Jalan pekuburan yang biasanya berdebu itu kini telah berubah menjadi licin. Mulus. Walau tak semulus pipi para selebritis. Tapi sudah lumayan untuk tidak membuat batuk batuk penggunanya. 5 tahun lalu saat ku tinggalkan desa ini. Huh....betapa debunya jalan ini. Apalagi kalau ada truk pasir atau batu yang lewat. Jalan yang membelah pusat desaku.
Tak perlu sampai ke ujung jalan aku sudah bisa menemukan rumah yang aku cari. Hanya melewati satu perempatan saja. Sewaktu kecil sering kali ku dengar bisik bisik tetanggaku. Pemilik rumah yang di pojok perempatan itu memiliki piaraan yang aneh. Seorang wanita , istri dari si pemilik rumah sering kali keluar di sore hari dengan jalan membungkuk bungkuk . Seperti tengah menggendong sesuatu di belakangnya. Dan selalu berhenti di setiap rumah gedung yang di lewatinya. Sudah umum kalau di kampung yang namanya rumah gedung itu identik dengan kaya. Dan keesokan harinya di pemilik rumah bisa berteriak teriak karena kehilangan uang belanjanya. Sementara wanita penghuni rumah di pojok perempatan semakin hari tubuhnya semakin ringkih. Kurus. Kata sebagian burung , karena dia selalu menyusui gendonganya. Dan seiring itu , ekonomi keluarga juga meningkat. Terlihat suka sekali merenovasi rumahnya. Ku lirik rumah di pojokan yang aku lewati. Ah.... sudah berubah menjadi rumah model terbaru lagi. Mungkin piaraanya rajin bekerja.
Melewati perempatan . Ku gayuh sepeda pancalku lurus kemudian membelok ke arah kiri. Hanya berselang 4 rumah . Sudah ku temukan rumah yang aku tuju. Seorang wanita paruh baya mendekatiku. Saat melihatku memasuki halaman rumahnya.
'' Kapan datang nduk. kok gak kasih kabar ''
'' Baru kemarin lek. Gimana, sehatkan ''
'' Yoh...masih beginilah keadaan lek mu ini nduk. Beberapa hari lalu Emakmu juga ke sini. Katanya mau pesen pisang goreng buat nyasinan. ''
'' Terus Emak ninggalin duit gak. ''
'' Itu tidak usah kuatir nduk. Makmu tidak akan lupa membayarnya. Sudah sana temui Ina. Sejak pulang dari Malaysia dia lebih suka otak atik komputernya. Katanya mau buka usaha...''
Aku tak menunggu suara lek Tina sampai berhenti. Kakiku melangkah ke arah kamar kakak sepupuku. Lek Tina adalah adik Emak ku yang paling di sayang. Adik bungsu. Satu satunya sodara Emak yang perempuan. Sementara ke sepuluh sodara lainya adalah laki laki. Aku sama sekali tidak habis pikir kenapa nenek kakekku dulu suka sekali dengan yang namanya anak. Sampai 12 biji. Emakku dan lek Tina adalah dua yang beruntung bisa sampai lulus SD. Melewati ruang tengah. Sejenak sudut mataku melirik poto di dinding yang mulai kusam. Photo keluarga lek Tina. Anak pertamanya sudah di wisuda sampai S1. Dan setelah wisuda, huh.....sombongnya bukan alang kepalang. Seakan dia sendirilah yang paling pinter dalam keluarga ini. Anaknya dah 3. Sayang sekali hubunganya dengan ke dua orang tua dan adik adiknya gak ada akur akurnya sama sekali. Walau demikian dia merupakan kebanggan tersendiri bagi keluarga besar lek Tina. Dan Ina sepupuku yang paling baik adalah anak ke 5 dari 8 bersaudara. Dari kecil kita tumbuh bersama sampai sekarang.
Duuuoorrrr......
'' Ngapain kamu Na. Eh...siapa tuh gambar yang berambut putih '' Mataku menatap tajam ke arah webcam yang tidak bergerak di layar komputernya Ina.