Kuamati dari kaca spion bagaimana gadis mungil itu menikmati lantunan indah yang keluar dari mulutnya.Â
Suara indahnya menggema mengikuti arus angin, namun tak terlalu nyaring terdengar di luar sana karena berpagutan dengan suara mobil dan truk-truk yang berpapasan dengan kami.
Namanya Rafida, aku mengenalnya sejak awal perkuliahan semester lalu. Aku tak tahu bagaimana latar belakang keluarganya, yang kutahu ia sosok yang agamis. Setiap yang dilakukannya selalu jadi panutan bagi orang-orang di sekitarnya. Sepertinya dia alumni pesantren, entah pesantren mana.Â
Namun yang kutahu saat ini ia tinggal di sebuah kos putri tak jauh dari kampus kami. Sedangkan aku yang pulang pergi dari rumah sering kali mampir ke kamarnya sekedar melepas penat atau konsultasi tugas dengannya.
"Fi, Faisal udah berangkat?" tanyaku. Ia masih asik bersenandung.
"Haa.. Apa Din?"
Sorot lampu kota berpadu dengan lampu-lampu kendaraan yang terbilang cukup ramai malam itu membuatku harus benar-benar fokus berkendara.
"Tanyain Faisal udah berangkat apa belum, chat sana."
"Wes di TKP sejak habis magrib tadi Din."
Lanjut kembali dia melantunkan shalawatnya. Suaranya memang indah, tak jarang ia keluar kota untuk mengikuti lomba qori'ah, pandai sekali ia mengkritingkan cengkok, powernya juga sudah seperti penyanyi-penyanyi terkenal, tapi anehnya, dia nggak suka nyanyi.Â
Dia lebih suka melantunkan shalawat yang lafadznya nggak pernah kudengar sebelumnya. Meskipun begitu tetap saja dia dapat membawakan dengan indah dan nada yang pas. Katanya kalau punya suara emas buat menyanjung sang rasul, keindahannya terawat dengan keberkahan. Hidupnya juga selamat.