelecehan seksual yang menjadi akar dalam terjadinya kasus pelecehan seksual melalui komentar-komentar, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan media sosial. Tulisan Cherry (2020) dalam artikel yang berjudul “How People's Prejudices Develop” menyatakan bahwa prejudice juga dapat memiliki pengaruh yang kuat pada bagaimana orang berperilaku dan berinteraksi dengan orang lain, terutama dengan mereka yang berbeda dari mereka, bahkan secara tidak sadar atau tanpa orang tersebut menyadari bahwa mereka berada di bawah pengaruh prasangka internal mereka.

Kemudian, apa saja sih ciri-ciri dari prejudice? Ciri-ciri umum dari prejudice atau prasangka ini adalah adanya emosi negatif, kepercayaan akan stereotip, serta kecenderungan untuk mendiskriminasi anggota kelompok. Di dalam masyarakat, kita sering melihat prasangka terhadap suatu kelompok berdasarkan ras, jenis kelamin, agama, budaya, dan lainnya. Sementara itu, menurut sosiolog, definisi dari prejudice sangat bervariasi, akan tetapi sebagian besar dari sosiolog tersebut setuju bahwa prejudice sering mengacu pada stereotip negatif tentang anggota kelompok. Ketika seseorang memiliki pemikiran negatif terhadap orang lain yang merupakan salah satu anggota dari suatu kelompok, maka ia akan cenderung memandang semua orang yang ada di dalam kelompok sebagai "semuanya sama". Jika saja masyarakat melihat setiap individu itu memiliki karakteristik dan khasnya sendiri yang berbeda dari standar sosial, berarti standar sosial itu tidak akan ada gunanya dan setiap individu itu memiliki keunikannya sendiri. Tetapi sepertinya hal ini tidak berlaku bagi masyarakat Indonesia yang masih tetap kekeh dan bersikeras akan berbagai macam prasangka akan perempuan Indonesia yang menjadi korban pemerkosaan tersebut (Cherry, 2020).

Diskriminasi dan intimidasi dapat terjadi secara beriringan dengan timbulnya prasangka. Dalam beberapa kasus, prejudice didasarkan pada sebuah stereotip. Apa itu stereotip? Stereotip adalah asumsi tentang kelompok yang didasari dari pengalaman dan keyakinan sebelumnya. Stereotip ini tidak hanya dapat menyebabkan prasangka dan diskriminasi, serta kepercayaan yang salah. Gordon Allport mengatakan bahwa bias dan prasangka sebagian disebabkan oleh pemikiran manusia normal. Banyak informasi yang kita terima, baik itu informasi yang baik atau buruk, penting untuk mengklasifikasikan informasi ke dalam kelompok mental agar tidak membuat stereotip yang salah. Di dalam buku “The Nature of Prejudice” ini Gordon Allport mengemukakan bahwa “The human mind must think with the aid of categories.” Artinya adalah “Pemikiran manusia harus berpikir dengan bantuan kategori-kategori” yang mana pada saat kategori-kategori ini terbentuk, secara tidak langsung kategori adalah dasar dari adanya prasangka. Setiap manusia tidak bisa menghindari proses ini dan pasti mengalaminya. Jadi kehidupan manusia bergantung kepada pemikiran kategori-kategori yang ada pada setiap individu (Cherry, 2020).

Contoh yang terlihat jelas dari prejudice ini adalah prasangka masyarakat kepada perempuan di Indonesia. Prasangka ini tidak hanya satu atau dua macam, melainkan kian hari jumlahnya sangat banyak dan membuat perempuan Indonesia semakin resah akan hal tersebut. Mulai dari prasangka akan perempuan yang memakai baju terbuka dan seksi di tempat umum itu adalah perempuan ‘penggoda’ yang mengundang para laki-laki melakukan pemerkosaan kepadanya. Kemudian ada prasangka masyarakat akan perempuan yang memakai make-up tajam dan berani itu memiliki stigma yang sama kepada perempuan memakai baju terbuka. Tidak hanya itu juga, masyarakat juga memiliki prasangka akan bentuk ‘perempuan sempurna’ seperti bertubuh langsing, berkulit putih, tinggi, wajah mulus tidak ada jerawat satupun, dan lain-lain sebagainya. Ini menunjukkan bahwa prasangka yang dimiliki masyarakat akan perempuan Indonesia dan secara tidak langsung ini juga membentuk standar sosial yang mana banyak perempuan harus berjuang agar bisa masuk sesuai dengan standar sosial seperti yang telah disebutkan sebelumnya. 

Terlihat dari penjelasan sebelumnya, ciri-ciri dari prejudice sendiri jika dikaitkan dengan tema artikel yang kita bahas ini banyak sekali macamnya. Dari adanya prasangka masyarakat kepada perempuan Indonesia terkait penampilan perempuan, terutama perempuan korban pemerkosaan itu benar-benar terbukti sudah banyak sekali prasangka ini. Masyarakat yang seperti ‘mengatur’ tentang perempuan harus ini, itu, dan lain-lain sebagainya secara tidak langsung menimbulkan mayoritas masyarakat Indonesia memiliki perasaan dan pikiran negatif akan perempuan di Indonesia. Bahkan ini tidak menutup kemungkinan juga bahwa semua hal yang dilakukan perempuan itu bisa menimbulkan perasaan dan pemikiran negatif yang ada pada masyarakat Indonesia. 

Tidak hanya perasaan dan pikiran negatif saja, masyarakat Indonesia juga memiliki kepercayaan stereotip-nya sendiri saat melihat perempuan Indonesia, seperti kasus pemerkosaan yang terjadi itu, mayoritas menyalahkan pakaian korban. Terutama jika korban tersebut adalah perempuan. Sudah tidak heran lagi di platform media manapun akan komentar pakaian korban pemerkosaan itu sungguh banyak sekali. Tidak sedikit juga yang menyalahkan pakaian korban perempuan yang terbuka dan seksi. Lalu, bagaimana dengan korban pemerkosaan perempuan yang memakai baju tertutup seperti menggunakan niqab dan masih menjadi korban pemerkosaan? Katanya pakaian terbuka dan seksi itu mengundang para pelaku untuk melakukan pemerkosaan? Tetapi jika memang benar seperti ini apakah pakaian masih tetap salah? Tidak, pakaian tidak ada hubungannya dengan kasus-kasus pemerkosaan yang masih marak terjadi di Indonesia.

Selain itu dari berbagai macam prejudice atau prasangka yang terjadi pada perempuan di Indonesia ini secara tidak langsung masyarakat mendiskriminasi perempuan di Indonesia. Ini terlihat dari masih adanya banyak masyarakat yang menganggap bahwa “Perempuan harus di rumah,” “Perempuan tidak boleh bekerja dan bolehnya mengurus anak saja,” “Jika keluar rumah, jangan berpakaian terbuka dan seksi, karena nanti akan mengundang orang-orang untuk melakukan suatu hal buruk,” dan masih banyak lagi lainnya. Bahkan tidak menutup kemungkinan juga bahwa masih ada perusahaan tempat bekerja yang mendiskriminasi perempuan. Contohnya seperti perusahaan yang mengutamakan laki-laki untuk menjadi pemimpin, padahal jika dilihat dari track-record pekerjaan sebelumnya itu lebih bagus perempuan untuk memimpin perusahaan. Namun sayang sekali, karena adanya suatu stereotip itu, maka perempuan yang memiliki track-record bagus dan sudah cocok untuk memimpin itu akan terkalahkan pada status gender saja. 

Dengan kata lain, menurut buku “The Nature of Prejudice” itu bergantung pada kemampuan kita untuk mengkategorikan orang, ide, dan hal-hal ke dalam kategori yang berbeda untuk membuat dunia lebih sederhana dan lebih mudah dipahami. Hal ini dikarenakan kita semua dibanjiri dengan terlalu banyaknya informasi yang masuk dan kita harus memilah-milah semua informasi yang masuk dengan cara yang logis, sistematis, dan rasional. Dengan mengkategorikan informasi yang masuk dengan cepat, kita dapat berinteraksi dan merespons informasi tersebut dengan cepat. Akn tetapi ini tidak menutup kemungkinan juga bahwa diri kita dapat menyebabkan kesalahan. Prasangka dan stereotip merupakan contoh dari kesalahan persepsi yang timbul berdasarkan kecenderungan kita dalam menilai informasi di sekitar kita dengan cepat.(Cherry, 2020).

Tidak hanya sampai di ciri-ciri dari prejudice saja, kita juga akan membahas tentang bentuk-bentuk prasangka sosial. Terdapat dua bentuk prasangka sosial, yaitu prasangka terang-terangan (blatant prejudice) dan prasangka halus (subtle prejudice) (Adelina et al., 2017). Blatant prejudice terdiri dari dua bagian, yaitu ancaman dan pengucilan kelompok luar (the threat and rejection of outgroup) dan anti-intimasi (the anty-intimacy). Dalam pelecehan seksual sendiri, bentuk blatant prejudice yang sering terjadi yaitu the threat and rejection of outgroup. Hal ini banyak terjadi pada para korban pelecehan seksual maupun kekerasan seksual, yakni para korban selalu dikucilkan oleh masyarakat sekitar. Sedangkan subtle prejudice terdiri dari tiga bagian, yaitu mempertahankan nilai-nilai tradisional (the defence of traditional value), melebih-lebihkan perbedaan budaya (the exaggeration of cultural differences), dan menyangkal emosi positif (the denial of positive emotions). 

Dengan masih maraknya beredar anggapan-anggapan pelecehan seksual terjadi dikarenakan cara berpakaian korban menjadi contoh terdapat bagian dari prasangka halus yaitu  the defence of traditional value. Padahal hal ini sudah disangkal oleh survei-survei yang telah dilakukan dan menyebutkan bahwa cara berpakaian tidaklah menjadi alasan terjadinya pelecehan seksual maupun kekerasan seksual. Hal ini menunjukkan bahwa masih terdapat bagian the denial of positive emotions dimana masyarakat masih banyak menyakal akan informasi tersebut. Sementara the exaggeration of cultural differences dimana masyarakat beranggapan bahwa cara berpakaian ini meniru budaya dari luar. Adanya perbedaan ini lah, masyarakat beranggapan bahwa budaya luar tidak sesuai dengan Indonesia. Kenyataannya bahwa setiap orang memiliki fashion mereka sendiri, tidak semata-mata meniru cara berpakaian budaya luar.

KESIMPULAN

Mengingat banyaknya prasangka, stereotip, label, dan stigma yang ada di masyarakat kepada perempuan di Indonesia ini membuat banyak perempuan mulai berani untuk speak up akan hal ini kepada publik. Seperti yang dilakukan Tika and The Dissidents dengan menciptakan lagu “Tubuhku Otoritasku” yang secara tidak langsung bisa menjadi lagu kampanye akan prasangka yang ada di masyarakat tentang perempuan Indonesia. Sebagai perempuan, kita sudah melakukan berbagai macam cara untuk mengurangi pikiran negatif dan prasangka-prasangka yang buruk akan penampilan perempuan Indonesia. Berbagai macam cara sudah dilakukan, tetapi prasangka-prasangka tersebut masih ada. Hal tersebut dapat dimaklumi mengingat populasi penduduk Indonesia jumlahnya sungguh banyak. 

Cara-cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi berbagai macam prasangka di masyarakat Indonesia dimana menyorot tentang pakaian perempuan saat menjadi korban pemerkosaan itu banyak sekali. Dengan membayangkan kita berada dalam situasi yang sama, orang dapat berpikir tentang bagaimana mereka akan bereaksi serta lebih memahami perilaku orang lain. Selain itu, kita dapat memperoleh dukungan dan kesadaran publik untuk norma-norma sosial anti prasangka, hal ini sudah terlihat dari adanya lagu “Tubuhku Otoritasku”. Kita juga bisa meningkatkan kontak dengan anggota kelompok sosial lainnya, interaksi antar kelompok atau organisasi sosial akan meningkatkan kesadaran dan kepedulian akan prasangka-prasangka yang nantinya menyebar kepada masyarakat. Hal penting yang harus bisa dilakukan adalah mengesahkan perundang-undangan yang mensyaratkan perlakuan yang adil dan setara bagi semua kelompok masyarakat. (Cherry, 2020). Cara-cara yang sudah disebutkan di atas diharapkan dapat mengurangi maraknya kasus pelecehan seksual dan juga prasangka yang timbul dari kasus pelecehan seksual yang menyalahkan korban. 

DAFTAR PUSTAKA

Adelina, F., Hanurawan, F., & Suhanti, I. Y. (2017). Hubungan Antara Prasangka Sosial dan Intensi Melakukan Diskriminasi Mahasiswa Etnis Jawa Terhadap Mahasiswa yang Berasal dari Nusa Tenggara Timur. Jurnal Sains Psikologi, 6(1), 1–8.

Anindyajati, G. (2018, August 8). More support needed for rape victims. Retrieved June 8, 2021, from TheJakartaPost: 

Al Rahman, N. (2019). Pelecehan Seksual Verbal Pada Mahasiswi Berjilbab (Studi Tentang Pemaknaan Pengalaman Pelecehan Seksual Verbal Bagi Mahasiswi Berjilbab di Kota Surabaya) (Doctoral dissertation, Universitas Airlangga).

Astungkoro, R., & Puspita, R. (2019, November 27). Persentase Pelecehan Seksual di Transportasi Umum Tinggi. Retrieved June 9, 2021, from Republika.co.id : https://republika.co.id/berita/q1mklq428/persentase-pelecehan-seksual-di-transportasi-umum-tinggi

BNA Communications, Inc. (2014). Preventing Sexual Harassment. Retrieved from BNA Communications, Inc.: 

Cherry, K. (2020, June 17). How People's Prejudices Develop. Retrieved June 9, 2021, from verywellmind: 

Damarjati, D. (2019, July 23). Hasil Lengkap Survei KRPA soal Relasi Pelecehan Seksual dengan Pakaian. Retrieved June 8, 2021, from detikNews: 

Dhani, A. (2017, March 8). Melawan Stigma dan Prasangka terhadap Perempuan Indonesia. (F. Salam, Editor) Retrieved June 8, 2021, from tirto.id: 

Dress - A Woman's Clothing is not an Incitement to Rape. (2021). Retrieved 8 June 2021

Ginanjar, D. (2020, December 12). Cerita Korban Pelecehan di Media Sosial dan Upayanya Menghapus Trauma. Retrieved June 9, 2021, from JawaPos.com: 

IJRS. (2021, March 16). Menurut Masyarakat: Kekerasan Seksual itu Terjadi Karena Salah Korban! Retrieved June 8, 2021, from Indonesia Judicial Research Society (IJRS): 

Maliana, I. (2021, June 2). FAKTA Dugaan Pelecehan Seksual di Sekolah SPI Kota Batu: 3 Korban Melapor, Bantahan Pemilik. (S. Juliati, Editor) Retrieved June 9, 2021, from Tribunnews.com: 

Mantalean, V. (2020, January 18). Pelecehan Seksual di Bekasi, Bukti Pakaian Korban Bukan Pemicu Tindakan Asusila Terjadi. (A. N. Movanita, Editor) Retrieved June 8, 2021, from Kompas.com: https://megapolitan.kompas.com/read/2020/01/18/16471361/pelecehan-seksual-di-bekasi-bukti-pakaian-korban-bukan-pemicu-tindakan?page=all 

Myers, David G. (2013). Social Psychology: Tenth Edition. New York: Worth Publishers.

Ortner, S. B. (1972). Is Female to Male as Nature Is to Culture? Feminist Studies, 1(2), 5. 

Riana, F. (2021, March 5). Komnas Perempuan: Ada 299.911 Kasus Kekerasan terhadap Perempuan Sepanjang 2020. (Amirullah, Editor) Retrieved June 8, 2021, from Tempo.co: 

Stories | What Were You Wearing? (n.d.). Retrieved June 08, 2021, fromForesty

U.S. Equal Employment Opportunity Commission. (2016). Sexual Harassment. Retrieved from U.S. Equal Employment Opportunity Commission: 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun