Peraturan ini dinilai tidak dapat menjamin keberlangsungan lingkungan hidup di wilayah pesisir, karena tidak melibatkan aktor utama dalam pemanfaatan ruang sumber daya pesisir, yaitu nelayan tradisional dan MHA.Â
Belum ada setahun, keluhan para nelayan sudah terdengar di tengah reklamasi penambangan yang tetap dijalankan dengan dalih sebagai legitimasi investasi. Kondisi seperti ini akan menyebabkan berkurangnya biodiversity wilayah pesisir yang rusak akibat aktivitas pertambangan.
Kasus lain muncul di daerah Pangkal Pinang pada awal tahun 2020, masyarakat melakukan aksi penolakan akan disahkannya Perda RZWP3K. Aksi tersebut berlangsung akibat adanya perjanjian antara pemerintah daerah dan masyarakat mengenai pembahasan bersama susunan RZWP3K yang kenyataannya tidak terjadi.Â
Padahal, sangat jelas di dalam konstitusi negara, masyarakat berhak menyampaikan pendapat dan ikut serta dalam pemanfaatan sumber daya pesisir. Ditambah dengan tidak transparansinya penyusunan Perda RZWP3K yang membuat masyarakat berpikir bahwa semua ini dilakukan hanya sebagai formalitas yang dikeluarkan oleh kementerian.Â
Jika peraturan ini disahkan, akan menjadi peraturan yang dianggap sebagai bentuk kedzaliman yang mengatasnamakan pembangunan karena berdampak negatif pada wilayah pesisir.
Â
Sekretaris Jenderal KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan) memaparkan bahwa visi poros maritim yang dibawakan oleh Presiden Joko Widodo dalam periode 2014-2019 adalah menjadikan penataan ruan laut sebagai arah kebijakan secara nasional.Â
Namun, realisasi berbanding terbalik dengan visi yang menjadikan nelayan sebagai garda terdepan untuk pengelolaan dan pengembangan wilayah pesisir ternyata selama lima tahun tidak bisa dirasakan oleh nelayan. Justru perampasan ruang hidup masyarakat pesisir terus terjadi dan semakin meningkat di setiap tahunnya.Â
Tidak hanya itu, Perda RZWP3K seolah memberikan peluang untuk kepentingan pelabuhan, industri, reklamasi, pertambangan, dan proyek lainnya, sehingga berbanding terbalik dengan apa yang dirasakan oleh nelayan kecil maupun nelayan tradisional.
Â
Melihat kondisi Indonesia saat ini hendaknya pemerintah segera mengkaji ulang tentang urgensitas diterbitkannya Perda RZWP3K sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan lagi.Â
Karena pada hakikatnya peraturan ini dibuat untuk menentukan arah penggunaan tiap-tiap sumberdaya yang dilengkapi dengan penerapan struktur pola ruang yang memuat kegiatan apa saja yang boleh dilakukan, tidak boleh dilakukan, dan kegiatan yang hanya dapat dilakukan melalui perizinan, sebagai awal kebijakan penataan ruang wilayah laut yang selaras, seimbang selama 20 tahun.
Â
Hingga sekarang yang masih menjadi pertanyaan bagi para pemegang kuasa maupun rakyat kecil Indonesia dan juga saya sendiri. Sebenarnya, peraturan ini dibuat dengan harapan yang seperti apa?Â
Jika dalam lima tahun terakhir masih tidak adanya transparansi dari pihak penyelenggara aturan, dan kasus perampasan kehidupan para nelayan dari tahun ke tahun terus meningkat? Dan untuk apa peraturan disahkan jika masih banyak korban yang merasa dirugikan.
 Alangkah baiknya, jika pemerintah melibatkan peran masyarakat dalam pembuatan peraturan untuk kepentingan bersama, karena jika tidak peraturan yang dibuat akan selalu menjadi payung hukum bagi mereka yang telah menggantungkan hidupnya pada pemanfaatan sumber daya laut dan berikan kepada mereka porsi peran yang cukup dan memadai.Â