Agama dan pesantren sedang digadang-gadang untuk berperan memperbaiki peradaban dan masa depan manusia. Ia ibaratkan lilin kecil di sayup-sayup abad ke 21 yang memiliki tanggung jawab sekaligus tuntutan untuk menjanjikan sesuatu sejak sekarang. Kecemasan para pamong sejarah terhadap hampir seluruh lini kehidupan baik di bidang politik, ekonomi, budaya serta semua muatan perilaku manusia, pada akhirnya diacukan kepada kemungkinan peran agama dan pesantren.
Tulisan ini sekadar penuturan sederhana, yang harapan tesisnya amat bersahaja. Kehidupan religius pesantren atas nama barokah, syafaat dan kawan-kawan, jangan lepas dari genggaman betapapun tantangan kedepan begitu mengancam. Maka bagi setiap generasi diharap berusaha mengenali identitas dan memperkuat benteng pertahanan dalam melawan bahaya yang mengancam.
Dulu sempat ada pandangan “miring” tentang pesantren yang hanya dipandang sebagai sekolah dasar, tempat bocah belajar membaca dan mengumandangkan al-Qur’an, itu masalah tersendiri yang tidak perlu dibahas panjang lebar dalam tulisan ini. Tetapi jelas bahwa hari ini tradisi pesantren yang dianggap “kolot” pada kenyataannya adalah sebuah fondasi yang kuat dalam membangun bangsa yang berkarakter dan bermoral.
Agama-Agama Nusantara
Nusantara sebagai bangsa yang besar dan luas, semenjak berkembangnya kebudayaan Kala Paleolithikum (zaman batu tua sekitar tahun 750.000-15.000 sM), Messolithikum (peralihan zaman batu atau pra sejarah ke sejarah), Neolithikum (zaman batu baru sekitar tahun 5000-2000 sM), Megalithikum (zaman batu besar) yang berlanjut pada Kala Perunggu dan Besi, itu berarti semenjak Ras Proto Melanesia keturunan Homo Erectus menghuni Asia Tenggara dan pulau-pulau Nusantara sampai kedatangan Ras Austronesia keturunan Homo Sapiens di Asia Tenggara, sudah mengenal agama dengan berbagai ritual pemujaan.
Dalam upaya menggambarkan secara umum kepercayaan paling kuno yang telah dianut dan masih sering tampak di daerah tersebut di atas, Agus Sunyoto dalam Atlas Wali Songo menggunakan istilah “animisme”. Yang dimaksud pada masa dahulu, adalah percaya kepada roh yang ada pada setiap benda dan tempat, roh yang lepas dari raganya, hantu-hantu penunggu air dan hutan, juga mereka yang percaya pada orang-orang tertentu yang berkedaulatan sakti untuk memanggil roh-roh tersebut atau mengusirnya (Agus Sunyuto, 2014:11). Di pulau jawa, kepercayaan semacam ini dikenal dengan sebutan Kapitayan, yaitu kepercayaan kuno yang tumbuh dan berkembang secara turun temurun jauh sebelum pengaruh kebudayaan Indus dan kebudayaan Cina yang datang pada awal abad masehi.
Sederhananya, Kapitayan dapat digambarkan sebagai suatu keyakinan memuja sesembahan utama yang diyakini mempribadi dalam tempat-tempat atau benda-benda tertentu. Umumnya, para penganut Kapitayan melakukan puja bakti pada sesembahan mereka dengan menyediakan sesaji berupa tumpeng, tumpi (kue dari tepung), tumbu (keranjang persegi dari anyaman bambu untuk tempat bunga), tuak (arak), tukung (sejenis ayam) dan tumbal untuk keperluan-keperluan tertentu. Sesaji ini disembahkan kepada segala sesuatu yang diyakini memiliki kekuatan ghaib seperti pohon besar, gua, batu, air terjun dan lainnya. Hal ini merupakan ritual yang dilakukan oleh orang awam penganut Kapitayan. Sementara bagi para rohaniawan Kapitayan, ibadah amaliyah berlangsung di suatu tempat bernama sanggar, yaitu bangunan persegi empat dan beratap.
Kepercayan-kepercayaan seperti ini dianut oleh masyarakat Nusantara setidaknya sampai adanya pengaruh India, Cina, Champa dan Arab pada kisar awal abad Masehi. Kontroversi sejarah bertutur tentang pengaruh-pengaruh agama luar yang masuk baik melalui migrasi penduduk atau perdagangan. Sekalipun tidak menutup kemungkinan tentang pengaruh sebelum masa itu, namun sejauh ini tidak ada bukti sejarah yang relevan dijadikan rujukan. Melalui perdagangan dan migrasi penduduk, beragam agama mulai bersentuhan dengan masyarakat. Hal ini tampak pada kerajaan-kerajaan tua yang menunjukkan indikasi adanya pengaruh Hindu-Buddha sebagai sebuah agama yang memiliki sistem, panduan dan ritual secara terstruktur dan terkonsep. Pengaruh Hindu-Buddha rupanya menguat dari berbagai aspek kehidupan masyaraat Nusantara, tidak dapat dipungkiri dalam hal ini juga sampai pada ajaran agama. Sedikitnya dapat ditandai oleh munculnya kerajaan-kerajaan bercorak Hindu-Buddha yang kemudian berasimilasi dengan kebudayaan lokal yang ada sebelumnya.
Agama Hindu-Buddha kemudian menjadi agama yang dianut oleh kerajaan-kerajaan Nusantara. Terlebih, ritual agama Hindu ternyata memiliki persamaan dengan kepercayaan Kapitayan sebelumnya, yang mana kedua kepercayaan yang paling dominan inilah yang pada akhirnya mewarnai agama-agama Nusantara sebelum pada akhirnya Islam datang sebagai agama penutup (terakhir) dan kemudian menjadi agama mayoritas hingga saat ini.
Berdasarkan penuturan sejarah yang sampai saat ini masih kontroversial, baru pada kisar abad ke-7 Masehi mulai ada seruan dan pengenalan Islam. Terlepas dari berbagai kontroversi, sekitar abad 14 Masehi, barulah proses pengislaman secara masif dilakukan oleh para ulama, raja Pandhita Gresik, Sunan Ampel di Surabaya dengan kebijakan dakwahnya melalui jaringan kekeluargaan yang terkoordinir dalam gerakan dakwah Wali Songo. Kiranya telah terjadi proses pengubahan konsep Nawa Dewata yang hinduistik menjadi Wali Songo yang sufistik, sehingga mudah saja bagi mereka untuk melakukan penyebaran. Ricklefs (2013:29) mengatakan bahwa masyarakat Jawa diilhami gagasan-gagasan Hindu-Buddha yang dapat ditelusuri dengan jejak warisan dalam rupa seni, arsitektur, literatur dan pemikiran sampai yang hari ini masih mewarnai wajah Nusantara.
Asimilasi dan Sinkretisasi
Dengan menggunakan pendekatan dakwah lewat keteladanan moral, kasih sayang, kedermawanan, toleransi, pendekatan persuasif, dan penampilan-penampilan karomah, tokoh Wali Songo dianggap representatif mewakili dewa-dewa kepercayaan masyarakat Hindu-Buddha menjadi tokoh yang dikultus-individukan sebagai “manusaia dewa” yang diliputi kekuatan mistis bersifat adiduniawi.
Sebagaimana dapat diasumsikan, pengambilalihan konsep Nawa Dewata menjadi Wali Songo terbukti memiliki pengaruh dan perubahan yang luar biasa dalam proses dakwah Islam di bekas wilayah kekuasaan Majapahit, yang sedang mengalami kemunduran dalam aspek sosiokultural-religius. Sebab gagasan abstrak yang meliputi konsep Nawa Dewata telah muncul dalam wujud yang kasat mata, yaitu manusia-manusia keramat yang memiliki kemampuan adikodrati seperti tokoh dewa dalam agama Hindu-Buddha yang abstrak dan tidak kasat mata.
Kepercayaan pra Hindu-Buddha yang animis dan dinamis—yang disebut Kapitayan, berjalin-berkelindan dengan pengaruh Hindu-Buddha. Kesemuanya memiliki unsur yang dalam pandangan Wali Songo, sesuai dengan sendi-sendi tauhid dan diserap ke dalam dakwah Islam. Pada akhirnya, Jawa yang sebelumnya tidak mengenal agama monoteis menjadi bersinar terang (Abdurrahman Mas’ud, 2004:50).
Melalui jaringan kekeluargaan yang terkoordinasi dalam gerakan dakwah, Wali Songo menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat melalui pendekatan bersifat sosio-kultural-religius lewat asimilasi dan sinkretisasi Islam dengan adat, budaya dan tradisi keagamaan setempat di Nusantara. Gerakan ini rupanya merupakan representasi dari prinsip mau’izhatul hasanah wa mujadalah billati hiya ahsan yang dikemas dan dikembangkan sebagai ajaran yang sedehana. Gerakan dakwahnya menyerap dan mempengaruhi kalangan petani pedesaan. Disesuaikan dengan pemahaman masyarakat setempat atau dalam istilah lain, Islam dibumikan dengan adat dan budaya masyarakat. Hal inilah yang dalam pandangan Gus Dur disebut sebagai “Pribumisasi Islam”.
Melihat dari tradisi-tradisi yang masih bisa kita jumpai, barangkali Crawfurd benar bahwa dari semua kaum pengikut Muhammad, orang Jawa adalah yang paling longgar dalam prinsip dan praktik mereka. Keyakinan serta gaya Jawa dan Islam menghasilkan apa yang diistilahkan Ricklefs sebagai “Sintesis Mistik”. Dalam batas sufisme yang luas, sintesis ini didasarkan pada 3 pilar utama; pertama, suatu kesadaran identitas islami yang kuat: menjadi orang Jawa berarti menjadi muslim. Kedua, pelaksanaan lima ritual rukun dalam Islam. Ketiga, terlepas dari kemungkinan munculnya kontradiksi dengan dua pilar pertama, permintaan terhadap realitas kekuatan spiritual khas Jawa seperti Ratu Kidul dan banyak makhluk adikodrati lain. Proses asimilasi dan sinkretisasi memungkinkanakan kebenaran persepsi Crawfurd dan Ricklefs.
Usaha-usaha asimilatif dan sinkretik dalam dakwah Islam ala Wali Songo, secara teoritik maupun faktual dapat disimpulkan sangat sulit dilakukan oleh penyebar dakwah Islam dari golongan saudagar maupun ulama fiqh. Maka satu-satunya jawaban yang menunjukkan bekas dakwah bersifat asimilatif dan sinkretik ini adalah kaum sufi.
Melalui pendekatan sufisme, dakwah Islam Wali Songo memasuki ranah adat istiadat yang berhubungan dengan tradisi agama baru yang mengalami proses asimilasi menggantikan tradisi keagamaan lama. Sebagaimana tradisi keagamaan Hinsu-Buddha yang disebut sradha, yaitu upacara meruat arwah seseorang setelah dua belas tahun kematiannya, diasimilasi kedalam nilai-nilai keislaman menjadi tradisi nyadran, yaitu mengirim do’a kepada arwah orang mati. Wali Songo menggeser adat Hindu itu kepada Islam yang bermakna mengucap syukur kepada Tuhan.
Pesantren dan Sistem Pengajaran Hindu-Buddha
Kemudian penyebaran dakwah Islam Wali Songo dilakukam dengan sistem pengajaran model dukuh, asrama, padepokan, dalam bentuk pesantren-pesantren, pesulukan, peguron, juga model pendidikan masyarakat terbuka lewat langgar, tajuk, dan masjid. Para sejarawan menduga adanya kemungkinan pendirian pesantren ini terilhami oleh sistem pendidikan Hindu-Buddha. Artinya ada pengambilalihan lembaga pendidikan Hindu-Buddha menjadi lembaga pengajaran dan pengembangan dakwah berbentuk pondok pesantren. Clifford Geertz pernah mengatakan dalam Agama-Agama Jawa nya, bahwa pondok pesantren memang mengingatkan orang pada biara, tapi santri bukan pendheta. Ini menunjukkan adanya persamaan antara model pengajaran pondok pesantren dengan sistem pendidikan Hindu-Buddha.
Oleh sebab pengambil-alihan sistem pengajaran lokal berciri Hindu-Buddha dan Kapitayan menjadi lembaga pendidian Islam, maka formulasi nilai-nilai sosio-kultural-religius yang dianut masyarakat Islam yang dianut para guru sufi, memiliki kesamaan dengan agama Hindu Buddha. Hal ini dapat dipastikan dengan melihat naskah kuno berbahasa kawi yang berasal dari Majapahit memuat tata krama yang mengatur para siswa di sebuah dukuh dalam menuntut ilmu pengetahuan. Tata krama tersebut meliputi aturan para siswa di sebuah dukuh, sikap hormat dan sujud bakti yang wajib dilaukan para siswa kepada guru rohaninya. Tata krama itu misal, tidak boleh duduk berhadapan dengan guru, tidak boleh memotong pembicaraan guru, menuruti apa yang diucapkan guru, mengindahkan nasihat guru meski dalam keadaan marah, berkata yang dapat menyenangkan guru, jika guru datang harus turun, jika guru berjalan harus mengikuti dari belakang dan sebagainya (Agus Sunyoto, 2014:11). Tata krama ini mirip dengan aturan yang terdapat dalam kitab Ta’limul Mutaallim, karya Syaikh az-Zarnuji sebagaimana diuraikan Agus Sunyoto.
Dalam Hindu mengenal gagasan yang mencakup triguru (tiga guru) yaitu orang tua yang melahirkan, guru yang mengajarkan rohani, dan raja. Gagasan ini masih bisa ditemukan pada masyarakat muslim di Madura yang mengenal konsep (bapa-babu-guru-ratu). Sementara yang paling beroleh penghormatan adalah guru yang mengajarkan pengetahuan rohani. Inilah sebabnya tokoh-tokoh wali Songo cenderung diindahkan masyarakat hingga saat wafatpun makam mereka dijadikan pusat peziarahan oleh masyarat. Ini menandakan bahwa praktik mistik selalu merupakan arus yang kuat di Jawa.
Pesantren, cerita tentang mereka adalah kisah kehidupan yang mempertahankan ritual religius hingga hari ini. ia biasanya memiliki kompleks pemakaman milik para pendiri pesantren yang biasa dikenal dengan istilah astah. Para santri biasanya memiliki kebiasaan mengaji di sekitar kompleks pemakaman atau sekadar tahlilan setiap Kamis sore atau Jum’at pagi. Seorang santri, saat melihat sang guru memasuki mushalla atau masjid atau sebuah ruangan lain, maka mereka akan berebut untuk merapikan sandalnya agar guru bisa langsung memakainya saat hendak keluar. Atau santri yang berebut memakan/meminum sisa dahar guru. Mereka percaya tentang konsep barokah yang ditimbulkan dari setiap kedekatan dan perilaku yang dibangun. Ini merupakan bentuk ibadah sosial yang masih kuat bertahan sampai hari ini.
Patron atau Modeling
Adalah sebuah konsep yang menjadi bagian penting dalam pembentukan tradisi pesantren, yaitu patronase. Tidak menyimpang dari ajaran dasar Islam, patron dalam dunia pesantren agaknya lebih diartikan Tasyabbuh: sebuah ajaran penting yang dilandaskan pada watasyabbahu in lam takûnu mitslahum, innâ tasyabbuha bi ar-rijâli falahu (serupakanlah dirimu jika kalian tidak bisa seperti mereka [tokoh-tokoh berpengaruh dunia pesantren], sesungguhnya proses identifikasi penyerupaan dengan para tokoh adalah sebuah kemenangan).
Abdurahman Mas’ud dalam Intelektual Pesantren (Mas’ud, 2004:29) menyebut patron dengan istilah modeling. Setidaknya modeling telah lama menjadi bagian penting filosofi Jawa yang difokuskan pada person-person tertentu, yakni Nabi dan Wali Songo. Mereka adalah contoh dan kiblat bagi kaum muslim Jawa. Dalam menyampaikan misinya, Wali diyakini sebagai penerus para Nabi untuk memperkenalkan, menjelaskan, dan memecahkan problem-problem masyarakat untuk memberikan contoh ideal dan religius ke masyarakat. Dengan demikian, perilaku para santri dapat terlembagakan dan mereka memiliki kiblat yang jelas tentang perilaku dan aplikasi keyakinan mereka.
Walhasil, narasi di atas menunjukkan sebuah tradisi religius yang fantastik. Akar-akar kehidupan religius ini yang kemudian menjadi benih terciptanya budaya pesantren yang memiliki kekuatan melahirkan tokoh-tokoh penggerak keagamaan untuk akhirnya menjadi wakil Tuhan di bumi dengan sebenar-benarnya wakil. [ ]
Daftar Bacaan:
Agus Sunyuto, Atlas Wali Songo, IMAN: 2014
Abdurrahman Mas’ud, Intelektual Pesantren, LKiS: 2004
Clifford Geertz, Agama Jawa, Komunitas Bambu: 2015
Huston Smith, Agama-Agama Manusia, Serambi: 2013
M.C. Ricklefs, Mengislamkan Jawa Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya dari 1930 sampai Sekarang, Serambi, 2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H