Demikian pula dalam muktamar Cipasung pada tahun 1994 yang perpecahannya menimbulkan kepengurusan ganda antara kubu KH Abdurrahman Wahid dan kubu Abu Hasan yang disokong pemerintah Orde Baru. Tak terkecuali dalam pertikaian muktamar NU pascareformasi yang sering kali dilingkupi persitegangan meski tak berdampak pada perpecahan.
Kita bisa melihat bagaimana penjelasan anggota AHWA (Ahlul Halli wal Aqdi) dalam bermusyawarah menentukan rais aam terpilih. KH Zainal Abidin (Sulawesi Tengah) mewakili sembilan anggota AHWA menjelaskan di depan muktamirin bagaimana para kiai sepuh berdiskusi dengan akrab dan penuh adab. Kita juga saksikan bagaimana KH Said Aqil Siroj dan KH Yahya Cholil Staquf yang berkontestasi secara ketat, tapi mampu mengedepankan akhlak mulia. Saling memuji dan menghormati. Demokrasi plus akhlak itulah yang ditunjukkan NU untuk bangsa ini.
Itulah sisi keunikan NU yang lestari dari masa ke masa. Betapa pun keras para kompetitor berkonflik, NU tetap menarik. Bahkan, secara sosiologis, konflik menjadi sebuah lapisan interaksi yang digunakan untuk mengetahui riak gelombang air di setiap pasang surut peristiwa NU.Â
Dengan ini, dalam menyikapi setiap benturan, perseteruan, hingga perpecahan dari perhelatan muktamar NU, tak sewajarnya dimasukkan dalam hati atau baper.Â
Apabila, dalam proses muktamar ada perbedaan cara pandang perihal mengenai teknis pelaksanaan, hingga formatur terpilih yang dihasilkan dalam muktamar, tidak sepatutnya bagi pihak yang tidak puas harus menghujat dan mendiskreditkan muktamar.Â
Maka, ayat persatuan yang disitir tegas dalam surah Al Imran digunakan sebagai Qanun Asasi NU 192 yang berbunyi, ".... Karena itu, persatuan, ikatan batin satu dengan yang lain, saling membantu menangani suatu perkara, dan sepaham  merupakan faktor kebahagiaan yang terpenting dan menjadi pendorong paling kuat untuk menciptakan persaudaraan dan kasih sayang."
Untuk kedepannya diharapkan semua lapisan warga dan pengurus NU harus bersatu. Sebab, diperkirakan dalam lima tahun mendatang, NU akan memasuki usia satu abad yang dicanangkan sebagai kebangkitan kedua (an nahdlah ats tsaniyah).Â
Dengan ini, salah satu tantangan terbesar yang harus dipersiapkan dan disikapi bersama-sama adalah bagaimana membangun ekosistem kemandirian di berbagai sektor, agar NU makin berdaya serta tidak mudah dipermainkan dalam kubang konflik kepentingan pribadi. Dengan ini semoga muktamar Nu kedepannya dapat berjalan lebih khidmat, sesuai dengan NU yang ramah dan damai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H