Itulah iman.
Di tahun 1964, Lie ke Jakarta dan mengirimkan lamaran ke kampus-kampus kedokteran di berbagai kota di Jawa. Dan hasilnya? Lie tak berhasil masuk ke sekolah kedokteran mana pun. Meski dinyatakan lulus dalam tes seleksi angka, namun ia gagal dalam tes psikologi. "Anda tak berbakat menjadi dokter," begitu Lie mengenang hasil tes psikologinya. Kegagalan itu membuatnya sedih luar biasa, tapi tak sampai menggoyahkan tekadnya.
Di tahun berikutnya Lie mencoba lagi. Kali ini ia berhasil diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Res Publica (Ureca) - cikal bakal Universitas Trisakti sekarang. Lie lega dan senang karena akhirnya bisa kuliah kedokteran.
Tetapi, apa yang terjadi? Baru beberapa hari ia mengikuti masa orientasi mahasiswa baru, pecahlah peristiwa Gerakan 30 September 1965. Partai Komunis Indonesia (PKI) dituding sebagai dalangnya. Keributan meledak di seluruh negeri. Paramilisi yang didukung tentara memburu dan membunuh anggota-anggota PKI beserta siapa pun yang diduga terlibat. Ureca pun terkena imbas. Massa mengamuk, menghancurkan, serta membakar gedung-gedung perkuliahannya. Lie pun tak bisa melanjutkan kuliah.
Tapi, ia tetap tak menyerah. Setelah dua tahun bekerja membantu kakaknya dan mengumpulkan uang secukupnya, Lie mulai mendaftar ke sekolah-sekolah kedokteran di Jerman, dan akhirnya diterima di Free University di Berlin Barat. Dengan berbekal one way ticket dan uang tak seberapa, ia memulai pengembaraan yang penuh perjuangan di sebuah negeri nun jauh yang sama sekali belum pernah diinjaknya.
Namun sebelum berangkat ke Jerman, Lie mendapatkan pesan penting dari ibunda tercinta yang kelak akan sangat menentukan hidupnya: "Kalau kamu menjadi seorang dokter, jangan mengambil duit yang banyak, jangan mengambil duit orang miskin. Mereka akan membayar, tapi di rumah menangis karena tidak ada uang untuk membeli beras."
Merangkak dari nol di Jerman, berjuang keras, bekerja, belajar, sambil menyekolahkan tiga adiknya di negeri asing itu, sampai kemudian mencapai karir gemilang dan dalam dua dekade bahkan bisa membina keluarga kecil yang bahagia - sungguh merupakan kisah luar biasa. Karir yang gemilang pun menjanjikan masa depan yang cerah untuknya.
Tapi, toh akhirnya Lie memilih pulang kembali ke tanah air. Mengapa? Ia ingin memenuhi janji pada ibundanya. Di bawah sadarnya, ternyata Lie selalu menyimpan kerinduan untuk membaktikan ilmunya bagi kemanusiaan. Ia ingin menghapus air mata orang-orang kecil yang menderita sakit tetapi tak punya kemampuan untuk berobat. Lie menyadari ketrampilannya sebagai dokter spesialis akan jauh lebih dibutuhkan untuk menolong rakyat kecil di Indonesia dari pada di Jerman.
Setelah dianugerahi berkat berlimpah dalam hidupnya, Lie merasa bertanggung jawabnya untuk meneruskan berkat pada orang lain yang membutuhkan. "Ada saatnya menerima, dan ada saatnya memberi," ujar Lie. "Berbuat baiklah terus. Meski perbuatan kita tidak diapresiasi atau ada yang menipu kita, berbuat baiklah terus."