Mohon tunggu...
Laksmi Wijayanti
Laksmi Wijayanti Mohon Tunggu... -

pengamat kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Rancangan Besar Kelembagaan Pengelolaan Lingkungan Hidup

23 Juni 2011   05:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:15 2161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik



Mengembangkan kelembagaan pemerintah di bidang pengelolaan lingkungan hidup yang visioner bergantung pada kemampuan membaca tantangan yang harus dihadapi dalam pembentukan dan implementasi kebijakan publik mengenai lingkungan hidup.

Kebijakan lingkungan hidup sarat dengan aspek politik karena kuatnya keragaman mazhab para pemangku kepentingan yang tata nilainya sering bertolak belakang.Tipologi keputusan yang dihasilkannya akan selalu diperangkap perdebatan etika, karena umumnya berkaitan dengan pilihan-pilihan : mana yang harus dikorbankan-mana yang harus diselamatkan, bagaimana mendistribusikan manfaat secara “adil”, atau bahkan memperjuangkan nasib kelompok yang tidak akan pernah terwakili dengan baik (misalnya spesies non manusia, atau bahkan generasi yang akan datang).Kancah “pertempuran”-nya selalu berada di wilayah ekonomi, karena kebijakan lingkungan hidup berhubungan langsung dengan tata kuasa, produksi, konsumsi, dan pelestarian sumber daya alam.Syarat dasar untuk membuat desain kelembagaan lingkungan hidup yang efektif adalah memahami pilihan-pilihan dan konsekuensi yang harus dihadapi dalam pembentukan dan pelaksanaan kebijakan publiknya.

Pilihan dan Implikasi Kebijakan Lingkungan Hidup Indonesia

Tipe kebijakan publik yang terkait dengan lingkungan hidup umumnya termasuk dalam kategori : a) kebijakan perlindungan, b) kebijakan distribusi, dan sedikit diantaranya masuk dalam c) kebijakan redistribusi.Kebijakan perlindungan ditujukan untuk melindungi masyarakat dengan mengatur tata laksana kegiatan; kebijakan distribusi ditujukan untuk mengembangkan upaya/kegiatan yang memberi manfaat kepada masyarakat; dan kebijakan redistribusi secara umum ditujukan untuk mengalokasikan manfaat secara adil kepada kelompok marjinal.Overlapping diantara ketiganya kadang-kadang saling memperkuat, namun lebih sering menimbulkan konflik.

Dalam prakteknya, semua pelaksanaan pengendalian dampak lingkungan adalah wujud kebijakan perlindungan dan kewenangannya terspesialisasi dalam institusi lingkungan hidup.Contoh dari wujud kebijakan ini adalah perlindungan terhadap kualitas air, udara, atau tanah yang dilaksanakan dalam bentuk pengaturan kegiatan-kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak dan menurunkan kualitasnya.

Implementasi kebijakan distribusi pada lingkungan hidup tersebar, karena biasanya diwujudkan dalam bentuk distribusi manfaat sumber daya alam (dilaksanakan oleh institusi sektoral), distribusi manfaat layanan alam (dilaksanakan oleh institusi lingkungan hidup dan institusi sektoral), serta distribusi manfaat sosial pembangunan berkelanjutan (dilaksanakan oleh hampir semua institusi pemerintah, termasuk institusi lingkungan hidup).

Kebijakan redistribusi dalam lingkungan hidup saat ini belum secara jelas dilaksanakan di Indonesia, namun diperkirakan akan menjadi primadona di masa depan, seperti redistribusi manfaat perdagangan karbon kepada masyarakat dalam hutan, dan redistribusi akses atas ruang dan sumberdaya alam kepada kelompok yang termarjinalkan.

Implikasi dari adanya perbedaan kategori kebijakan lingkungan hidup adalah adanya perbedaan mendasar dari aktor pelaksana dan pemangku kepentingan, tipe negosiasi politik yang akan terbentuk, serta jenis dan etika layanan publik yang diharapkan.Dalam kondisi tertentu, integrasi pelaksanaan antar jenis kebijakan bisa dilakukan dalam satu lembaga atas dasar efisiensi, namun dalam situasi dan tantangan yang berubah, keputusan ini bisa menjadi tidak efektif.

Jenis-jenis tantangan pelaksanaan kebijakan lingkungan hidup yang akan semakin kompleks dalam jangka waktu ke depan mencakup :

1) Tantangan ilmiah (scientific challenge) : perdebatan pengetahuan akan mendasari identifikasi dan pengenalan masalah; rasionalisasi hubungan antara masalah dengan dampak, resiko dan konsekuensinya; serta prediksi persoalan dan resiko dalam skala yang semakin mengglobal dan jangka waktu yang semakin panjang ke depan.Institusi berwenang akan semakin diharapkan menjadi institusi referensi yang akuntabilitas keilmiahannya diutamakan.

2) Tantangan hukum (legal challenge) : mengingat muara dari kebijakan publik adalah peraturan perundangan, kebijakan lingkungan hidup yang sebenarnya tersebar dalam beberapa jenis karakter kebijakan akan diwujudkan dalam lebih dari satu jenis peraturan perundangan. Institusi berwenang akan selalu dipaksa menjadi jembatan, apapun bentuknya, bagi implementasi banyak aturan yang sebenarnya saling terkait, saling tergantung, dan bahkan tumpang tindih.

3) Tantangan politis (political challenge) : penerapan asas-asas demokrasi akan mewarnai usaha penetapan agenda prioritas nasional yang adil; penyeimbangan antara penaatan dan pembinaan, serta pengaturan dan pendidikan;dan pelibatan masyarakat secara efektif dalam pengambilan keputusan yang semakin teknis dan kompleks. Institusi yang berwenang akan selalu menjadi tumpuan saluran keinginan masyarakat untuk berpartisipasi secara efektif.

4) Tantangan ekonomi (economic challenge) : perjuangan yang paling berat ke depan adalah mengadaptasikan tatanan dan kebutuhan ekonomi kontemporer terhadap keterbatasan lingkungan hidup skala lokal, nasional, dan global (bukan sebaliknya).

Kombinasi dari konsekuensi efektivitas pelaksanaan kebijakan lingkungan hidup dan munculnya tantangan yang semakin kompleks menyebabkan persyaratan kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup ke depan harus mencakup : 1) kearifan menyusun agenda kebijakan yang komprehensif dan adil; 2) konsisten menerapkan prinsip-prinsip demokrasi; 3) adaptif atau memiliki fleksibilitas memadai; 4) efisien; dan 5) memiliki kapasitas teknis-keilmiahan yang tinggi.

Pilar Pembentuk (Building Blocks) Kelembagaan Lingkungan Hidup

Amanat RPJP 2005 – 2025 untuk mewujudkan Indonesia yang asri dan lestari menetapkan fokus kegiatan pada pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan dan pengelolaan lingkungan hidup (dengan penekanan pada pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup).Atas dasar hal tersebut dan pertimbangan-pertimbangan yang telah dijelaskan sebelumnya, kelembagaan lingkungan hidup dapat dibangun dari hal-hal berikut :

Pilar pembentuk kelembagaan dari sudut fungsinya menggambarkan peran-peran dominan yang bisa menjadi pilihan titik berat lembaga yang dibutuhkan. Pilar tersebut mencakup : a) Fasilitator partisipasi, dialog dan kerjasama baik bagi masyarakat maupun antar institusi lainnya; b) Penyedia informasi dan pengetahuan; serta c) Pengatur, pengawas, dan evaluator yang sebenarnya dalam prakteknya kerap tidak disatukan dengan peran fasilitasi maupun sumber informasi, namun dalam hal ini peran tersebut sama-sama mendukung proses dan penegakan regulasi sehingga dikelompokkan bersama.

Pilar pembentuk kelembagaan dari sudut subyeknya menggambarkan bangunan politik lingkungan hidup saat ini dan masa depan (amanat RPJP).Subyek-subyek tersebut mencakup : a) Sumber daya alam (dalam konteks stock and flow) mencakup segala hal dari alam yang dibutuhkan, dimanfaatkan dan dikembangkan teknologi pemanfaatannya oleh manusia; b) media ambien (air, tanah, udara, laut) yaitu pilar penjaga kualitas lingkungan untuk kesehatan dan keselamatan manusia; dan c) kegiatan dalam rantai produksi, konsumsi, dan kehidupan manusia.

Tipologi respon terhadap isu lingkungan hidup juga dapat membentuk pilar pembentuk kelembagaan.Tipologi respon institusi mencakup : a) Pengelolaan dampak lingkungan yang terfokus pada pengaturan mitigasi dampak, baik dari sumber maupun efek dampak; b)Perlindungan ekosistem atau jasa ekologi yang terfokus pada usaha proteksi dan pemulihan target atau reseptor dampak/kerusakan serta c)Pengarusutamaan prinsip lingkungan hidup bermuara pada kewenangan intervensipada kebijakan mainstream maupun pasar.

Pembentukan Desain Dasar Kelembagaan Lingkungan Hidup Indonesia

Pilihan alternatif desain kelembagaan lingkungan hidup di tingkat pusat amat bergantung pada kombinasi berbagai pertimbangan yang telah diuraikan diatas.Hubungan yang terjadi dan akan amat berpengaruh dapat dijelaskan sebagai berikut :

Portofolio; paling banyak ditentukan oleh hubungan subyek dengan respon terhadap isu.Dalam praktek di berbagai belahan dunia, penetapan portofolio menteri di bidang lingkungan hidup diperoleh dari irisan subyek yang dipisahkan tersendiri (misalnya subyek sumber daya alam dapat dipisahkan menjadi a.l sektor kehutanan, pertambangan, atau perikanan), irisan respon terhadap isu yang dipisahkan tersendiri (misalnya dipilah menjadi pengelolaan dampak, konservasi, atau standarisasi lingkungan), atau kombinasi keduanya (misalnya konservasi kehutanan dipisahkan dari sektor kehutanan).

Misi lembaga; paling banyak ditentukan oleh hubungan fungsi dengan respon terhadap isu.Beberapa contoh lembaga lingkungan yang ada memisahkan misi pendidikan dan penelitiandengan misi regulator atau penegakan hukum.Respon terhadap isu juga dapat membuat misi menjadi lebih spesifik lagi, yaitu misalnya penegakan hukum di bidang pengendalian dampak lingkungan.

Koherensi pekerjaan; berkaitan erat dengan peraturan perundangan utama yang menjadi acuan lembaga tersebut.Kecenderungan praktek saat ini adalah menjadikan satu lembaga atau satu menteri yang bekerja dengan mengacu pada sesedikit mungkin undang-undang utama.Lembaga lingkungan hidup di berbagai negara selama ini selalu terancam fragmentasi (yang diikuti oleh “pendangkalan”) pekerjaan karena tipologi lingkupnya yang lintas sektoral dan cenderung dipayungi banyak undang-undang sekaligus.

Tingkat kekhususan, atau spesialisasi; berkaitan erat dengan faktor-faktor internal organisasi lembaga, misalnya ketersediaan sumber daya manusia, sistem manajemen, dan infrastruktur.Beberapa negara tertentu memilih menginvestasikan pengembangan sumberdaya manusia dan infrastruktur yang ada bagi satu lembaga untuk semata-mata mendukung proses penegakan hukum,dan membentuk lembaga lain yang khusus melaksanakan pendidikan dan penelitian.Muara dari spesialisasi ini adalah bentuk lembaga.

Spesialisasi mempengaruhi pilihan bentuk kelembagaan ketika faktor internal dan rencana investasi pengembangan SDM dan infrastruktur lembaga memiliki bobot besar.Semakin solid atau terspesialisasinya lembaga, rencana pengembangan SDM makin terspesialisasi, jenis infrastruktur yang harus diadakan makin fokus, dan administrasi pekerjaan makin terintegrasi.Kondisi sebaliknya akan semakin ekstrim, sejalan dengan makin terfragmentasinya lembaga.

Opsi Desain Berdasarkan Amanat RPJP dan Kebutuhan KajianLanjutan

Memperjelas apa yang disebutkan sebelumnya, amanat RPJP untuk mewujudkan Indonesia yang asri dan lestari mencakup upaya-upaya : mendayagunakan dan mengelola SDA terbarukan maupun tak terbarukan; menjaga dan melestarikan SDA air dan energi; mengembangkan potensi kelautan; menjaga, mengelola, dan meningkatkan nilai tambah SDA khas dan kehati; mitigasi bencana; mengendalikan pencemaran dan kerusakan lingkungan; serta meningkatkan kapasitas pengelolaan SDA dan LH.Secara umum upaya-upaya tersebut dapat dikelompokkan dalam dua subyek besar, yaitu pengelolaan sumberdaya alam dan pengelolaan lingkungan hidup dengan penekanan pada pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan.Hal ini mengimplikasikan diharuskannya kelembagaan di bidang lingkungan hidup untuk menangani sumberdaya alam dan pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan.

Kemungkinan-kemungkinan pembentuk lembaga lingkungan hidup di tingkat pusat diantaranya adalah :

Opsi Tak Berubah (Business as Usual): Opsi ini diwujudkan dalam bentuk pengelolaan sumberdaya alam diserahkan kepada sektor, pengendalian dampak lingkungan didesentralisasikan penuh kepada daerah, Kementerian Negara Lingkungan Hidup lebih banyak difungsikan sebagai lembaga penelitian, pengembangan, pendidikan masyarakat, dan penyusun standar bagi pemenuhan norma keselamatan masyarakat dan kelestarian lingkungan hidup.

Opsi Berbasis Portofolio dan Misi : Opsi ini dapat diwujudkan dalam bentuk-bentuk : a) Pemisahan Portofolio Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup seperti memisahkan lembaga konservasi SDA, perlindungan kualitas lingkungan, dan penanganan penataan ruang; b) Pemisahan Portofolio berdasarkan Jenis SDA seperti memisahkan lembaga yang menangani konservasi SDA terbarukan dengan yang tak terbarukan; c) Pemisahan Menurut Jenis Misi seperti memisahkan lembaga litbang, penaatan hukum, dan koordinator pembangunan.

Konsekuensi dari setiap opsi diatas terkait dengan faktor penentu spesialisasinya, yaitu: penggabungan portofolio harus diawali dengan desain pengintegrasian/penyederhanaan perangkat peraturan perundangan acuannya maupun penajaman visi kebijakan publiknya, dan penggabungan misi harus didasari minimalisasi konflik kepentingan dan kejelasan mapping konsumen/konstituennya.

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun