Tetapi, sebentar. Jika semua transformasi telah dilakukan atas nama perlindungan, perbaikan kesejahteraan, dan dengan membayar harga kearifan lokal, mengapa hingga kini pun hampir semua orang dewasanya masih tetap buta huruf dan tertinggal?
Terhadap pertanyaan yang satu ini, aku berusaha mencari jawaban dengan sepenuh hati. Hello, sekarang ini abad 21. Rasanya sulit sekali mencerna ada masyarakat yang tinggal di perairan laut yang ramai, bahkan dekat dengan Batam dan Singapura - tetapi masih terkucil dan buta aksara.
Dari wawancaraku dengan beberapa aparat Pemerintah di Pulau Benan, aku medapatkan jawaban-jawaban seperti:
"Tak mudah dekat dengan Orang Suku Laut, Bu."
"Mereka memang suka mengasingkan diri."
"Mereka hanya loyal kepada kepala sukunya."
"Kami susah mengatur mereka, karena mereka jarang bergaul."
Hah? Air mata duyung? Apa pula itu? Pertanyaanku tentang ini pada Bunda Densy ternyata mengundang kisah menarik yang dapat menjadi cerita tersendiri. Namun singkatnya, kearifan lokal Orang Suku Laut - apakah itu berupa serapah atau jampi-jampi, berupa ramu-ramuan ampuh, atau adat istiadat kuno - ternyata masih disegani, atau tepatnya masih ditakuti, oleh kalangan luar.
Menurut Sari, tetua Orang Suku Laut di Tereh, "Perubahan jelas ada, tetapi kami masih tetap mempertahankan adat dan tradisi leluhur."