Ia menggeleng. Kelihatannya nenek itu begitu kecewa hingga ia terdiam lama. Kutemani ia duduk beberapa saat, sampai akhirnya aku berkata, "Apalagi yang bisa saya bantu, Bu? Jika Ibu perlu sesuatu, saya ada di sekitar sini."
Hingga kami kembali ke Rumah Sakit Apung dr. Lie A. Dharmawan yang bersandar di Pulau Benan senja itu, aku tak melihat wajah perempuan tua itu lagi. Tapi kekecewaan yang menggurati wajahnya masih terpateri di benakku.
Sebenarnya yang lebih mengiris hati adalah kesadaran bahwa di abad 21 ini - di tengah lalu-lintas perairan Kepulauan Riau yang ramai dilintasi berbagai kapal besar dan feri, di tengah kuatnya medan internet 4G yang menara-menara pancarnya tegak menjulang di berbagai pulau di sana - mengapa Orang Suku Laut masih saja buta huruf? Mengapa mereka masih tertinggal jauh, masih tergagap dilindas peradaban modern, dan masih tak bersuara? Silakan baca "Kelana Laut yang Gamang, Akankah Kalian Bertahan?".
Pada Lensi Fluzianti atau Bunda Densy, Ketua Yayasan Kajang, lembaga sosial yang berdiri pada tahun 2018 untuk mendampingi dan memperjuangkan hak-hak Orang Suku Laut, aku mananyakan satu hal yang selama ini membuatku penasaran, "Meski buta huruf, atau gagap aksara, mereka sudah mengenal ponsel ya?"
Bunda Densy tertawa. Dengan nada setengah miris setengah jenaka, ia menjelaskan, "Ya, kebanyakan dari mereka sudah pakai hand-phone. Tetapi lucunya, karena mereka tak bisa baca-tulis, list kontak mereka tak ada nama-namanya. Hebatnya mereka hapal nomer-nomer siapa saja teman mereka."
Kabupaten Lingga yang terdiri dari 603 pulau yang terpencar di sana-sini, memang menyebabkan jangkauan ke seluruh warga tak mudah, apalagi menjangkau ke sekitar 4.000-an Orang Suku Laut yang dikenal suka mengucilkan diri. Namun fakta yang disampaikan Yayasan Kajang bahwa Orang Suku Laut hampir tak tersentuh oleh program-program Pemerintah setelah relokasi perumahan di akhir 1990-an, membuatku tak habis pikir.
"Jangankan diikutkan pada program-program provinsi, bahkan di program-program desa pun mereka tertinggal," ujar Bunda Densy. "Meski sudah dirumahkan, apakah ada program air bersih yang memadai untuk mereka? Apakah mereka diajari ketrampilan untuk bertahan hidup? Bagaimana mereka bisa bertahan, sedangkan hal dasar seperti membaca pun mereka tak bisa?"
Aku tertegun. Siapa yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu?
"Kearifan lokal memang perlu dilestarikan, namun Pemerintah punya kewajiban juga untuk melindungi warganya," jelas Camat Katang Bidare, Safaruddin. "Agar bisa melindungi warganya, Pemerintah perlu mendata mereka. Karena itu, mereka dibuatkan rumah, KTP, dan disediakan pendidikan gratis."