Mohon tunggu...
Lailatul Maulidiyah
Lailatul Maulidiyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Public Health Student (Airlangga University)

-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Korban KDRT Harus Berani Speak Up! Mengapa?

30 November 2022   07:50 Diperbarui: 2 Januari 2023   11:02 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Halo Readers! Saya Lailatul Maulidiyah, mahasiswi Program Studi S1 Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga. Bagaimana kabarnya? Semoga selalu baik ya. Terima kasih telah mengunjungi artikel saya. Selamat membaca!

Sikap berani speak up penting dimiliki oleh setiap korban kekerasan, termasuk korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Hal ini diperlukan agar kekerasan tidak terus berulang. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), I Gusti Ayu Bintang, meminta masyarakat korban kekerasan dalam rumah tangga untuk berani bersuara. "Kita imbau seluruh lapisan masyarakat, siapapun yang menjadi korban, harus berani speak up," ujar Ayu di Istana Kepresidenan, Selasa (11/10).

Sayangnya, seringkali korban KDRT enggan untuk speak up, baik itu kepada orang terdekat maupun melapor kepada pihak kepolisian. Sebabnya beragam, antara lain karena alasan anak, masih bergantung secara ekonomi, masih mengharapkan perubahan pada diri pasangan, mendapatkan ancaman, dan menganggap tindak kekerasan sebagai aib dalam rumah tangga yang seharusnya disembunyikan.

Padahal, KDRT bukan merupakan masalah privat, melainkan telah diatur oleh Pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Pemerintah menyepakati bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan.

Ketentuan pidana bagi para pelaku juga telah dijelaskan secara rinci dalam Undang-Undang tersebut. Bab VIII Pasal 44 ayat (1), berbunyi “Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam  Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara  paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah)”. Ketentuan pidana juga disesuaikan dengan dampak fisik maupun psikologis yang dialami korban sebagaimana diatur dalam pasal 44 s.d. 50. Dengan adanya perlindungan hukum ini diharapkan masyarakat tidak lagi takut bersuara apabila mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga.

Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan,  yang  berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Perlu digaribawahi bahwa KDRT juga dapat terjadi pada laki-laki. Meskipun, memang berdasarkan data korban mayoritas perempuan. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat, selama 17 tahun, yaitu sepanjang 2004-2021 ada 544.452 kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Kekerasan dalam rumah tangga dapat mengakibatkan berbagai dampak buruk, terutama bagi korban dan anak. Menurut Santoso (2019), dampak KDRT dapat dibedakan menjadi dampak jangka pendek dan jangka panjang. Dampak jangka pendek dapat berupa luka fisik, cacat, kehamilan, hilangnya pekerjaan, dan lain sebagainya. Sedangkan, dampak jangka panjang biasanya berupa gangguan psikis (kejiwaan), hilangnya rasa percaya diri, mengurung diri, trauma dan muncul rasa takut hingga depresi. Oleh karena itu, diperlukan keberanian korban untuk speak up apabila mengalami KDRT agar dapat segera mendapatkan pertolongan dan tindak KDRT tidak berulang.

Referensi

Indonesia. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Sekretariat Negara. Jakarta.

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan. 2021. Pengetahuan & Publikasi: Catatan Tahunan. Jakarta.

Maharani, A. 2022. Alasan Korban KDRT Enggan Melaporkan Kasusnya. Jakarta: Klik Dokter.

Prasetyo, A. 2022. Menteri PPPA: Korban KDRT Harus Berani Speak Up. Jakarta: Media Indonesia.

Santoso, A., B. (2019). Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Terhadap Perempuan: Perspektif Pekerjaan Sosial. Jurnal Pengembangan Masyarakat islam, 10(1), 39-57.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun