Pernah denger lagu Semalam di Malaysia? kalau tahun 90-an sudah remaja pasilah pernah dengar lagu ini. Karena lagu inilah yang mengilhami saya buat nulis dengan judul "Seminggu di Malaysia" he3 ^_^. Ngapai seminggu di Malaysia? Hem ternyata seminggu dimalaysia saya nemu beberapa hal yang sayang jika tak saya tuliskan di K ini. Perjalanan saya ke Malaysia bukan karena mau jalan-jalan tapi karena ada urusan pekerjaan suami jadilah saya memutuskan ikut dengan suami sekalian nemenin dan ujung-ujungnya jadi bisa bulan madu ^_^
Pertama kali menginjakkan kaki ke tanah Malaka beberapa orang yang lihat saya seperti udah tahu kalau saya tuh orang Indonesia. Mungkin dilihat dari hijab dan juga wajah saya yang serupa tapi tak sama dengan mereka. Beberapa dari mereka pasang wajah tidak bersahabat. Karena pas saya datang waktu itu Malaysia sedang dilanda kabut asap yang katanya tuh kabut kiriman dari Indonesia.
Sebenernya saya gak ambil pusing dengan pemberitaan tersebut karena siapa suruh kabut asap kabur ke Malaysia. Saya cuma prihatin moga kejadian serupa gak terulang kembali baik di Indonesia dan Malaysia. Sebagai orang Indonesia saya cuek aja lah bukan salah saya, lagian sapa suruh asap sampai terbang ke sana. Kalau asapnya punya saya boleh lah tuh saya di cembetutin. -_- Saya sampai mikir duh kasihannya para TKI yang bekerja di Malaysia moga-moga mereka diperlakukan baik di negeri ini.
Sampai di hotel sambutan terhadap tamu juga biasa-biasa saja, tapi anehnya dengan suami saya kok yo beda banget apa karena ia keliahatan bukan orang Indonesia. Terserah mereka deh, yang penting saya tetap ramah pada mereka. Malam pertama setelah mencicipi makan di restoran India Arab, kami lebih banyak menghabiskan malam didalam kamar hotel sambil lihat suasana malam di Malaysia lewat jendela kamar hotel. Menarik memang menikmati suasana malam hanya berdua dengan suami, melihat lampu-lampu yang bercahaya disana sini ditambah lagi cuaca yang terang benderang. Emang suasana begini Adem ^_^ tapi pas inget di cembetutin orang Malaysia jadi pingin pulang -_-
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/01/18/untitledmalaysia4-569c9d3faf7a6129058a1aea.png?v=400&t=o?t=o&v=770)
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/01/18/untitledmalaysia2-569c8c70b19273310c141cc4.png?v=400&t=o?t=o&v=770)
Denger pak supirnya dari Indonesia senang banget dong secara ketemu sebangsa dan setanah air di negeri orang seperti nemu air dipadang pasir "Indonesianya mana pak?" tanya saya antusias. Setelah dijelaskan panjang lebar kalau tuh si bapak aslinya dari Dumai (Riau) tapi sudah jadi WN Malaysia sejak tahun 90 an. Kecewa deh saya hikss "Loh kalau gitu bukan orang Indonesia lagi dong pak? namanya tuh mantan orang Indonesia" ucap saya sambil kasih senyum.
Sopir tersebut ketawa dan coba terangkan kenapa sampai ia jadi WN Malaysia. Dari cerita-ceritanya tuh si bapak bangga banget karena sudah jadi WN Malaysia. Dengan ia jadi WN Malaysia ia sudah sanggup kuliahin anaknya yang 3 menjadi sarjana walaupun pekerjaanya sebagai supir taksi. Coba kalau ia tetap jadi WNI mungkin pekerjaanya yang cuma supir taksi pastilah gak sanggup kuliahin anaknya.
Saya dan suami cuma dengerin ucapanya, gak ikut menimpali padahal mulut ini gatal pingin bilang "Wee pak, bapak saya aja cuma buruh biasa tapi bisa juga tuh kuliahin 7 anaknya, itu di Indonesia lo kejadianya" cuma saya gak mau bilang. Sayakan lagi di negeri orang tar si bapak bisa esmosi jadi berabe, kalau sampai ribut di negeri orang. Masalah deh itu namanya.
Padahal mah kalau dipikir-pikir pekerjaan apapun kalau emang punya niat dan tekat yang bulat mau mensarjanakan anaknya sih bisa aja, mau ia supir taksi kek mau ia tukang mie ayam kek. Dimana ada niat disitu pasti ada jalan. Buktinya orangtua saya sendiri.
Supir taksi masih oceh-oceh menceritakan kehebatan negara tempat ia mencari segenggam berlian, saya dan suami cuma manggut manggut menderangkannya. Setelah dekat hotel saya bilang deh sama si bapak supir taksi " Pak, sudah jadi WN Malaysia, bisa hidup enak disini karena katanya pemerintahnya jamin kesejahteraanya, tapi kok tetap ngaku kalau bapak tuh orang Indonesia ya?" tanya saya
"Saya masih belum bisa menanggalkan identitas asli saya bu, kalau saya tuh sebenernya orang Indonesia." jawabnya
"Wee kalau gitu bapak masih bangga dong terlahir jadi orang Indonesia hehe?" ucap saya. Supir taksi gak sempet jawab, karena keburu kami turun. Saya jadi mikir nih, hanya karena si bapak pingin hidup sejahtera ia rela menanggalkan WNI nya. Bagaimana dengan koruptor? yang emang dipikiranya pingin keluarganya sejahtera sampai 7 turunan, 7 pengkolan dan 7 tanjakan harta gak habis-habis. Pantaslah kalau gitu banyak orang rela cari harta dengan jalan apapun, bahkan dengan jalan korupsipun mau dilakukanya. Asalkan bisa hidup enak dan sejahtera, sampai gak mikir tuh uang siapa?
Hari ketiga di Malaysia, saya sudah kangen pingin makan makanan Indonesia. Karena sejak sampai di Malaysia selalu makan makana India Arab kalaupun ada menu makan cina yang emang banyak tersebar di dekat hotel. Kami coba putar-putar disekitar hotel ternyata gak ketemu. Nah pas jam 1 siang saya lihat banyak orang-orang yang pada cari makan.
Saya sempat tanya ke salah satu dari segerombolan orang yang sibuk cari warung makan. Mereka geleng-geleng pala gak tau dimana kami bisa nemu makanan Indonesia. Namun kami coba singgah disalah satu kedai buat minum disitulah saya tanya pada pemiliknya kok orang-orang kerja pada makan jam segini.
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/01/18/untitledmalaysia3-569c8e51b192730a0d141ca0.png?v=400&t=o?t=o&v=770)
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/01/18/untitledmalaysia-569c8bb7c623bd8207458772.png?v=400&t=o?t=o&v=770)
Ibu-ibu itu bisik-bisik membicarakan saya tuh TKW gaya-gayaan aja sok sok an bawa kamera lagi. Saya dan suami denger tapi kami tak peduli malah asik menikmati ayam goreng, sambal dan juga oseng cambah. EGP mau menilai apa tetang saya yang penting makan kenyang dan bayar. Ternyata gak dimana-gak dimana tuh ibu-ibu kenapa pada suka gosip ya.
Hari ke 4 kami coba lihat keadaan di dekat Hotel tempat kami menginap. Kami menemukan banyak hal yang lumayan menarik yang sayang jika dilewatkan. Di Malaysia dengan mudah kami masih bisa menemukan kotak pos dan juga telpon umum. Padahal di tanah air kotak pos cuma ada di kantor pos, dijalan-jalan umum mungkin sudah gak ada. Apalagi telpon umum, ternyata di Malaysia saya masih menemukannya dan sepertinya masih berfungsi dengan baik. Di Malaysia kami juga suka nemu tempat orang berdoa biasanya kalau pagi dan sore ada yang bakar dupa ditempat tersebut. ^_^ kami gak tau namanya apa, tapi biasanya letaknya dipinggir-pinggir jalan.
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/01/18/untitledmalaysia5-569c93b9a323bd5508a2e6ff.png?v=400&t=o?t=o&v=770)
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/01/18/untitledmalaysia6-569c96a2ef7e61400725c4b8.png?v=400&t=o?t=o&v=770)
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/01/18/untitledmalaysia7-569ca4001197732810f1aeca.png?v=400&t=o?t=o&v=770)
Nah ceritanya tuh waktu masuk kesebuah jalanan yang kecil saya melihat disalah satu sudut ada sebuah mesin kotak. Saya perhatikan kotak apaan tuh? Setelah ada orang yang membawa galon kecil dan memasukkan sejumlah uang koin kedalam mesin tersebut barulah saya tahu kalau tuh kotak adalah tempat orang beli air minum.
Wow menarik juga ya? Orang Malaysia punya mesin air minum, jelas di Indonesia emang belum ada. Tapi tuh orang yang lagi ngisi air kedalam galonnya sepertinya gak terima kalau kami perhatiin. Dengan pasang wajah gak suka suruh kami pergi -_- Wado takut ditiru apa ya?
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/01/19/syasya4-jpg-569d1aa9b19273d211141c99.jpg?v=300&t=o?t=o&v=770)
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/01/19/syasya6-jpg-569d1c2bb19273ce11141ca0.jpg?v=400&t=o?t=o&v=770)
Hari ketujuh saya gak sempet lihat-lihat lagi suasana kota Kuala Lumpur karena pagi hari pesawat yang akan mengantar kami ketanah air segera berangkat. Sarapan pagi dengan sepiring nasi lemak mengantarkan kami untuk angkat kaki dari negri Malaysia, entah kapan kesana lagi yang pasti saya kapok. Kapok kenapa gak disambut dengan ramah oleh orang Malaysia, apakah karena saya orang Indonesia yang dikenal dengan negara pengekspor Tenaga Kerja? Atau karena saya datang diwaktu yang tak tepat karena hubungan kedua negara yang kala itu tegang karena kiriman kabut asap.
Moga hubungan Malaysia dan Indonesia bisa tetap terjalin dengan manis kini dan esok.
Salam Sya, 2016.01.19
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI