Mohon tunggu...
Lakon Hidup
Lakon Hidup Mohon Tunggu... -

Menulis itu bagiku serupa sarapan pagi, dan identik dengan helaan nafas kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pengakuan Seorang Perempuan Penyandang ODHA

12 November 2017   21:02 Diperbarui: 12 November 2017   21:29 968
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: KRjogja

Sungguh. Aku tak tahu, dan tak mengerti sama sekali. Dokter yang memeriksa kandunganku bertanya tentang mendiang suamiku yang meninggal dunia saat kehamilanku menginjak usia empat bulan lalu. Bagaimana pun di saat menunggu kelahiran anak pertamaku ini, pertanyaan dokter itu malah justru semakin menambah penderitaan yang kurasakan saat itu.

Betapa tidak. Sejak seminggu lalu,  otot-otot di sekitar perut, pinggang, dan punggung seringkali terasa mengencang, dan menimbulkan nyeri. Terlebih lagi saat memasuki hari kelima terasa kian menjadi-jadi. Betapa rasa sakit tak terperi yang selama hidupku baru kurasa saat ini. Dukun beranak di kampungku, malah menganjurkan pada ibuku agar aku diperiksa ke bidan desa saja. Akan tetapi bidan pun geleng-geleng kepala, dan mengajak kami, aku dan ibuku, untuk pergi ke rumah sakit di kota. Entah mengapa. Bidan hanya mengatakan, dirinya merasa tidak sanggup menanganinya. Persalinanku harus mendapat pertolongan dokter dengan segera. Itu saja.

"Suaminya ikut ke sini?" Begitu pertanyaan dokter sambil memeriksa kandunganku. Sebenarnya pertanyaan itu tidak ditujukan padaku, melainkan pada bidan yang ikut mendampingiku.

Namun pertanyaan itu malah membuat lidahku terasa kelu. Sambil menahan rasa sakit yang kian menjadi-jadi, pikiranku melayang-layang tak menentu. Aku membayangkan bayi yang akan keluar dari rahimku akan hidup tanpa kasih sayang ayahnya. Dan aku harus menghidupinya seorang diri. Aku terisak, airmata membasahi di pipi. O, malangnya nasibku ini.

Aku tak tahu berapa lama tak sadarkan diri. Namun saat siuman, rasa nyeri yang kualami sudah tak terasa lagi. Demikian juga perutku sudah terasa tanpa ada yang membebani seperti selama ini. Artinya aku sudah melahirkan. Tapi dimana bayiku?

"De, sudah sadar?" suara ibuku yang duduk di samping tempat tidurku menyadarkanku. "Anakmu sudah lahir, perempuan, dan sekarang dirawat di tempat khusus," sambungnya.

Aku manghela nafas. Mataku kembali terpejam, bersyukur pada Allah SWT dalam hati. Aku dan bayiku selamat. Hanya saja diam-diam melintas kembali pertanyaan, bagaimana nasib kami -- aku dan anakku,  nanti selanjutnya tanpa ada suami dan ayah yang menyertai...

Setelah satu minggu dirawat di RSUD, aku dan bayiku diperbolehkan pulang. Hanya saja saat beres-beres di sal tempat kami dirawat, aku bersama ibu dan bayiku diminta datang ke ruangan dokter yang selama ini merawat kami.

Di ruangan dokter, selain dokternya itu sendiri, tampak beberapa perawat dan dua orang dokter lainnya. Ternyata pada saat itu dokter mengatakan, bahwa aku dan bayiku telah positif tertular HIV. Ada pun yang menularinya tak lain adalah mendiang suamiku. Menurut dokter, pihaknya telah mendengar cerita ibuku secara panjang-lebar tentang kematian suamiku, ditambah pula ada catatan medis karena beberapa hari sebelum meninggal, suamiku sempat dirawat di rumah sakit itu juga.

Sungguh. Aku tak menyangka nasib aku dan bayiku akan seburuk ini. Diam-diam muncul penyesalan dalam dadaku, mengapa lima tahun lalu aku mau menerima pinangan lelaki itu untuk dijadikan istrinya kalau pada akhirnya aku akan menderita seperti ini.

Memang pada mulanya karena keadaan diriku sendiri yang sejak kecil ditinggal mati oleh ayahku. Aku yang baru duduk di bangku sekolah dasar kelas empat, harus hidup bertiga dengan ibu dan adikku. Tanpa seorang ayah, kehidupan kami sekeluarga sehari-hari bisa disebut pas-pasan saja. Karena hanya mengandalkan beberapa petak tanah sawah peninggalan ayah yang dikelola ibuku. Sewaktu-waktu ada juga bantuan dari kakakku yang sudah berumah tangga. Tapi itu pun tak mencukupi. Karena kakak sudah memiliki tanggungan keluarganya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun