Mohon tunggu...
Laksmi Wijayanti
Laksmi Wijayanti Mohon Tunggu... -

pengamat kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ketika Menerima Sebenarnya Adalah Memberi

9 September 2014   23:12 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:10 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Beberapa tahun lalu saya menjadi moderator seminar untuk dua panelis yang perbedaannya bak bumi dan langit.

Panelis pertama adalah seorang profesor legendaris yang terkenal ramah dan bahkan di usia begitu senja masih datang mengendarai mobil sendiri tanpa supir.  Panelis kedua adalah perwakilan sebuah instansi yang rupanya disposisinya turun terlalu banyak, karena yang hadir adalah seorang anak muda yang mengajak seorang asisten khusus hanya untuk menyiapkan bahan presentasi sekaligus menjadi asrot-nya.

Tentu saja pemandangan ini mengundang cibiran, dan disuarakan oleh sang profesor saat sesinya dimulai.  Katanya : "Yah, memang jaman berubah, tapi untung saya cukup kuat untuk hadir tanpa perlu bantuan siapapun.."   Hadirin tertawa semua, apalagi melihat si panelis muda nampak tersipu-sipu.

Ketika tiba giliran si panelis muda, terjadi hambatan kecil karena file yang ditampilkan di layar proyektor salah.  Sang asrot kemudian dengan tergopoh-gopoh mengutak-utik laptop panitia mencoba mengatasi permasalahan.  Lima menit berlalu dan saya mulai canggung dan gelisah melihat "kekacauan" kecil di meja panitia dan juga heran melihat si panelis muda hanya duduk tenang tanpa berusaha membantu.

Tiba-tiba dia berkata dengan nada lembut lewat mikrofonnya kepada sang asrot : "Pak, mohon maaf, yang ditekan tombol A ya pak. Lalu tekan lagi tombol B.  Nanti kalau sudah keluar gambarnya, coba cari tulisan X dan diklik ya pak."  Saat itu saya terkesima melihat wajah si asrot yang mendadak berubah cerah dan dengan patuh dan khidmat mengikuti petunjuk si panelis.  Sang panelis muda melanjutkan mendiktekan instruksinya dengan lembut dan sabar sampai akhirnya file yang dimaksud berhasil tampil sempurna.

Di sepanjang adegan menakjubkan tersebut saya baru menyadari bahwa sang asrot rupanya memang agak "kurang".  Dia adalah seorang pria yang rupanya usianya sudah menjelang pensiun, dan dari raut ekspresinya terlihat bahwa perjalanan karirnya yang panjang di instansi tersebut mungkin lebih banyak tidak bersinggungan langsung dengan tugas-tugas dibalik meja dan bersifat administratif.  Ada rasa haru ketika wajah sederhana itu nampak begitu gembira dan antusias ketika sesi si panelis muda dimulai dengan dirinya duduk di meja panitia mengoperasikan laptop untuk presentasinya.  Terlebih ketika sang panelis muda kemudian memulai presentasinya dengan :"Terima kasih ya pak, Alhamdulillah, kita sekarang bisa mulai yaaa. Silakan dioperasikan ya pak."  Sang asrot dengan gembira kemudian menjalankan tugasnya sebagai asrot.

Sungguh terharu sekaligus malu saya di dalam hati.  Bila saja "kekacauan" kecil ini tidak terjadi, mungkin saya akan meremehkan si anak muda yang hanya untuk presentasi saja harus membawa asisten bak raja, sementara si profesor gaek yang patut diperlakukan seperti raja justru dengan bangga melakukannya sendiri. Tidak dapat dipungkiri bahwa keputusan si panelis muda membawa asrot yang satu ini bukan didasari "feodalisme" kemanjaan seorang pejabat yang butuh ajudan, tetapi kemurahan hati memberikan kesempatan pada seorang staf yang mungkin tidak pernah merasakan tampil di seminar atau merasa tidak berguna karena kehadirannya mungkin tidak dibutuhkan.

Saya kemudian ingat beberapa staf di kantor yang memulai karirnya sebagai PNS dari golongan I : golongan yang repertoir tugasnya biasanya hanya berhenti sebagai supir, tukang fotokopi, pengantar surat, satpam, atau malah cleaning service.  Perjalanan karir dan kesetiaannya kemudian membuahkan kesempatan promosi menjadi staf administrasi yang kemudian justru menjadi dilema karena dirinya dihadapkan pada penderitaan panjang ketidakmampuan berkarya dan beradaptasi akibat rendahnya pendidikan.  Staf-staf seperti ini biasanya kemudian tidak dipedulikan atasan dan koleganya, dan bahkan kehadirannya mungkin malah dianggap sebagai beban.  Justru di penghujung karirnya, ketika sudah dipromosikan, mereka menjadi orang-orang yang frustrasi dan merasa gagal dalam hidupnya.

Ketika seorang teman menyampaikan pentingnya untuk berinteraksi di kantor dengan "empati", sadarlah saya bahwa contoh yang satu ini justru paling jarang dilaksanakan.  Memberikan kesempatan setiap staf untuk membantu kelancaran tugas kita seberapapun yang dia mampu sebenarnya adalah sebuah bentuk ketulusan.  Bukankah rata-rata kita cenderung lebih suka tidak dibantu bila yang membantu adalah orang yang dianggap tidak punya kompetensi?  Sedekah dan zakat untuk setiap rizki yang kita peroleh tidak semata-mata hanya dalam bentuk moneter, tetapi juga keikhlasan abstrak seperti ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun