Mohon tunggu...
Lakon Hidup
Lakon Hidup Mohon Tunggu... -

Menulis itu bagiku serupa sarapan pagi, dan identik dengan helaan nafas kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Lalu Siapa yang Musti Kita Pilih Nanti?

22 Februari 2014   10:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:35 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Harapan dan rencana seringkali tidak sesuai dengan kenyataan. Bila sudah demikian, kekecewaanlah yang ahirnya meradang. Paling tidak kita hanya mampu mengelus dada. Lalu berapa kali sudah kita alami hal semacam itu di dalam hidup kita ? Jawabnya akan berbeda bagi masing-masing kepala, tentu saja. Yang jelas tergantung berapa lama kita hidup di dunia, dan sering-tidaknya kita merancang rencana.

Sebagaimana yang dialami dan dirasakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Dulu saat para Founding Father negeri ini merencanakansebuah gerakan untuk menuju negara Indonesia yang bebas merdeka dari belenggu kolonial, pun budaya feodal. Mereka berharap negeri ini menjadi sebuah negara yang adil, makmur, aman, dan sentausa. Akan tetapi di dalam kenyataannya, setelah Indonesia bebas merdeka dari penjajahan, dan usia kemerdekaan itu sendiri sudah 68 tahun lamanya, harapan atawa cita-cita itu belumlah tercapai seutuhnya. Malahan dewasa ini banyak yang memprediksi (entah karena merasa sudah miris, apatis sehingga bersikap sinis, atau memang kenyataannya demikian) negara yang bernama Indonesia ini akan hancur-ambruk disebabkan para pengelolanya lebih meperhatikan kepentingan dirinya sendiri ketimbang hajat hidup rakyat banyak.

Suka maupun tidak, hal itu terjadi – sebagaimana dikatakan para ahli yang meneliti, karena bangsa kita dianggap belum siap menjadi bangsa yang hidup merdeka di dalam kerangka berbangsa dan bernegara yang demokratis, sebagaimana menjadi salah satu pilihan pendiri negeri ini. Buktinya sudah berapa kali berganti pemimpin – yang acapkali dibarengi dengan gerakan yang bernama revolusi lah, reformasi lah, tokh ujung-ujungnya: Jaman Orde Baru yang banyak menangguk untung sudah pasti rezim yang berkuasa bersama para pendukungnya. Lalu jamannya reformasi sampai sekarang ini, idem dito alias sami mawon. Malah saat ini ditambah pula dengan semakinlenyapnya budaya tata-krama dan etika. Para elit selain mementingkan dirinya sendiri, maupun golongan masing-masing, cara-cara yang digunakannya pun seperti manusia purba di jaman pra-peradaban saja.

Ya, berapa kali kita memilih pemimpin dan wakil kita dalam mengelola negara ini ? Sebagai rakyat - yang kata almarhum Gus Dur sebagai suara Tuhan, kita menyandarkan harapan untuk menuju negeri yang adil dan makmur (Ditambah lagi dengan peribahasa kuno: Gemah ripah loh jinawi) kepada pilihan kita yang sebelumnya sudah berbusa-busa menebar rayuan (gombal), dan gemerlap pencitraan, pada ahirnya tokh suka atawa tidak harus menelan kekecewaan. Karena semua rayuan mereka (pemimpin dan wakil kita) sama sekali tidak sesuai dengan kenyataannya tatkala mereka sudah berkuasa.

Lucunya justru mereka, para pemimpin dan wakil rakyat (kalau memang masih disebut demikian) baik mereka yang mengatasnamakan nasionalis, yang berbasis partai politik dengan diembel-embeli agama, kalau tidak dikatakan sebagai orang yang munafik, maka disebut sebagai orang yang murtad pun mungkin saja tidak mengapa. Mengapa tidak, sudah mencatut firman Tuhan di dalam merayu konsituennya, eh, malah setelah mereka yang memakan duit haram hasil korupsi, mereka berkilah: perbuatan itu masih ditolerir Tuhan, karena Tuhan Mahapengampun. Sedangkan di dalam dasar negara (yang saat ini ketika diperingati sudah begitu sepi tanpa hingar-bingar lagi, karena mungkin sudah terkubur oleh egoistis masing-masing), Panca Sila, tokh Ketuhanan yang Mahaesa merupakan sila yang pertama.

Sehingga bila demikian terus kenyataannya, mimpi kita dalam hidup berbangsa dan bernegara di Indonesia ini, akan terus jadi mimpi indah berkepanjangan selama kita sendiri terus menerus tidur, dan hidup di alam mimpi sepanjang masa, tanpa rasa percaya diri seutuhnya yang kita miliki. Sementara mereka (yang dianggap elit) tetap leluasa... mengumbar nafsu syahwatnya.

Lalu kepada siapa lagi kita berharap, dalam menentukan pemimpin dan wakil kitadalam pesta demokrasi mendatang ?

Ya, terserah Anda sekalian saja, ah.

Salam. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun