Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang dimulai sejak kwartal pertama tahun 2020, telah memberi dampak amat besar pada sektor ekonomi dan sosial di Indonesia, yang ditandai oleh melemahnya daya beli atau tingkat konsumsi rumah tangga, adanya ketidakpastian investasi, turunnya harga komoditas, dan memburuknya sistem keuangan, yang ditunjukkan dengan penurunan berbagai aktivitas ekonomi domestik dan keberadaan UMKM.Â
Pandemi Covid-19 menyebabkan pemerintah menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada tahun 2020 dan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) sejak awal tahun 2021 yang berimplikasi terhadap pembatasan aktivitas masyarakat antara lain aktivitas ekonomi, aktivitas pendidikan, dan aktivitas sosial lainnya. Menurunnya berbagai aktivitas ini berdampak pada kondisi kesehatan, sosial dan ekonomi masyarakat.Â
 Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang memiliki kedudukan khusus dan peran besar dalam perekonomian Indonesia. UMKM umumnya memiliki karakter mandiri tanpa memiliki relasi yang luas, atau berada di bawah naungan suatu kelompok usaha. Umumnya, UMKM menggunakan teknologi yang rendah atau sederhana, bahkan usaha mikro sering menggunakan teknologi manual. Keunikan UMKM dibandingkan dengan perusahaan skala besar adalah memiliki pangsa pasar yang lebih sempit. Orientasinya hanya terfokus pada pasar lokal atau lokasi sekitarnya. Modal usaha UMKM sangat terbatas dan akses bantuan permodalan juga relatif sulit diperoleh. Selama pendemi Covid-19, UMKM juga terkena dampak secara serius. Dalam kasus Indonesia, penyebaran pandemi menyebabkan kebangkrutan lebih dari 50 persen UMKM karena guncangan permintaan (Cepel et al. 2020).Â
Hasil survei Katadata Insight Center (KIC) terhadap 206 pelaku UMKM di Jabodetabek menunjukkan bahwa, sebanyak 82,9% UMKM terkena dampak negatif dari pandemi ini. Hanya sebagian kecil atau 5,9% dari pelaku yang justru mengalami dampak positif. Pandemi ini bahkan menyebabkan 63,9% dari UMKM yang terdampak mengalami penurunan omset lebih dari 30% dan hanya 3,8% UMKM yang mengalami peningkatan omset (Katadata.co.id, 2020). Selain itu, UMKM juga menghadapi sejumlah kendala dalam menjalankan dan mengembangkan usahanya terkait masalah permodalan, ketersediaan bahan baku, dan masalah pemasaran. Menurut Rahmah dkk (2021), sekitar 60-70% UMKM belum mendapat akses atau pembiayaan perbankan. Oleh karena itu, peran bank dan lembaga keuangan sangat penting dalam pengembangan UMKM dengan modal terbatas.Â
Pendirian Lembaga Keuangan Syariah (LKS) adalah untuk mendukung perekonomian Indonesia. Ekonomi dalam Islam adalah ilmu yang mempelajari segala tingkah laku manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup dengan tujuan memperoleh Falah (kedamaian dan kesejahteraan akhirat). Perilaku manusia di sini terkait dengan landasan syariat sebagai acuan perilaku dan kecenderungan fitrah manusia. Kedua hal tersebut saling berinteraksi satu sama lain membentuk mekanisme ekonomi yang unik berdasarkan nilai-nilai ketuhanan. Akibatnya, masalah ekonomi dalam Islam adalah masalah memastikan sirkulasi kekayaan di antara manusia untuk memaksimalkan fungsi kehidupan sebagai hamba Allah untuk mencapai Falah di dunia dan akhirat.Â
Kehadiran LKS harus menjadi solusi utama dalam mengentaskan kemiskinan, meningkatkan perekonomian masyarakat dan memberdayakan UMKM di masa depan. Lembaga keuangan syariah juga memegang prinsip keadilan dan kesetaraan antara lembaga yang memberikan pinjaman kepada nasabahnya, berbeda dengan bank konvensional karena pinjaman bank konvensional membebankan bunga yang tidak melihat bagaimana hasil usaha (keuntungan) yang diperoleh nasabah. Hal ini dikarenakan bank konvensional tidak menerapkan sistem akad bagi hasil. Selain itu, orientasi bank syariah tidak selalu berorientasi pada profit, tetapi untuk tujuan sosial. Kemampuan lembaga keuangan syariah untuk melayani sektor bisnis riil sangat dibutuhkan oleh pemerintah. Kepercayaan lembaga keuangan (termasuk kepemilikan pemerintah atas Bank) dalam memberikan kredit kepada pengusaha kecil tidak muncul berdasarkan ide kosong, tetapi berdasarkan pengalaman. Kehadiran lembaga keuangan menjadi tumpuan bagi pemilik UMKM untuk mendapatkan tambahan modalnya melalui mekanisme kredit atau pembiayaan dan menjadi tumpuan investasi melalui mekanisme saving, sehingga lembaga keuangan tanpa disadari pun memiliki peranan yang sangat besar dalam mendistribusikan sumber-sumber daya ekonomi di kalangan masyarakat (Ridwan 2004) .
Hubungan LKS dan UMKM sangat penting untuk diperhatikan. Hal ini dikarenakan UMKM merupakan usaha yang dikelola oleh pengusaha kecil, dan dengan modal kecil, tetapi mempunyai partisipasi besar sebagai salah satu penyangga tiang perekonomian Indonesia. Selain itu, UMKM adalah bisnis yang sensitif karena kurangnya akses permodalan, kapasitas produksi yang kecil, dan pangsa pasar yang relatif sempit. Permodalan adalah suatu problem dari UMKM. Di sisi lainnya, LKS tidak hanya berorientasi pada pencarian profit semata, melainkan juga memiliki sisi kemanusiaan, yaitu memberdayakan UMKM. Artikel ini membahas karakteristik UMKM dan LKS di Indonesia, dampak pandemi Covid-19 terhadap UMKM, dan peran LKS dalam memperkuat pengembangan UMKM di masa pendemi Covid-19.Â
Karakteristik dan Tujuan Pemberdayaan UMKM di Indonesia
 UMKM merupakan singkatan dari usaha mikro, kecil, dan menengah. Dengan demikian, UMKM terdiri dari tiga bentuk usaha berdasarkan skalanya, yaitu; Usaha Mikro, Usaha Kecil dan Usaha Menengah. Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, menjelaskan ketiga istilah tersebut sebagai berikut:Â
a. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro, yaitu memiliki kekayaan bersih maksimal Rp 50 Juta (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha) dan kriteria Omset: Maksimal Rp 300 juta.Â
b. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil, yaitu memiliki kekayaan bersih maksimal Rp 50 juta - 500 juta (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha) dan kriteria Omset: Rp 300 juta - 2,5 Miliar.Â
c. Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perseorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Kriteria aset: Rp 500 juta - 10 Miliar, kriteria Omset: >2,5 Miliar -- Rp 50 Miliar Rupiah (UU No. 20 Tahun 2008).Â
 UMKM adalah usaha ekonomi produktif yang dijalankan oleh individu atau badan usaha yang berukuran kecil. UMKM merupakan kegiatan usaha yang mampu memperluas lapangan kerja dan memberikan pelayanan ekonomi secara luas kepada masyarakat, dan dapat berperan dalam proses pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan berperan dalam mewujudkan stabilitas nasional. Selain itu, UMKM adalah salah satu pilar utama ekonomi nasional yang harus memperoleh kesempatan utama, dukungan, perlindungan dan pengembangan seluas-luasnya sebagai wujud keberpihakan yang tegas kepada kelompok usaha ekonomi rakyat, tanpa mengabaikan peranan Usaha Besar dan Badan Usaha Milik Negara. Meskipun Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah telah menunjukkan peranannya dalam perekonomian nasional, namun masih menghadapi berbagai hambatan dan kendala, baik yang bersifat internal maupun eksternal, dalam hal produksi dan pengolahan, pemasaran, sumber daya manusia, desain dan teknologi, permodalan, serta iklim usaha.Â
 UMKM memiliki karakteristik sendiri yang berbeda dengan perusahaan berskala luas. Mereka pada umumnya memiliki karakter mandiri tanpa memiliki relasi luas, atau berada di bawah naungan grup usaha. Karakteristik lain dari UMKM adalah menggunakan teknologi rendah atau sederhana, bahkan usaha mikro sering menggunakan teknologi manual. Karakteriktik UMKM merupakan kondisi faktual yang melekat pada aktivitas usaha maupun perilaku usaha dalam menjalankan usahanya. Karakteristik pun menjadi pembeda antar pelaku usaha sesuai dengan skala usaha. Pramiyanti (2008) menjelaskan karakteristik UMKM adalah sebagai berikut:Â
a. Mempunyai skala kecil, baik model, penggunaan tenaga kerja maupun orientasi pasar;Â
b. Banyak berlokasi di perdesaan, kota-kota kecil atau daerah pinggir kota besar;Â
c. Status usaha milik pribadi atau keluarga;Â
d. Sumber tenaga kerja berasal dari lingkungan sosial budaya yang direkrut melalui pola pemagangan atau melalui pihak ketiga;Â
e. Pola kerja seringkali part time atau sebagai usaha sampingan dari kegiatan lainnya;Â
f. Memiliki kemampuan terbatas dalam mengadopsi teknologi pengolahan usaha dan administrasi sederhana;Â
g. Struktur permodalan sangat terbatas dan kekurangan modal kerja serta sangat bergantung pada sumber modal dan lingkungan pribadi; danÂ
h. Strategi perusahaan sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang sering berubah secara tepat.
 Berdasarkan Pasal 3 Undang-undang No. 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, disebutkan bahwa tujuan dibentuk dan diberdayakannya UMKM adalah menumbuhkan dan mengembangkan usahanya dalam rangka membangun perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi yang berkeadilan. Sementara pada pasal 4 dijelaskan prinsip pemberdayaan UMKM adalah: (a) penumbuhan kemandirian, kebersamaan, dan kewirausahaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah untuk berkarya dengan prakarsa sendiri; (b) perwujudan kebijakan publik yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan; (c) pengembangan usaha berbasis potensi daerah dan berorientasi pasar sesuai dengan kompetensi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah; (d) peningkatan daya saing Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah; dan (e) penyelenggaraan perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian secara terpadu.Â
 UMKM memiliki kontribusi penting di dalam pembangunan dan pertumbuhan ekonomi karena mampu memperluas kesempatan kerja dan penyerapan tenaga kerja, meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB), dan penyediaan jaring pengaman terutama bagi masyarakat berpendapatan rendah untuk menjalankan kegiatan ekonomi produktif. UMKM merupakan sektor yang paling fleksibel dalam menyerap tenaga kerja secara cepat dan alamiah dibandingkan sektor lain. Jumlah yang banyak serta sebaran yang merata, menjadikan sektor ini tidak hanya mampu menciptakan pertumbuhan namun juga mengurangi disparitas antar daerah. Lebih lanjut pasal 5 Undang-undang No. 20 tahun 2008 menyatakan tujuan pemberdayaan UMKM adalah sebagai berikut:Â
a. mewujudkan struktur perekonomian nasional yang seimbang, berkembang, dan berkeadilan;Â
b. menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang tanggu dan mandiri; danÂ
c. meningkatkan peran Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dalam pembangunan daerah, penciptaan lapangan kerja, pemerataan pendapatan, pertumbuhan ekonomi, dan pengentasan rakyat dari kemiskinan.
Perkembangan UMKM di Tengah Pandemi Covid-19 Â
  Pandemi Covid-19 bukan sekedar bencana kesehatan, virus namun telah menimbulkan dampak signifikan di sektor ekonomi. Badan Pusat Statistik (2021) menyebutkan bahwa pandemi Covid-19 membuat Indonesia mengalami penurunan persentase pertumbuhan ekonomi 2,07% pada akhir tahun 2020, tingkat kemiskinan 10,19%, rasio gini 0,385, dan tingkat pengangguran terbuka (TPT) 7,07%. Pada tataran ekonomi global, pandemi COVID-19 memberikan dampak yang signifikan terhadap perekonomian domestik dan keberadaan UMKM. Hasil survei Bank Indonesia (2020), dinyatakan sebanyak 72% pelaku UMKM terdampak dari pandemi ini. Sementara, data Kementerian Koperasi dan UKM menggambarkan bahwa 1.785 koperasi dan 163.713 UMKM terdampak pandemi Covid-19. Kebanyakan koperasi yang terkena dampak Covid-19 bergerak pada bidang kebutuhan sehari-hari, sedangkan sektor UMKM yang paling terdampak yakni makanan dan minuman.Â
 Kementerian Koperasi dan UKM mengatakan bahwa koperasi yang bergerak pada bidang jasa dan produksi paling terdampak pada pandemi Covid-19. Para pengelola koperasi merasakan turunnya penjualan, kekurangan modal, dan terhambatnya distribusi. Sektor industri kreatif dan pertanian juga mengalami guncangan selama pandemi Covid-19. Menurut Kemenkop UKM terdapat sekitar 37.000 UMKM yang memberikan laporan bahwa mereka terdampak sangat serius dengan adanya pandemi dengan rincian: sekitar 56 persen melaporkan terjadi penurunan penjualan, 22 persen melaporkan permasalahan pada aspek pembiayaan, 15 persen melaporkan pada masalah distribusi barang, dan 4 persen melaporkan kesulitan mendapatkan bahan baku mentah. Masalahmasalah tersebut juga semakin meluas jika dikaitkan dengan adanya kebijakan PSBB pada tahun 2020 dan PPKM sejak awal tahun 2021.Â
 Banyak UMKM menghadapi sejumlah kendala untuk tetap tumbuh atau sekedar bertahan dalam menghadapi pandemi Covid-19 akibat kesulitan memperoleh bahan baku, permodalan, pelanggan menurun, distribusi dan produksi terhambat, bahkan sejumlah UMKM mengalami kesulitan melunasi pinjaman, membayar tagihan listrik, gas, dan gaji karyawan (Bahtiar, 2021). Menurut Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian RI, dampak yang timbul akibat pandemi Covid-19 adalah: (i) penurunan permintaan dan turunnya penjualan; (ii) penurunan kegiatan hingga penutupan usaha (sementara/tetap); (iii) distribusi terhambat; (iv) kesulitan bahan baku; dan (v) kesulitan mendapatkan permodalan usaha. Hasil survei Katadata Insight Center (2020), melaporkan para responden (pelaku usaha) yang terdampak covid-19, sebanyak 63,9 persen para pelaku usaha mendapati penurunan omset usaha lebih dari 30% dan sebesar 31,7 persen para pelaku usaha mendapati penuruan kurang dari 30%. Sebanyak 2,2 persen yang mengalami kenaikan omset kurang dari 30% dan terdapat 1,6 persen yang mendapati peningkatan omset usaha lebih dari 30%. Sisanya, terdapat 0,6 persen yang tidak mendapati perubahan signifikan terkait omset usahanya (Katadata.co.id, 2020).Â
 UMKM yang mampu bertahan di tengah pandemi Covid-19 ini antara lain adalah UMKM yang sudah terhubung sistem digital dengan memanfaatkan marketplace yang ada di Indonesia dan UMKM yang mampu mengadaptasikan bisnisnya dengan produkproduk inovasi, misalnya yang tadinya menjual produk-produk tas dan baju kemudian merubah produknya menjadi jual masker kain. Industri lain yang mampu bertahan di masa pandemi covid 19 adalah industri yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan dasar meliputi listik, air bersih, pertanian, peternakan, perkebunan, perikanan, otomotif dan perbankan. Demikian halnya dengan industri ritel yang mampu bertahan, hal ini dikarenakan sebagian memanfaatkan penjualan melalui marketing digital.Â
Peran Lembaga Keuangan Syariah dalam Pemberdayaan UMKMÂ
  Di era globalisasi, sistem ekonomi Islam dipandang memiliki peran yang cukup bermartabat dan diterima oleh semua negara di dunia yang berhubungan dengan global, multilateral, bilateral dan masalah ekonomi internasional. Untuk itu, Lembaga Keuangan Syariah (LKS) sebagai instrumen ekonomi Islam perlu memperhatikan beberapa faktor pendukung seperti: penguasaan teknologi, pengembangan usaha kecil menengah berbasis syariah, menjaga keunggulan ekonomi syariah, yaitu sistem ekonomi syariah, dan juga larangan riba.
 Industri keuangan syariah di Indonesia terdiri dari industri perbankan syariah, syariah pasar modal, dan keuangan non bank syariah yang terus berkembang dari tahun ke tahun. Perbankan syariah sebagai salah satu kontributor terbesar aset keuangan syariah dengan pembiayaan produk yang disalurkan mampu mempengaruhi pertumbuhan sektor riil dan pertumbuhan ekonomi. Peran industri keuangan syariah semakin penting bagi perekonomian nasional dalam memenuhi kebutuhan masyarakat akan produk dan jasa industri keuangan syariah, serta untuk memenuhi kebutuhan pembangunan nasional. Itu pengembangan keuangan syariah dapat berkontribusi untuk mengembangkan potensi ekonomi, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan semakin meratanya pembangunan nasional yang secara otomatis berkontribusi dan mendukung strategi Islam kontemporer dalam mengurangi kemiskinan, dengan mengoptimalkan pembangunan ekonomi dan keuangan berbasis syariah di berbagai sektor, termasuk perdagangan, kewirausahaan, perbankan, investasi, asuransi dan ekonomi lainnya sektor pembangunan untuk itu pemerintah harus mempertimbangkan untuk menerapkan secara proaktif dan kebijakan ekonomi dan kelembagaan yang menguntungkan diarahkan pada keuangan Islam.Â
  Lembaga Keuangan Syariah (LKS) adalah lembaga keuangan yang menggunakan prinsip syariah yang berpedoman pada Al-Qur'an dan Al-Hadits. Landasan filosofis Keuangan tersebut pada dasarnya berpedoman pada Filosofi Ekonomi Islam yang memiliki satu tujuan, tiga pilar dan empat landasan. Salah satu tujuan tercapainya keberhasilan sejati dalam perekonomian dalam mencapai kesejahteraan meliputi kebahagiaan (spiritual) dan kemakmuran (materi). Tiga pilar ekonomi Islam adalah a) pemerataan kegiatan ekonomi dengan menghindari eksploitasi berlebihan, penimbunan berlebihan/tidak produktif, spekulatif, dan sewenang-wenang, b) keseimbangan kegiatan di sektor keuangan riil, manajemen risiko-kembali, kegiatan bisnis-sosial, aspek spiritual, prinsip materi dan manfaat, kelestarian lingkungan, c) Orientasi pada manfaat yang berarti melindungi keselamatan kehidupan beragama, proses regenerasi, dan perlindungan keselamatan jiwa, harta dan pikiran. Menurut Priyadi (2017), sebuah LKS memiliki karakteristik sebagai berikut: Â
1. Dalam menerima titipan dan investasi, Lembaga Keuangan Syariah harus sesuai dengan fatwa Dewan Pengawas Syariah;Â
2. Hubungan antara investor (penyimpan dana), pengguna dana, dan Lembaga Keuangan Syariah sebagai intermediary institution (lembaga perantara), berdasarkan kemitraan, bukan hubungan debitur-kreditur;Â
3. Bisnis Lembaga Keuangan Syariah bukan hanya berdasarkan profit oriented, tetapi juga falah oriented, yakni kemakmuran di dunia dan kebahagiaan di akhirat;Â
4. Konsep yang digunakan dalam transaksi Lembaga Syariah berdasarkan prinsip kemitraan bagi hasil, jual beli atau sewa menyewa guna transaksi komersial, dan pinjam-meminjam (qardh/ kredit) guna transaksi sosial; danÂ
5. Lembaga Keuangan Syariah hanya melakukan investasi yang halal dan tidak menimbulkan kemudharatan serta tidak merugikan syiar Islam.
  Islam menawarkan sistem bagi hasil yang salah satunya disebut dengan mudharabah, yaitu akad pembagian keuntungan yang dilakukan antara pemberi modal dan penerima modal untuk usaha, dan pembagian dilakukan berdasarkan keuntungan usaha. Mudharabah ini artinya adalah kerjasama, yaitu kerjasama permodalan (Antonio 2011). Praktek mudharabah merupakan praktek yang dilakukan oleh Rasulullah sebelum diangkat menjadi Nabi, sebagaimana yang ia lakukan bersama Siti Khadijah. Siti Khadijah menyumbang modal besar untuk melakukan perjalanan dagang Rasul, sedangkan Rasulullah sendiri menyumbang tenaga dan keahliannya dalam berdagang. Keuntungan dari keduanya dibagi secara bersama.Â
 Tantangan terberat para pelaku UMKM dalam menghadapi pandemi Covid-19 terletak pada rendahnya tingkat aksesibilitas pembiayaan. Salah satu akar permasalahan bukan hanya terletak dari sisi permintaan, namun lebih kepada masih rendahnya inklusi dan pendalaman keuangan. Dampaknya, diversifikasi atau alternatif pembiayaan menjadi rendah, termasuk masih rendahnya peluang pembiayaan syariah yang sebenarnya sangat potensial.Â
 Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk mendorong pemulihan UMKM adalah menyediakan alternatif model pembiayaan, yang dapat diwujudkan melalui optimalisasi pembiayaan syariah. Kebutuhan UMKM yang memerlukan model pembiayaan yang mudah dan berkeadilan pada masa hantaman pandemi Covid-19 dianggap kompatibel dengan karakteristik pembiayaan syariah yang menjunjung tinggi transparansi, keadilan, dan asas tidak saling mendzhalimi antar pihak yang bertransaksi. Hal ini dinilai sesuai dengan kondisi UMKM saat terjadi hantaman pandemi, dimana mereka membutuhkan aksesibilitas permodalan yang berkeadilan dan mampu mengatasi kelemahan-kelemahan usaha UMKM. Strategi pembiayaan syariah bagi UMKM sangat relevan, mengingat kasus di tingkat global, perkembangan keuangan syariah berjalan sangat pesat. Kondisi tersebut bisa ditangkap sebagai peluang bagi pengembangan pembiayaan syariah di Indonesia (Nasution 2021).
  Lembaga keuangan syariah tidak pernah lepas dari pembiayaan. Sebagai lembaga keuangan, memberikan pembiayaan merupakan kegiatan utama. Besarnya pembiayaan yang disalurkan akan menentukan manfaat dari Lembaga Keuangan Sayariah. Oleh karena itu, pengelolaan pembiayaan harus dilakukan dengan sebaik-baiknya mulai dari perencanaan besaran pembiayaan, penentuan bagi hasil, tata cara pemberian pembiayaan, analisis pemberian pembiayaan hingga pengendalian kemacetan. Pembiayaan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan berdasarkan kesepakatan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain dan mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.Â
  Peran LKS bagi sektor UMKM antara lain adalah program kemitraan dengan pelaku usaha yang belum memperoleh akses perbankan, linkage program dengan lembaga keuangan mikro sebagai upaya perluasan layanan pendanaan. Produk layanan LKS yang menjadi pedoman bagi sektor UMKM antara lain:
1. Mudharabah, yaitu kesepakatan antara pemberi modal dengan pengusaha. Setiap keuntungan yang diperoleh akan dibagi menurut rasio tertentu yang disepakati. Risiko kerugian ditanggung sepenuhnya oleh Bank kecuali kerugian yang disebabkan oleh salah urus, kelalaian dan penyimpangan dari pihak nasabah seperti penyelewengan, penipuan dan penyelewengan.Â
2. Bagi hasil (Musyarakah) adalah keuntungan yang diperoleh akan dibagi dengan nisbah yang disepakati di awal, sedangkan kerugian akan dibagi berdasarkan nisbah ekuitas yang dimiliki masing-masing pihak. Â
  Mudharabah merupakan skema yang paling mendasar dalam memobilisasi sumber dana, yaitu penggabungan antara pemilik dana dengan pihak lain yang memiliki keterampilan untuk menjalankan suatu usaha. Pembiayaan mudharabah juga memiliki filosofi yaitu penyatuan modal (capital) dengan tenaga kerja (skill dan entrepreneurship). Hal ini tidak ditemukan pada sistem perbankan konvensional. Dalam pembiayaan mudharabah, lembaga keuangan syariah bertindak sebagai shahibul maal yang menyediakan dana secara penuh dan nasabah bertindak sebagai mudharib yang mengelola dana dalam kegiatan usaha. Oleh karena itu pembiayaan mudharabah ini sangat bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan modal usaha nasabah.
 Musyarakah adalah akad kerja sama atau percampuran antara dua pihak atau lebih untuk menjalankan usaha yang halal dan produktif tertentu dengan kesepakatan bahwa keuntungan akan dibagi menurut nisbah yang disepakati dan risiko yang ditanggung sesuai dengan porsi kerjasama. Dalam pembiayaan musyarakah, bank sebagai shahibul maal memenuhi sebagian modal usaha mudharib berdasarkan kesepakatan. Bank dan mudharib bertindak sebagai mitra bisnis, mudharib bertindak sebagai pengelola bisnis dan bank sebagai mitra bisnis, mereka dapat berpartisipasi dalam pengelolaan bisnis sesuai dengan tugas dan wewenang yang disepakati.Â
 Sebagaimana disebutkan di atas, bank punya peran besar, dalam menghimpun dana dari masyarakat dan kemudian menyalurkannya sebagai modal usaha, sehingga tercipta pertumbuhan ekonomi. Hal ini menggambarkan betapa lembaga keuangan berperan sangat penting dalam pembangunan ekonomi negara. Dengan modal, dapat mengubah benda yang tidak bermanfaat menjadi benda yang bermanfaat. Permasalahannya adalah bahwa untuk akses modal tersebut relatif sulit dilakukan oleh usaha kecil atau mikro, dikarenakan beberapa hal, seperti;Â
1. Sistem administrasi bank yang berbelit-belit dan mensyaratkan adanya jaminan yang sepadan dengan uang yang dipinjamkan.Â
2. Pelaku usaha kecil pada umumnya adalah kelompok akar rumput dari masyarakat yang kurang familiar dengan bahasa-bahasa teknis perbankan.
  Di sinilah peran dari lembaga keuangan syariah diperlukan, yaitu menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk tabungan, lalu menyalurkannya dalam bentuk pinjaman atau modal. Lembaga keuangan syariah memberlakukan sistem bagi hasil yang mana dalam sistem ini tidak memungkinkan meminjam untuk kebutuhan non usaha riil karena konsepsi pembiayaan mudharabah hanya dimungkinkan jika pihak peminjam membutuhkan modal untuk usaha. Dari usaha yang dikembangkan tersebut, menghasilkan laba, dan laba dari usaha tersebut dibagi sesuai dengan perjanjian (akad) yang telah disepakati bersama. Berdasarkan asumsi seperti ini, sistem bagi hasil ini tidak dapat diberlakukan kepada calon peminjam untuk memenuhi kebutuhan kebutuhan konsumtif, seperti SPP Sekolah apalagi sekedar untuk membeli baju untuk lebaran. Skema peminjaman ini bukan lewat skema pembiayaan mudharabah, tetapi melalui skema murabahah (akad jual beli) serta bisa juga dengan akad qardh al-hasan atau pinjaman murni non bagi hasil, dimana pengembalian hanya hutang pokok saja. Hal ini telah dilakukan oleh lembaga keuangan Islam. Sebagian dari lembaga keuangan syariah melakukan pengorganisasian pada beberapa kelompok usaha menengah ke bawah. Mereka mengorganisir peminjam dan memberikan bantuan pembiayaan lunak. Tujuannya untuk memperkuat kapasitas mereka dalam hal merencanakan usaha dalam skala mikro. Dengan demikian, LKS (Lembaga Keuangan Syariah) dapat berperan sebagai salah satu partner wirausaha kecil atau mikro, tidak hanya memberi bantuan modal ringan, tetapi juga melakukan pembinaan dan pemberdayaan. Â
 Telaahan di atas membawa kita pada suatu kesimpulan bahwa Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) sangat penting bagi perkembangan ekonomi di Indonesia karena dapat menyediakan jaring pengaman untuk menjalankan kegiatan ekonomi khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Pandemi Covid-19 membuat Indonesia mengalami penurunan persentase pertumbuhan ekonomi 2,07% pada akhir tahun 2020, tingkat kemiskinan 10,19%, rasio gini 0,385, dan tingkat pengangguran terbuka (TPT) 7,07%. Pada tataran ekonomi global, pandemi COVID-19 memberikan dampak yang signifikan terhadap perekonomian domestik dan keberadaan UMKM. Adanya pandemi menyebabkan turunnya kinerja dari sisi permintaan (konsumsi dan daya beli masyarakat) yang akhirnya berdampak pada sisi suplai yakni pemutusan hubungan kerja dan ancaman macetnya pembayaran kredit. Pemulihan dan pengembangan UMKM membutuhkan dukungan permodalan. Bidang inilah yang perlu diisi oleh lembaga keuangan syariah. Dalam hal ini, kebijakan lembaga keuangan syariah berperan penting dalam memulihkan UMKM di masa pandemi dan meningkatkan pertumbuhan UMKM di masa datang. Adanya pembiayaan syariah menjadikan pelaku usaha UMKM memiliki modal yang lebih besar dan pengembangan usaha dapat dilakukan sesuai dengan tujuan dan karakteristik pembiayaan syariah yang menjunjung tinggi transparansi, keadilan, dan asas tidak saling mendzhalimi antar pihak yang bertransaksi. Pembiayaan syariah melalui bank syariah juga menyokong peran penting UMKM dalam pertumbuhan ekonomi, menjaga kestabilan perekonomian, penyerapan tenaga kerja, mendistribusikan hasil-hasil pembangunan, dan mengembangkan dunia usaha. Pemberian pembiayaan kepada UMKM lebih efektif, karena dialokasikan benar-benar pada kebutuhan usaha kecil secara langsung.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H