Mohon tunggu...
Lailatul Fadhilah Jamil
Lailatul Fadhilah Jamil Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

A learner.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jogja adalah Tempat untuk Berpatah Hati

28 Juni 2022   15:05 Diperbarui: 28 Juni 2022   18:19 599
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jogja adalah tempat terbaik untuk healing. Begitulah kata orang-orang yang memilih Jogja sebagai pelarian dari patah hati mereka. Jogja adalah saksi bisu jutaan tetes air mata yang turun tersebabkan patah hati. 

Dan di sinilah aku sekarang, sedang menginjakkan kaki di tanah Yogyakarta. Bukan untuk healing, tapi sedari awal aku sudah berada di kota ini. 

Berniat datang menuntut ilmu tapi secara tidak sengaja juga ikut jatuh dan patah hati. Kalimat Jogja adalah tempat terbaik untuk healing tampaknya tidak berlaku bagi aku yang malah jatuh hati di kota ini.

Namanya Naya, perempuan pertama yang berhasil membuat hatiku luluh. Kemudian setelahnya ia juga berhasil hancurkan berkeping-keping. Tidak, tidak berkeping-keping lagi namanya. Hancur tanpa sisa sampai aku tak menyisakan lagi cinta untuk diriku sendiri. 

Ini bukan tentang persoalan sejenis perselingkuhan atau hati yang tak lagi satu rasa. Tapi memang sedari awal, aku dan Naya tidak pernah benar benar ada di halaman yang sama. Kita terlanjur usai sebelum kisahnya benar-benar dimulai. Kita berada di buku yang sama, tapi di halaman yang berbeda.

"Aku ingin abadi dalam ceritammu, nay. Bahkan jika kamu ingin menghapusku dari hatimu, aku ingin tetap ada dalam sudut kenanganmu." Itu adalah kata-kata terakhir yang aku ucapkan kepada Naya sebelum aku dan dia memutuskan kembali asing. 

Sebelum Naya memilih untuk pergi dan menjalani hidupnya sendiri. Benar-benar sendiri. bukan hanya tanpa aku, tapi tanpa semua orang yang sebelumnya ada di hidup Naya.

Aku tidak benar-benar mengerti apa yang ada di pikiran Naya. Aku tidak benar-benar paham maksud kepergiannya. Naya bilang ia masih mencintaiku, tapi Naya pergi. 

Apakah kepergian adalah salah satu bahasa cinta Naya? Atau naya berbohong? Tidak. Aku tahu betul Naya-ku. Naya yang aku kenal tidak mungkin berbohong kepadaku.

Benar, itulah masalahnya. Naya yang kukenal tidak mungkin akan berboohong kepadaku. Masalahnya dua bulan sebelum Naya pergi, Naya berubah. Ia tak lagi seperti Naya yang kukenal. 

Naya yang biasanya selalu bahagia dan riang, berubah menjadi Naya yang murung dan mudah marah. Naya yang suka senyum dan tertawa terhadap hal-ha kecil yang bahkan manusia normal tidak akan menilainya lucu, berubah menjadi Naya yang sedih dan mudah menangis. 

Naya tidak pernah mau menceritakan hal apa yang membuat emosinya berubah begitu payah. Naya hanya bilang gapapa dan kemudian akan menasehatiku tentang kalimat-kalimat kebahagiaan.

"Kamu harus bahagia, Raka. Dengan ataupun tanpa aku kamu harus bahagia. Jangan kamu letakkan bahagiamu pada orang lain, termasuk aku. Sebab begitu, jika orang itu pergi kebahagiaanmu juga ikut pupus. Kebahagiaan adalah tanggung jawab individu manusia. Manusia lain gapunya hak ataupun kewajiban untuk membuat orang lain bahagia. Kamu harus ingat kata-kataku ini Raka. Aku mau kamu bahagia."

"Tapi kan aku bahagia sama kamu, Nay. Bahagiaku ada di kamu. Kamu ga akan ninggalin aku kan? Jawabku pada Naya kala itu yang seakan mengisyaratkan ingin meninggalkan aku.

"Gaada yang tahu hari esok. Bahkan gaada yang tahu detik nanti akan terjadi hal apa. Dan satu lagi yang harus kamu ingat bahwa hati manusia itu berbolak balik, Raka. Kamu gabisa sepenuhnya kepada kalimat manusia yang datang dari hati." Mata Naya berkaca-kaca.

Aku mengusap lembut pipi Naya. Pada detik itu aku sadar, raga Naya masih bersamaku, tapi tidak dengan hatinya, tidak pula dengan jiwanya. Jiwa Naya sudah meninggalkanku semenjak hari itu.

Tak terasa sudah lebih dari dua jam aku melamun di tempat ini. Mengenang Naya, bersama senja Jogja dan Air mata. Tempat ini adalah tempat favorit Naya untuk melihat langit Jogja. Tempat dimana aku dan Naya memulai kisah bersama untuk detik pertama. 

Hari itu menjadi momen besar dalam sejarah kisah hidupku. Perempuan yang aku suka semenjak lama menyatakan perasaannya. Aku adalah lelaki pengecut yang menyimpan rasa bertahun-tahun. Aku terlalu pengecut untuk menyatakan rasa pada Naya. Maka pada hari itu, aku menjadi lelaki paling bahagia di bumi saat Naya yang menyatakan cinta padaku.

Tapi aku tetaplah aku. Seorang Raka yang pengecut. Bahkan di detik Naya menyatakan cinta padaku, aku masih saja berbimbang diri untuk mengiyakan pernyataan Naya. 

Aku terlalu takut untuk patah hati. Aku takut suatu hari nanti Naya mematahkan hatiku, ataupun sebaliknya. Aku tak punya nyali untuk memeluk Naya dan mengatakan aku juga menciintainya, semenjak lama.

"Bukannya aku menolak cintamu, Nay. Tapi sanggupkah kamu bertahan dengan segala ketidaksempurnaanku ini Nay? Sedangkan kamu pasti mampu mendapatkan yang lebih sempurna dibanding aku." Aku yang bodoh malah berkata demikian, alih-alih membalas kata cinta yang Naya rangkai.

"Aku ga butuh orang yang sempurna, yang aku butuh cinta yang sempurna. Dan aku telah memilihmu sebagai laki-laki yang kunilai punya cinta sempurna untukku." Ucap Naya mantap meyakinkan keraguanku. Aduh, betapa pengecutnya aku sebagai seorang laki-laki.

Maka sejak saat itu, aku memutuskan meletakkan kebahagiaanku pada Naya. Aku menaruh sepenuhnya kebahagiaanku padanya, memutuskan untuk menjadikan Naya satu-satunya wanita dalam hidupku. 

Memperlakukan Naya sebaik mungkin, menjadikannya ratu. Aku tidak pernah sama sekali memikirkan kemungkinan terburuk yang akan ada diantara aku dan Naya. 

Aku begitu yakin bahwa Naya tidak akan meninggalkan aku sebagaimana aku yang tak akan meninggalkan Naya. Maka pada hari ini, disaat Naya meninggalkanku, aku tak lagi punya energi untuk berbahagia.

"Aku punya sesuatu yang dipikirkan dan ga bisa aku bagikan kepada siapapun, termasuk kamu Raka. Aku memutuskan untuk hidup sebagai orang baru. Aku ingin mulai hidupku dari awal lagi. Lingkungan baru, tempat baru, orang-orang baru. Aku ingin terlahir sebagai Naya yang baru. Kamu tidak perlu mencariku, Raka. Aku akan pergi dan mungkin tak akan kembali. Jalani hidupmu sebagaimana sebelumnya, berbahagialah meskipun tanpa aku. Untukmu akan selalu satu ruang yang aku sisakan di hatiku." Demikianlah pesan terakhir yang dikirim Naya sebelum ia menghilang.

Setelah pesan singkat yang ia kirimkan, aku tak lagi bisa menghubunginya. Naya memblokir semua nomor dan akun sosial mediaku. Aku juga tak punya tempat untuk bertanya tentang keberadaan Naya. 

Bahkan teman terdekatnya tidak tahu Naya kemana. Aku menyerah. Naya benar-benar memutuskan untuk menghilang dari kehidupan yang sebelumnya ia jalani. 

Naya ternyata sama sekali tidak mengabari siapapun tentang keputusannya untuk menghilang. Meskipun setidaknya Naya memberikan salam perpisahan kepadaku, namun yang namanya perpisahan tetap saja menyakitkan.

Matahari sudah tenggelam, bergantikan indahnya remang remang lampu kota Jogja. Sudah 3 jam aku duduk di titik yang sama. 

Mengenang Naya dan kepergiannya. Aku melangkahkan kaki dan meninggalkan tempat ini. Sudah saatnya aku pulang, aku harus tetap hidup meskipun tanpa Naya.

Aku mengendarai motor sambil menikamti jalanan malam kota Jogja. Menyaksikan pasangan harmonis yang duduk di teras ambarukmo ataupun makan pecel di lesehan pinggir trotoar. 

Badut di lampu merah. Manusia silver yang berdiri hormat. Dan penjual koran yang menawarkan dagangannya ke pengendara mobil di lampu merah. 

Seorang anak 5 tahun datang menghampiriku menawarkan koran yang ia bawa. Wajahnya lesu, menimbulkan rasa kasihan. Aku pun membeli satu bundel koran untuk kubaca sendiri. Setidaknya untuk melariskan dagangan anak tersebut.

Lampu merah masih 50 detik lagi. Aku membolak balik halaman koran. Sekedar ingin tahu berita terpanas hari ini. Mataku langsung tertuju pada highlight di halaman depan koran. Tanganku berkeringat. Detak jantungku berdetak sepuluh kali lipat lebih cepat.

Lampu merah tinggal 20 detik lagi. Aku masih belum mengalihkan pandangan dari paragraf tersebut. Wajah Naya terpapar jelas. Aku masih tak percaya di halaman koran tersebut ada foto Naya, beserta namanya yang tertulis jelas. Naya Mentari. Namun yang lebih mengejutkan adalah tulisan diatas foto Naya. Buronan.

Lampu merah tinggal 5 detik lagi. Perasaanku makin tak karuan. Apa yang Naya lakukan hingga menjadi buronan dan terpapar di halaman depan koran. Aku tak bisa menjelaskan perasaan apa yang menyelimutiku detik ini. Pikiranku kacau sekali.

Lampu merah tinggal 3 detik lagi, masih belum hijau. Aku memutuskan untuk tancap gas meninggalkan lampu merah. Mengendarai motor dengan kecepatan tertinggi yang aku bisa. 

Aku tak tahu harus bertindak apa, satu-satunya yang aku inginkan saat ini adalah Naya. Berharap ia datang padaku dan berkata bahwa semua ini adalah mimpi, dan kita akan baik-baik saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun