Mohon tunggu...
Laksmi Haryanto
Laksmi Haryanto Mohon Tunggu... Freelancer - A creator of joy, a blissful traveler who stands by the universal love, consciousness, and humanity.

As a former journalist at Harian Kompas, a former banker at Standard Chartered Bank and HSBC, and a seasoned world traveler - I have enjoyed a broad range of interesting experience and magnificent journey. However, I have just realized that the journey within my true SELF is the greatest journey of all. I currently enjoy facilitating Access Bars and Access Energetic Facelift sessions of Access Consciousness - some extraordinary energetic tools of cultivating the power within us as an infinite being.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kacamata, Ponsel Gagap Aksara, dan Cahaya

31 Maret 2020   07:01 Diperbarui: 1 April 2020   18:44 693
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pelatar Kayu di Tereh. Sumber gambar: dokumen pribadi.

Keluarga Suku Laut. Sumber: Yayasan Kajang.
Keluarga Suku Laut. Sumber: Yayasan Kajang.
Baik. Mungkin yang dimaksud Safaruddin adalah transformasi ini akan menimbulkan dilema kultural. Dengan merumahkan Orang Suku Laut, memberi mereka pendidikan, mengonversi agama, serta melakukan asimilasi budaya - maka kearifan lokal dan budaya khas Orang Suku Laut pun mau tak mau, akan memudar dengan sendirinya. Mereka akan menjadi kurang lebih sama seperti Orang Melayu pada umumnya.

Tetapi, sebentar. Jika semua transformasi telah dilakukan atas nama perlindungan, perbaikan kesejahteraan, dan dengan membayar harga kearifan lokal, mengapa hingga kini pun hampir semua orang dewasanya masih tetap buta huruf dan tertinggal?

Terhadap pertanyaan yang satu ini, aku berusaha mencari jawaban dengan sepenuh hati. Hello, sekarang ini abad 21. Rasanya sulit sekali mencerna ada masyarakat yang tinggal di perairan laut yang ramai, bahkan dekat dengan Batam dan Singapura - tetapi masih terkucil dan buta aksara.

Dari wawancaraku dengan beberapa aparat Pemerintah di Pulau Benan, aku medapatkan jawaban-jawaban seperti:

"Tak mudah dekat dengan Orang Suku Laut, Bu."

"Mereka memang suka mengasingkan diri."

"Mereka hanya loyal kepada kepala sukunya."

"Kami susah mengatur mereka, karena mereka jarang bergaul."

Ibu dan Anak Laut. Sumber: Yayasan Kajang.
Ibu dan Anak Laut. Sumber: Yayasan Kajang.
Hm, menarik. Tetapi jawaban yang paling 'epik' menurutku adalah yang ini: "Orang kita takut dengan mereka, Bu. Mereka masih punya mejik yang kuat. Mereka juga masih punya ramuan sakti 'air mata duyung' yang sudah susah ditemukan, tapi mereka masih punya."

Hah? Air mata duyung? Apa pula itu? Pertanyaanku tentang ini pada Bunda Densy ternyata mengundang kisah menarik yang dapat menjadi cerita tersendiri. Namun singkatnya, kearifan lokal Orang Suku Laut - apakah itu berupa serapah atau jampi-jampi, berupa ramu-ramuan ampuh, atau adat istiadat kuno - ternyata masih disegani, atau tepatnya masih ditakuti, oleh kalangan luar.

Menurut Sari, tetua Orang Suku Laut di Tereh, "Perubahan jelas ada, tetapi kami masih tetap mempertahankan adat dan tradisi leluhur."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun