Mohon tunggu...
Laksito Hedi
Laksito Hedi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta di properti

hal terbesar bukanlah atas apa yang didapatkan, tetapi atas apa yang diberikan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ke Mana Masa Kecil Anak Indonesia?

27 Maret 2011   13:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:23 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kali ini saya akan mencoba membahas tentang fenomena kehidupan masa kecil anak-anak jaman sekarang. Saya tertarik dengan fenomena ini dikarenakan menemukan fakta bahwa, ternyata kehidupan masa kecil saya dan beberapa teman yang saya tanyakan dengan masa kecil anak-anak sekarang agak jauh berbeda. Dulu ketika saya menginjak masa usia Sekolah Dasar, banyak hal yang saya rasakan. Saya disekolahkan di sebuah SD negeri yang cukup berkualitas, tapi masih merakyat. Artinya anak-anak yang bersekolah disini terdiri dari berbagai macam strata sosial. Saya mempunyai teman (maaf bukan berarti merendahkan) dari yang anak seorang tukang becak, tukang warung gulai, sampai pengusaha dengan 5 mobil di garasinya. Yang saya obrolkan dengan teman-teman saya adalah permainan-permainan sosial (seperti benteng, sepakbola). Pulang sekolah, kami jalan kaki, naik bus seharga 100 rupiah, atau naik sepeda, sambil singgah sebentar di rumah teman sekedar istirahat atau kembali bermain. Pada sore harinya, saya keluar rumah, menenteng bola dan menghampiri rumah tetangga-tetangga saya mengajak bermain bola bersama, sekedar di jalan gang. Atau kalau pun tidak bermain bola, bermain yang lainnya, dari main tanah liat, petak umpet sampai yang agak feminin lompat tali (bersama anak perempuan juga tentunya.haha). Saya beruntung dibesarkan di lingkungan kampung, bukan perumahan yang notabene diisi oleh orang-orang dengan kelas yang sama. Di kampung saya (di Semarang), dari yang rumahnya 3 digabung jadi satu sampai yang lantainya masih tanah semua ada. Dan saya berinteraksi dengan anak-anak mereka semua, tanpa kecuali. Disini secara tidak langsung saya diajarkan tentang empati, yang (sayangnya) saya rasakan mulai hilang dari otak bawah sadar anak-anak jaman sekarang. Dan ketika waktu magrib hampir tiba, kami meninggalkan permainan kami dan buru-buru mandi. Apa sebabnya? kami mau cepat-cepat pergi ke masjid, saling berebut mic untuk sekedar jadi muadzin atau menyanyikan pujian-pujian terhadap Allah dan Rasul-Nya (saya lupa gimana nyanyinya, sholawat-sholawat gitu lah). Lalu selesainya sholat pulang bersama-sama sambil terkadang menyapa bapak-bapak atau ibu-ibu yang juga sholat maghrib di masjid. Perubahan pola hidup anak kecil jaman sekarang Pada jaman yang sudah berubah pesat ini, dimana era teknologi berkembang dengan cepatnya, sedemikian cepat juga pola hidup anak-anak sekarang berubah. Sekarang orang tua-orang tua berlomba-lomba menyekolahkan anak nya pada sekolah-sekolah unggulan, dengan harapan dapat meningkatkan kualitas pendidikan anaknya. Tentu saja dari dulu hal ini juga terjadi. Perbedaanya adalah, jaman sekarang untuk mendapat sekolah berkualitas maka kualitas ‘keuangannya’ pun harus mumpuni. Artinya apa? artinya yang mampu membayar besar lah yang akan mendapat kualitasnya. Ini menimbulkan konsekuensi, yang dapat bersekolah di tempat itu adalah orang-orang dengan golongan tertentu saja. Hal ini beimbas pada pola interaksi anaknya. Lingkungan sosial mereka terbatas. Yang kalangan miskin hanya bergaul dengan yang miskin di sekolah-sekolah pinggiran, dan yang golongan berada berinteraksi dengan sesamanya di sekolah mewah dan berfasilitas. Apalagi apabila lingkungan tempat tinggalnya juga homogen (biasanya terjadi pada yang hidup di lingkungan perumahan besar) dimana mereka tidak dibiasakan untuk berinteraksi dengan berbagai macam kasta sosial, karena tetangga-tetangganya pun setara dengan dia. Interaksi yang terbatas menyebabkan cakrawala pikiran anak-anak menjadi sempit, dan menganggap bahwa lingkungan pergaulannya hanya yang berkutat di sekelilingnya saja, dan menjadikan mereka sebagai anak yang kaku dan cenderung tidak bisa menerima perbedaan. Apalagi dengan cara mendidik anak yang sekarang sedang populer di mata orang tua, sekolah dari pagi sampai sore, lalu dilanjutkan les ini dan itu sampai magrib. Malamnya langsung dikurung untuk belajar. Begitu selalu siklus hidup anaknya. Lalu bagaimana dengan waktu bermain mereka? interaksi sosial mereka? bagaimana dengan alokasi waktu yang seharusnya seorang anak belajar memahami karakter orang, fenomena budaya masyakarat, dan belajar untuk mempunyai empati (seperti yang saya tulis di atas) ? Hal ini akan menjadi lebih buruk lagi bila seorang anak telah mendapat segalanya di kamar mereka. Playstation/Wii atau console game lainnya. televisi dengan saluran indovision, dan internet 24 jam. Mereka akan menjadi anti sosial sejati, dan bisa saja menjadi anak yang pertumbuhannya tidak sehat. Apalagi dengan banyaknya media pornografi di internet, tayangan televisi yang makin tidak mendidik serta game-game yang seharusnya ratingnya untuk orang dewasa. Dan semua hal yang saya paparkan di atas sudah mulai terjadi, terutama di kota besar seperti Jakarta. Ketika saya tinggal di Bintaro- Tangerang misalnya, saya menyempatkan beberapa kali untuk sholat maghrib di masjid, dan saya jarang sekali melihat ada anak-anak kecil disana. Yang ada hanya bapak-bapak sepuh. Bahkan ketika saya berkeliling kompleks, di sore hari saja taman-taman bermainnya jarang sekali diisi oleh anak-anak yang sedang bermain. Malah banyak diisi oleh babysitter-babysitter yang sedang menjaga bayinya sambil bergosip. Pola bermain anak telah bergeser dari jalanan dan taman menjadi mall ataupun warnet-warnet games, tempat-tempat dimana menurut saya tidak terlalu baik untuk perkembangan karakter seorang anak. Saya juga pernah mendengar percakapan anak-anak yang sedang menunggu jemputan pulang di sekolah berawalan Al ( haha…). Yang mereka obrolkan adalah tentang merk Handphone apa yang mereka punya dengan tipenya, mau main di mall mana, atau ada film apa di bioskop saat ini. Yang anak perempuan berebutan melihat semacam majalah Go Girls (saya tidak tahu apa namanya) dan ribut bergosip. Haha…dan ini saya dengan sendiri lho…dari mulut anak-anak SD pula. Entah ini hal yang lumrah atau saya yang tidak bisa menerimanya. Dengan era internet seperti sekarang ini makin membuat anak-anak sekarang kehilangan momen bersosialisasi mereka. Apalagi dengan banyaknya situs jejaring sosial, apabila tanpa bimbingan orang tua pemakaian situs jejaring tersebut akan menjadi candu buat mereka. Di akhir tulisan ini saya hanya mengharapkan kepada semua yang punya hubungan dengan anak-anak –baik itu anaknya sendiri, keponakan, adik atau siapapun– untuk dapat memberi ruang bagi anak-anak tersebut untuk mengembangkan karakter mereka melalui banyaknya interaksi sosial yang real, karena lingkungan adalah wahana belajar paling mengena untuk seorang anak, dan masa pembentukan karakter yang paling mudah dan bertahan lama adalah pada saat usia anak-anak

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun