Mohon tunggu...
lairah
lairah Mohon Tunggu... -

Fans garis keras Maruko

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Tentang Jan: Lelaki Keramik Penepok Bulu

6 Juni 2016   22:27 Diperbarui: 6 Juni 2016   22:37 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemarin, untuk kali pertamanya, saya menonton bulutangkis dengan membawa-bawa perasaan. Alhasil, ketika jagoan yang saya harapkan memenangkan pertandingan ternyata kalah di lapangan, saya pun pulang dengan membawa rasa getir di dada.

Ya, saya berharap, pada partai final Indonesia Terbuka tahun ini, Jan-lah (pemain asal Denmark, Jan O Jorgensen) yang menjadi pemenang seperti pada Indonesia Terbuka dua tahun lalu. Tapi apa boleh buat. Penampilan Lee Chong Wei hari itu jauh di atas performa Jan. Serangan Chong Wei hampir tak pernah salah sasaran dan Jan seringkali gagal mengembalikan serangan-serangan itu. Sebaliknya, pukulan kok Jan hampir selalu dapat dikembalikan oleh Chong Wei. Saya ingin Jan menang, tapi Chong Wei hari itu memang berhak menang.

Baru kali ini saya menyaksikan pertandingan Jan yang berakhir dengan kekalahannya. Terus terang saja, Jan ini adalah tunggal putra favorit saya. Bukan. Ini bukan berarti saya tidak suka pemain Indonesia. Sebagai warga negara Indonesia, saya menyukai dan mendukung semua pebulutangkis Indonesia, tak peduli bagaimana gaya bermainnya, seperti apa karakternya, dan lain sebagainya. Asalkan dia WNI, saya otomatis jadi pendukungnya.

Tapi, Jan berbeda. Saya terkesan dengan sikapnya, baik saat di dalam maupun luar lapangan; baik kepada sesama pemain ataupun kepada penggemarnya. Dan satu lagi, ia selalu bisa menyampaikan pandangannya dengan jelas dan menarik. Ia tahu apa yang ia inginkan dan ia tahu bagaimana cara mengatakan. Pemain bulutangkis rata-rata berasal dari kawasan Asia. Kebanyakan pebulutangkis Asia, terutama Cina, cenderung tak banyak bicara dan kalau pun harus berbicara, mereka bermain aman dengan jawaban-jawaban klise. Sementara Jan, ia tak pernah sungkan mengutarakan pemikirannya dan menggunakan diksi-diksi sensasional.

Di lapangan, salah satu gayanya adalah selalu mengepalkan tangan setiap kali ia memperoleh poin. Kepalan tangannya tidak tinggi sampai sejajar kepala karena itu bisa dianggap sebagai sikap tidak respek pada lawan. Kepalannya paling sejajar dengan dada atau perut, persis seperti sikap tangan kuda-kuda. Dan Jan selalu melakukan itu tiap kali angka bertambah untuknya. Tidak pernah tidak. Kadang saya tak perlu melihat ke arah kok jatuh untuk tahu siapa yang mendapatkan poin. Cukup dengan melihat Jan. Kalau tangannya mengepal, poin untuk dia. Kalau tidak, angka untuk lawan. Mengepalkan tangan ini juga dilakukan oleh pemain lain, tapi sayangnya saya tidak memperhatikan kekonsistenan mereka.

Dalam urusan sukacita, Jan jago sekali mengekspresikannya. Mulai dari kepalan tangan untuk perolehan poin hingga shirtless celebration saat berhasil memenangi suatu pertandingan krusial, seperti partai final Thomas Cup 2016. Pada 2014, saat ia mencetak sejarah dengan menjadi orang Eropa pertama yang menjuarai Indonesia Terbuka, luapan kebahagiaannya sepertinya tak cukup hanya dilampiaskan dengan lepas kaos dan berteriak. Publik Istora saat itu menjadi saksi: Jan menangis terduduk. Seorang lelaki bertato dan berambut gondrong --yang identik dengan karakter keras dan gahar-- menangis di hadapan ribuan penonton. Jan bukan besi. Dia lelaki keramik rupanya. Kokoh di luar, lembut di dalam.

Jan memang tak pernah setengah-setengah dalam mengekspresikan kebahagiaannya. Namun, saya belum pernah menyaksikan Jan kesal atau marah di dalam lapangan. Pilihan mimiknya hanya dua: tenang atau bahagia. Ini poin penting yang membuat saya tak lagi punya pintu keluar dari menjadi riak di antara gelombang fansnya. Jan pandai menyembunyikan rasa-rasa negatif itu lalu mengalihkannya menjadi semangat. Semangat untuk bermain maksimal dan lebih baik. Itu kata salah satu pemain suatu kali setelah kalah bertanding melawan Jan. Saya juga pernah menangkap suatu peristiwa yang membuat saya makin respek terhadap Jan. Saat itu, Jan menyampaikan sedikit komplain pada wasit. Namun, tampaknya wasit menolak komplain Jan tersebut. Alih-alih bermuka masam, Jan malah tersenyum sambil geleng-geleng kepala.

Ah sudahlah. Sepertinya saya terlalu banyak bercerita mengenai si lelaki keramik yang sehari-harinya menepok bulu ini. Lelaki yang belakangan ini mudah dihinggapi cedera --terakhir cedera pinggul. Harapan saya sekarang ini cuma satu: be healthy, Jan! :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun