Tidak banyak dari anak muda yang lahir di tahun 2000-an memiliki ketertarikan pada sejarah, sekalipun itu sejarah bangsanya sendiri. Dari sekian banyak penikmat film, sedikit dari mereka yang tertarik pada film-film era sebelum mereka dilahirkan. Seperti makanan, selera mayoritas adalah makanan ringan dan kekinian. Maka film ringan dan meyenangkan tentu lebih mengasyikkan untuk dikonsumsi. Â
Apa pun, jika sudah masuk kategori "berat" dan serius, pasti minim peminat. Hanya anak muda pilihan, di era yang segalanya serba mudah ini, mau bersuka ria mengerutkan kening untuk memahami maksud dari buku atau film sejarah.
Tapi beberapa hari lalu hampir 1000 peserta---saya pastikan sebagian besarnya adalah anak muda yang ingin tahu ada apa dengan peristiwa sebelum mereka dilahirkan, bersama-sama menonton film sejarah karya Pritagita Arianegara yang tayang perdana pada tahun 2017 lalu.Â
Film ini diadopsi dari buku novel milik Leila S. Chudori yang bercerita tentang perjuangan mahasiswa melawan pemeritah Orde Baru. Laut Bercerita adalah judul film dan buku yang diluncurkan bersamaan empat tahun lalu.
Sayangnya, film ini belum ditayangkan di layar lebar. Biru Laut dikemas dalam film pendek berdurasi kurang lebih 30 menit. Biru Laut tidak tayang sembarangan, pemutaran filmnya masih begitu terbatas. Pada kemerdekaan kemarin, Biru Laut ditayangkan hingga dua karena permintaan yang terus meningkat.
Siapa yang pernah membaca bukunya pasti penasaran dengan filmnya. Karena cerita yang ditulis setelah riset panjang itu begitu membekas, terutama di bagian mahasiswa dan aktivis pergerakan yang hilang bahkan sampai saat ini belum ditemukan. Sepotong kisah kelam para aktivis yang diburu pemerintah Orde Baru, dan kesedihan mendalam keluarga yang ditinggalkan.
Sekalipun Leila berkali-kali menegaskan bahwa cerita yang ditulisnya itu fiktif, namun ia membenarkan bahwa beberapa adegan didasarkan pada kisah dan obrolan nyata para aktivis tahun 1998.
Setiap kali merayakan kemerdekaan, saya selalu mengingat peristiwa lain. Peristiwa "merah" yang dibuat oleh bangsanya sendiri di negara yang putih ini. Peristiwa yang lebih menyesakkan, karena pelakunya bukan bangsa lain. Anda tahu kenapa saya menyebutnya peristiwa merah di Indonesia yang putih? Ini sebabnya:
Memeras Bangsanya Sendiri Setelah Kemerdekaan Diproklamasikan
Proklamasi adalah puncak dari perjalanan Panjang para pejuang kemerdekaan, pada masa itu tentu peristiwa itu adalah peristiwa paling sakral dan suci. Karena dengan itu bangsa kita berharap pribumi menjadi lebih sejahtera. Tetapi pemerintah baru datang dan berkuasa seenaknya sampai 30 tahun lamanya dikelilingi pagar betis kokoh dan kekar. Tidak boleh ada yang melawan. Semua mulut dibungkam, beberapa tikus disumpal agar diam dan menikmati saja kekuasaan ini.
Mereka yang melawan akan hilang, disiksa hingga menimbulkan trauma akut untuk kemudian dicemplungkan ke laut agar jasadnya tidak bisa dicari. Lalu apa makna proklamasi dan pengibaran bendera? Apa bedanya mental pemerintah saat itu dengan mental penjajah? Saya malas berpikir tentang ini.
Ada Darah Lagi Setelah Peristiwa Berdarah Â
Sebelum perjuangan kemerdekaan dimulai, telah banyak darah yang tumpah di negeri ini. Pada saat kemerdekaan dipertaruhkan dan diperjuangkan juga banyak peristiwa yang menumpahkan darah. Lalu setelah kemerdekaan pun rupanya diam-diam ada darah para aktivis yang mungkin darahnya lebih hitam, karena sakit di hati mereka tak terperikan.
Peristiwa ini benar-benar menyisakan bekas dan luka mendalam di hati mereka yang hilang kemudian bisa pulang. Lebih-lebih bagi keluarga yang ditinggalkan karena puteranya tidak pernah kembali, bahkan kasusnya sampai saat ini belum juga selesai.
Basmi Lalat-Lalat Pengganggu Pemerintah
Aktivis tahun 98 itu seperti seekor lalat. Hewan kecil yang dianggap mengganggu dan menjijikkan sehingga harus digaplok. Ia seperti mencoba menggaung di depan rumah kokoh dan megah yang pemiliknya begitu mengagungkan keindahan. Tetapi demikianlah lalat, betapapun ia dibasmi dan digaplok ia tetap tumbuh sumbur dan terus berkerumun karena tau di dalamnya ada bangkai.
Betapa keji dan tidak berperasaan mereka yang menyiksa para aktivis itu. Penguasa ingin mempertahankan jabatannya, aparat pemerintahan memilih mempertahankan jabatan dan kekayaannya dari pada berulah pada penguasa, para pagar betis terlena dengan daging penyumpalnya, para petani bertahan dengan ketidak tahuannya. Jadilah negeri ini merah karena darah-darah para mahasiswa pergerakan.
Demikianlah, masa Orde Baru kerap melupakan aspek kemanusiaan. Banyak akibat yang ditimbulkan dari rezim  tangan besi itu. Salah satunya adalah penderitaan keluarga korban penghilangan paksa. Penantiang panjang terhadap orang terkasihnya yang entah masih hidup ataukah tiada.Â
Leila menambahkan, terkadang ketidaktahuan dan ketidak pastian lebih membunuh daripada pembunuhan.
#HUTKOMIKÂ
#filmperjuanganBaca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H