Saat pertama kali berjumpa dengannya, aku hampir-hampir tak bisa melihat wujudnya. Dokter Lie A. Dharmawan yang oleh berbagai kalangan dijuluki 'dokter gila' itu, tenggelam di balik kerumunan tamu di atas Rumah Sakit Apung Nusa Waluya II yang sedang menancapkan jangkar di perairan Teluk Jakarta, awal Maret 2020 lalu.
Saat itu Yayasan Dokter Peduli - yang dikenal dengan DoctorSHARE - yang dipimpinnya sedang menyelenggarakan acara syukuran sepuluh tahun pengabdiannya pada masyarakat yang terpinggirkan di berbagai wilayah terpencil di negeri ini. Banyak tamu berkumpul untuk melakukan tour di rumah sakit apung itu, termasuk diriku yang beruntung mendapat undangan dari salah seorang panitia. Aku memanjang-manjangkan leher agar bisa melihatnya dengan jelas dari balik kerumunan orang.
"Hewan dan tanaman langka saja kita lestarikan, masak ada suku yang hampir punah, Suku Laut, kita biarkan begitu saja?"
Itu kalimat pertama yang kudengar dari sang 'dokter gila' setelah berhasil memandangnya dari balik punggung seseorang. Suaranya halus, tapi ada semangat membara di dalamnya. Dengan celana hitam dan kemeja abu-abu polos, dengan tas hitam kecil terselempang di pundaknya, Lie kelihatan begitu bersahaja. Semua orang tampak menyimak dengan hormat. Saat itu Lie sedang mengungkap keprihatinannya akan sekelompok masyarakat yang terpinggirkan, Orang Suku Laut, yang tinggal di pesisir-pesisir pantai Kepulauan Riau.
Baca juga 'Suku Laut, Janji Leluhur, dan Pewaris yang Hampir Punah'.
Maka saat aku menerima pesan WhatsApp dari DoctorSHARE yang menanyakan kesediaanku untuk menjadi relawan penulis di pelayanan medis yang akan datang di Kepulauan Riau, aku melongo.
"Apakah sang 'dokter gila' akan ikut dalam pelayanan medis di Kepulauan Riau? Apakah aku ditugaskan menulis tentang Orang Suku Laut?" Begitu tahu jawabannya adalah 'ya' untuk kedua pertanyaan itu, aku melompat riang. Aku senang bukan karena akan mendapatkan kesempatan berfoto lagi, tetapi pertama, aku sungguh-sungguh ingin tahu mengapa Lie mendapatkan gelar istimewa 'dokter gila' itu? Kedua, kesempatan untuk menulis tentang Orang Suku Laut pun bakal jadi pengalaman berharga tersendiri.
Iman dan Nasionalisme
Kegilaan pertama Lie yang ingin kutanyakan adalah, mengapa setelah mencapai tingkat kehidupan dan karir gemilang di Jerman, ia memutuskan pulang ke Indonesia? Mengapa ia sudi kembali ke negeri yang jelas-jelas sudah mendiskriminasinya karena etnis Tionghoanya? Mengapa - setelah berhasil meraih gelar PhD yakni gelar tertinggi di dunia akademis, kemudian berhasil menggaet empat spesialisasi di bidang bedah jantung, bedah toraks, bedah pembuluh darah, dan bedah umum, serta berhasil memiliki kedudukan sebagai dokter terpandang di Jerman - ia bersedia meninggalkan semua itu? Mengapa?
Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan itu sebenarnya sudah banyak kubaca dalam berbagai wawancaranya di media masa, juga tertuang dalam buku biografinya 'Dokter di Jalan Kemanusiaan' yang ditulis oleh Sylvie Tanaga dan Basillius Triharyanto. Lie selalu menekankan akan iman pada Tuhan dan karenanya juga pada kemanusiaan, serta nasionalisme pada tanah tumpah darahnya, Indonesia. Tetapi aku tak bisa menerima jawaban-jawaban yang terdengar klise begitu saja. Aku ingin menatap matanya pada saat menanyakan pertanyaan-pertanyaan itu, dan merasakan energinya.