Mohon tunggu...
Lajma Khanie
Lajma Khanie Mohon Tunggu... Lainnya - Happy Writing

Freedom jurnalism

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hafshah Tulpen, Tulisan yang Menjadi Karakter

5 Agustus 2018   18:29 Diperbarui: 5 Agustus 2018   18:52 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun 2012, saya menulis sebuah naskah novel Islami. Karakter utamanya bernama Hafshah Tulpen. Novel tersebut saya kirim ke lomba Sayembara Novel yang diadakan oleh Republika. Saya bersemangat sekali, karena saya yakin, karakter Hafshah yang saya tulis sangat inspiratif, dengan balutan hijab syar'i, kisah hidup yang tangguh, juga kecerdasannya dan kesholehannya. Saya pribadi mengagumi karakter Hafshah. Saya memjadi pembaca pertama karya saya tersebut. 

Tapi, nasib belum memihak kepada saya. Debut novel pertama saya tersebut tidak masuk kategori. Akhirnya, saya menjadikan naskah itu sebagai koleksi pribadi, membuat naskah itu sebagai hiburan di tengah-tengah menyelesaikan tugas akhir.  Namun, karakter dan tiap lembar kisah Hafshah sangat lekat di setiap ingatan saya. Bagaimana Hafshah jatuh cinta, bagaimana Hafshah bersabar pada nasib, dan bagaimana pemikiran-pemikiran Hafshah tentang masa depan, semua seolah mengalir dalam setiap lembar yang saya tulis dan saya baca sendiri.

Saya selalu membawa draf novel saya, saya taruh di tas kuliah, jika ada waktu, saya baca. Seolah saya wajib mengetahui seluk beluk karakter utama dalam novel pertama saya. Kepolosan Hafshah, tekad Hafshah, dan cita-citanya.

2014, saya mencoba mengirimkan naskah novel saya ke penerbit Gramedia. Setelah mengirimkan via post,saya pun menanti balasan dari editor. Saya menelpon dan menanyakan progres naskah saya. Jawabannya cukup menyenangkan, naskah saya telah berada di tangan editor. Saya mengunggu 3 bulan untuk mendapatkan jawaban apakah novel saya layak dimuat? Dan, singkat cerita, setelah penantian panjang, saya akhirnya mendapatkan surat balasan dari Gramedia bahwa novel saya belum layak diterbitkan.

Desember 2015, saya memutuskan untuk menerbitkan novel saya secara indie. Saya memilih penerbit indie yang harganya sesuai dengan kocek saya. Yang penting, naskah saya bisa jadi buku, bukan berupa makalah yang dijilid lakban.

Februari 2016, novel saya terbit. Saya cek ISBN dan voila! Ada di katalog perpustakaan nasional. Juga ada di Google Bookstore dengan nama saya, bukan nama Lajma khanie. Waktu itu, untuk pertama kalinya, saya memiliki koleksi buku dengan nama saya sendiri.

Sekarang, 2 tahun berlalu semenjak novel Tulpen diterbitkan secara Indie, 6 Tahun berlalu dari pertama kali novel Tulpen diselesaikan penulisannya. Lalu, apa yang terjadi? Saya sendiri kaget dibuatnya. Sekarang, saya baru tersadar, karakter seorang Hafshah melekat dari diri saya. Mungkin, tidak secantik Hafshah Tulpen seperti dalam novel. Tidak juga saya bertemu dengan dr. Ardi yang menjadi orang spesial bagi Hafshah, saja juga tidak terlibat drama dengan Reza Daccozio, juga karakter-karakter lain, karena memang, novel Tulpen murni adalah fiktif. 

Tapi karakter Hafshah, cara dia memandang sesuatu, dan prinsip yang ada pada Hafshah, lambat laun terlihat pada saya. Saya jadi teringat perkataan seorang teman di tahun 2012 lalu saat membaca draf novel saya, "Ini cerita kamu ya?", waktu itu, saya jelas menolak, karena memang saya dan Hafshah berbeda, Hafshah lebih dewasa, lebih Islami, lebih punya pandangan yang bijak dalam melihat suatu takdir. 

Saya dan Hafshah adalah karakter yang berbeda. Namun, saat saya membaca kembali debut novel pertama saya tersebut, keanggunan, kesholehan, dan sikap Hafshah membuat saya 'iri'. Begitu sempurna karakter itu. Dan saya senang, saya bisa bertumbuh dengan karakter utama, karakter yang saya tulis dengan tujuan pembaca terinspirasi dengan kelebihannya, cara dia berpakaian, dan sikap lemah lembut Hafshah. Tapi, justru saya sendiri yang menjadi terpengaruh dengan karakter yang saya tulis. Saya terinspirasi dengan Hafshah Tulpen, terutama akhlaknya.

Dari situ, saya menjadi termotivasi untuk menghidupkan karakter-karakter Islami. Saya membaca cerita-cerita di jaman sahabat agar saya bisa memberikan teladan bagi pembaca lewat karakter yang saya ingin sampaikan. 

Bagi saya, novel Tulpen adalah inspirasi. Saya adalah penulis sekaligus pembaca pertama novel tersebut, dan hari ini, karakter Hafshah sangat banyak mempengaruhi sikap saya. Saya terinspirasi dengan Sosok Hafshah sebagai  seorang wanita yang selalu bersyukur dengan takdir yang dia terima, dia berjuang untuk mengubahnya dengan ilmu dan amal.

Dari karakter Hafshah, sebenarnya, saja ingin menyampaikan pesan ke pembaca bahwa masih ada orang-orang sholiha di muka bumi ini dan Hafshah ini salah satu dari sekian banyak orang-orang tersebut.

"Dan bagi seorang penulis pemula seperti saya, jujur pada tulisan sendiri adalah sebuah modal awal untuk melanjutkan karya. Bukan untuk pujian besar, tapi untuk kepuasan dalam berkarya dan prinsip dalam menuliskan sesuatu. Untuk menginspirasi diri sendiri dan pembaca. Karena, kamu adalah apa yang kamu tulis :)"

Salam,

Lajma Khanie

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun