Fenomena "Mager" sebagai Cerminan Gaya Hidup Modern
"Mager" (malas bergerak) telah menjadi istilah yang menggambarkan pola hidup pasif, khususnya di kalangan anak muda. Kehadiran teknologi yang mempermudah berbagai aktivitas, seperti memesan makanan, belanja online, atau bekerja dari rumah, membuat banyak orang merasa nyaman dengan gaya hidup yang minim aktivitas fisik.
Namun, sikap pasif ini bukan hanya masalah individu. Ketika menjadi pola umum, "mager" berpotensi membentuk budaya yang berdampak pada partisipasi sosial. Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah sikap mager ini membuat masyarakat semakin tidak peduli terhadap lingkungannya, dan apakah ini membuka peluang bagi kekuasaan untuk bergerak tanpa pengawasan?
Budaya Mager dan Dampaknya pada Kekuasaan
Tren mager membawa tantangan besar dalam konteks sosial dan politik. Ketika masyarakat menjadi kurang aktif dalam ruang publik, kesempatan untuk membangun dialog kritis dan mengawasi kekuasaan semakin berkurang. Dalam konteks politik, misalnya, rendahnya tingkat partisipasi dalam pemilu atau minimnya keterlibatan dalam isu-isu sosial menunjukkan bagaimana budaya mager dapat mengurangi kemampuan masyarakat untuk mengontrol kekuasaan.
Dalam pandangan sosiologis, kekuasaan membutuhkan pengawasan agar tidak menjadi otoriter. Michel Foucault, seorang pemikir terkenal, menekankan bahwa kekuasaan berfungsi dengan mengatur perilaku masyarakat. Jika masyarakat terjebak dalam pola mager, kekuasaan memiliki ruang lebih besar untuk mendominasi tanpa perlawanan berarti. Dengan kata lain, sikap pasif ini dapat melemahkan pengawasan publik terhadap tindakan penguasa.
Konsekuensi Mager terhadap Kehidupan Sosial dan Politik
Mager tidak hanya berdampak pada produktivitas individu, tetapi juga memengaruhi bagaimana masyarakat berperan dalam proses pengambilan keputusan. Dalam sistem demokrasi, partisipasi publik sangat penting untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas kekuasaan. Ketika masyarakat memilih untuk tidak terlibat, penguasa bisa merasa tidak perlu mempertanggungjawabkan kebijakan mereka, yang berisiko memperlebar jarak antara kebutuhan masyarakat dan kebijakan yang diterapkan.
Selain itu, sikap mager sering kali mengurangi respons masyarakat terhadap isu-isu sosial. Alih-alih turun langsung untuk mendukung sebuah gerakan, banyak orang memilih menunjukkan dukungan mereka melalui aktivitas di media sosial, seperti memberikan "like" atau membagikan unggahan. Meski terlihat seperti bentuk partisipasi, tindakan ini sering kali tidak memberikan dampak konkret terhadap perubahan kebijakan.
Meningkatkan Partisipasi untuk Mengawasi Kekuasaan
Melawan budaya mager menjadi langkah penting untuk menjaga keseimbangan antara masyarakat dan kekuasaan. Salah satu pendekatan yang efektif adalah menciptakan ruang partisipasi yang relevan dengan kebutuhan masyarakat modern. Misalnya, menggabungkan teknologi dengan aktivitas sosial, atau mempromosikan gerakan yang kreatif dan mudah diakses, dapat menarik lebih banyak orang untuk terlibat.
Selain itu, pendidikan memiliki peran sentral dalam menumbuhkan kesadaran sosial. Dengan menanamkan nilai-nilai partisipasi sejak dini, masyarakat dapat memahami pentingnya peran mereka dalam mengawasi kebijakan dan mengontrol tindakan kekuasaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H