Semua orang tahu, bahwa Indonesia sebagai salah satu Negara Kepulauan terbesar di dunia. Indonesia memiliki lebih dari 17.000 pulau yang terbentang dari Sabang hingga Merauke. Tak perlu diragukan, Indonesia memiliki keistimewaan dalam bidang kelautan dan kemaritiman.
Negara dengan luas perairan yang lebih besar dari daratan dengan sumber daya laut yang melimpah serta keanekaragaman hayati selalu berhasil memikat hati masyarakat lokal maupun interlokal.
Dengan kekayaan yang dimiliki, Indonesia mempunyai tantangan tersendiri bagi yang berkepentingan dengan kelautan untuk memajukan maritimnya seiring dengan perkembangan lingkungan sebagai indikator kemajuan oleh suatu negara.
Potensi yang dimiliki Indonesia sebagai Negara Kepulauan dan Kemaritiman perlu dioptimalkan dengan memberi trobosan dalam pembangunan kelautan yang didukung dengan kebijakan politik dan iklim sosial yang kondusif.
Dengan kondisi Indonesia yang demikian, banyak kasus timpang tindih mengenai pengelolaan kelautan, terutama pada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Upaya yang dilakukan Pemerintah untuk menjaga eksistensi kelautan dan kemaritiman Indonesia, telah membuat perundang-undangan tentang hukum kelautan dan kemaritiman. Berawal dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan “Bumi dan air dan kekayaan alam di dalamnya dikuasai oleh Negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”, Undang-Undang Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menetapkan bahwa Rencana WP3K ditetapkan melalui perda masing-masing provinsi dan wajib melibatkan masyarakat dalam proses penyusunannya.
Dalam Permen KP No. 23 Tahun 2016, menegaskan kembali bahwa dalam menyusun RWP3K juga wajib mempertimbangkan alokasi ruang akses penghidupan kepada nelayan kecil, nelayan tradisional dan petambak garam kecil.
Kemudian pusat memberikan mandat kepada setiap daerah agar segera membentuk Perda yang disebut dengan Rencana Zona Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K).
Dilansir dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, RZWP3K adalah sebuah instrumen dasar untuk izin lokasi dan izin pengelolaan investasi melakukan kegiatan di pesisir dan pulau-pulau kecil, tanpa instrumen arahan/pengaturan pemanfaatan sumberdaya di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang jelas, maka konflik pemanfaatan sumberdaya akan terus kita hadapi.
Sebagai akibatnya, degradasi kualitas lingkungan, ketidakpastian lokasi investasi, dan konflik antar pemangku kepentingan akan sulit untuk diatasi. Seiring dengan UU No. 1 Tahun 2014 mengatur bahwa RWP3K menjadi dasar pemberian izin lokasi bagi pemanfaatan ruang di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Seiring dengan Permen KP No.40 Tahun 2014, peran serta masyarakat dalam penyusunan RWP3K mempunyai tujuan agar didapatkan usulan yang memuat gambaran kebutuhan masyarakat dalam kegiatan termasuk dengan memperhatikan wilayah penangkapan ikan secara tradisional dan masyarakat hukum adat (MHA).
Berdasarkan peraturan perundang-undangan di atas, sudah seharusnya masyarakat ikut andil dalam penyusunan Perda RZWP3K. Lalu apakah semua berjalan dengan semestinya? Di dalam beberapa berita yang beredar, implementasi yang sudah dilakukan pemerintah daerah dalam penyusunan draft maupun dalam penerapan Perda RZWP3K dengan keikut sertaan masyarakat menuai banyak kontra.
Saat ini, sudah 21 Provinsi di Indonesia telah rampung dan menerapkan RZWP3K, salah satunya adalah Sulawesi Selatan. Aksi penolakan di Sulawesi Selatan terjadi pada tahun 2018.
Peraturan ini dinilai tidak dapat menjamin keberlangsungan lingkungan hidup di wilayah pesisir, karena tidak melibatkan aktor utama dalam pemanfaatan ruang sumber daya pesisir, yaitu nelayan tradisional dan MHA.
Belum ada setahun, keluhan para nelayan sudah terdengar di tengah reklamasi penambangan yang tetap dijalankan dengan dalih sebagai legitimasi investasi. Kondisi seperti ini akan menyebabkan berkurangnya biodiversity wilayah pesisir yang rusak akibat aktivitas pertambangan.
Kasus lain muncul di daerah Pangkal Pinang pada awal tahun 2020, masyarakat melakukan aksi penolakan akan disahkannya Perda RZWP3K. Aksi tersebut berlangsung akibat adanya perjanjian antara pemerintah daerah dan masyarakat mengenai pembahasan bersama susunan RZWP3K yang kenyataannya tidak terjadi.
Padahal, sangat jelas di dalam konstitusi negara, masyarakat berhak menyampaikan pendapat dan ikut serta dalam pemanfaatan sumber daya pesisir. Ditambah dengan tidak transparansinya penyusunan Perda RZWP3K yang membuat masyarakat berpikir bahwa semua ini dilakukan hanya sebagai formalitas yang dikeluarkan oleh kementerian.
Jika peraturan ini disahkan, akan menjadi peraturan yang dianggap sebagai bentuk kedzaliman yang mengatasnamakan pembangunan karena berdampak negatif pada wilayah pesisir.
Sekretaris Jenderal KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan) memaparkan bahwa visi poros maritim yang dibawakan oleh Presiden Joko Widodo dalam periode 2014-2019 adalah menjadikan penataan ruan laut sebagai arah kebijakan secara nasional.
Namun, realisasi berbanding terbalik dengan visi yang menjadikan nelayan sebagai garda terdepan untuk pengelolaan dan pengembangan wilayah pesisir ternyata selama lima tahun tidak bisa dirasakan oleh nelayan. Justru perampasan ruang hidup masyarakat pesisir terus terjadi dan semakin meningkat di setiap tahunnya.
Tidak hanya itu, Perda RZWP3K seolah memberikan peluang untuk kepentingan pelabuhan, industri, reklamasi, pertambangan, dan proyek lainnya, sehingga berbanding terbalik dengan apa yang dirasakan oleh nelayan kecil maupun nelayan tradisional.
Melihat kondisi Indonesia saat ini hendaknya pemerintah segera mengkaji ulang tentang urgensitas diterbitkannya Perda RZWP3K sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan lagi.
Karena pada hakikatnya peraturan ini dibuat untuk menentukan arah penggunaan tiap-tiap sumberdaya yang dilengkapi dengan penerapan struktur pola ruang yang memuat kegiatan apa saja yang boleh dilakukan, tidak boleh dilakukan, dan kegiatan yang hanya dapat dilakukan melalui perizinan, sebagai awal kebijakan penataan ruang wilayah laut yang selaras, seimbang selama 20 tahun.
Hingga sekarang yang masih menjadi pertanyaan bagi para pemegang kuasa maupun rakyat kecil Indonesia dan juga saya sendiri. Sebenarnya, peraturan ini dibuat dengan harapan yang seperti apa?
Jika dalam lima tahun terakhir masih tidak adanya transparansi dari pihak penyelenggara aturan, dan kasus perampasan kehidupan para nelayan dari tahun ke tahun terus meningkat? Dan untuk apa peraturan disahkan jika masih banyak korban yang merasa dirugikan.
Alangkah baiknya, jika pemerintah melibatkan peran masyarakat dalam pembuatan peraturan untuk kepentingan bersama, karena jika tidak peraturan yang dibuat akan selalu menjadi payung hukum bagi mereka yang telah menggantungkan hidupnya pada pemanfaatan sumber daya laut dan berikan kepada mereka porsi peran yang cukup dan memadai.
Dengan demikian, para petinggi negara dan masyarakat menengah ke atas maupun ke bawah harus memiliki prespektif sama dalam mewujudkan visi poros maritim Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H