Jika saja kurikulum merdeka sudah ada sejak dahulu dan semua sekolah patuh menerapkan prinsip-prinsip dari merdeka belajar, mungkin kedepannya tidak ada lagi anak-anak yang bisa baca tetapi tidak bisa membaca, tidak ada lagi anak-anak yang terancam dan terenggut kebahagiaannya, dirampas masa bermainnya, dan tidak ada lagi orang dewasa yang kekanak-kanakkan. Tentunya tidak ada lagi orangtua yang kalang kabut memaksa anak-anak mereka bisa calistung agar tenang ketika masuk SD.
Makna bisa membaca dan bisa baca adalah hal yang berbeda. Bisa baca hanya bisa menggabungkan huruf-huruf menjadi kata. Tetapi, bisa membaca adalah memahami makna isi tulisan.
Sebelum kita mengajarkan membaca dan menulis pada buah hati, apakah kita sudah membacakan buku? Membiarkan si kecil membolak-balik buku cerita dan membiarkan ia mengamatinya? Menuliskan lable pada setiap barang? Apakah kita membiarkan buah hati menggambar "benang kusut" lalu kita tanya isi gambar tersebut apa? kepada buah hati, lalu kita tulis apa yang anak jelaskan.
Dan apakah sebelum mengajarkan menulis, kita sudah mengajak anak bermain playdough? Mengajak anak bermain pasir? Atau mengajak anak bermain beras? atau biji-bijian? Apakah kita sudah tahu hal-hal pra literasi ini? Dan sudahkah menerapkannya pada anak?
Alangkah sedihnya hati ini ketika mengetahui banyak sekali anak-anak yang belum waktunya, tetapi sudah diajarkan calistung. Semarak merdeka belajar ini memang harus kita semarakkan, dan berharap para orangtua melek soal pendidikan dan tumbuh kembang anak.
Pendidikan bukan soal calistung semata, tetapi dari mana pun anak dapat belajar. Mengajarkan anak memilih dan mengambil keputusan, mengajak anak berdiskusi, survive, menolak permintaan anak, bertanggungjawab, semua itu juga proses belajar. Belajar tidak melulu harus dibalik meja dan dibalik buku pelajaran. Tetapi, kita semua dapat belajar dari manapun dan apapun. Bukan berarti kita juga melepaskan begitu saja, tetapi semua ada tahapan belajarnya.
Ketika anak diajarkan calistung sebelum waktunya maka, mereka akan merasa trauma, dan dewasa kelak mereka bisa membaca tetapi tidak paham makna tulisan tersebut. Mereka bisa menulis tetapi mereka tidak cinta menulis, bahkan tulisan mereka tidak memiliki makna yang berarti.
Sebagian para orangtua, merasa tenang ketika memasukkan SD buah hatinya karena sudah bisa calistung. Kenapa? Karena, itu adalah syarat utama masuk SD. Padahal tugas guru adalah mengajarkan murid, bukan menerima murid yang sudah “bisa”.
Sebenarnya, tidak semua sekolah menjadikan calistung sebagai syarat utama. Di sekolah alam, mereka menerima anak yang belum bisa calistung dan mereka paham bahwa calistung diajarkan mulai usia 7 tahun, ketika saraf pada otak sudah mulai bersambungan. Dan yang paling utama diajarkan pada anak, adalah perasaan. Karena pusat perasaanlah yang berkembang lebih dulu.