Mohon tunggu...
Laila Adzahra
Laila Adzahra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswi aktif Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Pendidikan Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kesenjangan Hukum : Indonesia Darurat Keadilan?

27 Desember 2024   18:30 Diperbarui: 27 Desember 2024   19:16 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ditulis oleh : Laila Adzahra, Dr. Dinie Anggraeni Dewi M.Pd., M.H., dan Muhammad Irfan Andriansyah S.Pd. 

Pancasila memiliki fungsi pokok sebagai dasar negara Indonesia yang berarti dasar maupun pedoman dalam mengatur penyelenggaraan negara. Secara yuridis, hal ini tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, khususnya pada alinea keempat. Berkaitan dengan itu, Pancasila sendiri memiliki kekuatan yang mengikat. Jadi, apabila bertentangan dengan Pancasila maka akan dinyatakan tidak berlaku dan harus dicabut.

Fungsi lain dari Pancasila salah satunya ialah sumber dari segala sumber hukum. Hal tersebut ditegaskan oleh Peraturan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Cara Perundang-undangan, tercantum dalam Pasal 1 TAP MPR yang berbunyi, "...Sumber konstitusi nasional adalah Pancasila, sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945,...".

Seperti yang kita ketahui bersama isi dari sila ke-lima yaitu "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Keadilan berarti sikap moral yang menempatkan sesuatu pada tempatnya, ataupun memberikan hak kepada yang berhak. Keadilan ini pun dapat diartikan sebagai tidak berat sebelah, menimbang sama berat, dan mengukur sama panjang. Maka, dapat dikatakan bahwa keadilan ialah pilar dasar terciptanya masyarakat yang sejahtera juga bermartabat.

Sedangkan, keadilan dalam hukum sendiri ialah prinsip atau konsep yang mengacu pada keseimbangan, kesetaraan, dan perlakuan yang adil bagi semua individu dalam sistem hukum. Dapat diartikan bahwa setiap individu tanpa melihat latar belakang apapun, mau itu ras, bahasa, suku, agama, terkhusus status sosial dan lain sebagainya, memiliki hak yang sama di mata hukum untuk diperlakukan secara adil tanpa adanya diskriminasi.

Lalu, sudahkah setiap keputusan hukum yang diambil sesuai dan berlandaskan sila ke-lima Pancasila?

Berkaca pada kasus yang sedang marak diperbincangkan publik, yaitu salah satu tersangka yang terbukti melakukan korupsi komoditas timah dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dengan inisial HM yang telah merugikan negara sebanyak Rp 300 triliun namun hanya divonis selama 6 tahun dan 6 bulan penjara. Kasus tersebut menjadi bulan-bulanan masyarakat dikarenakan hukuman yang tidak sepadan dan dirasa tidak adil. Bahkan, baru-baru ini dilansir dari liputan6.com, Mahfud MD mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) angkat bicara dan mendorong kejaksaan untuk dilaksanakan banding atas vonis yang dijatuhkan kepada tersangka karena dinilai alasan pertimbangan yang ada tampak mengada-ada juga dibuat-buat.

Adapun menurut Pakar Hukum Pidana Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Hibnu Nugroho, hukuman yang dijatuhkan kepada tersangka dinilai terlalu ringan dan tidak sebanding dengan kerugian juga dampak kerusakan yang diakibatkan terhadap negara.

"Hukuman itu terlalu rendah menurut saya. Karena saya berbasis pada teori pemidanaan. Konsep teori pemidanaan itu kan ada tiga. Ada retributif pembalasan, ada rehabilitatif, ada restoratif. Nah dalam kasus-kasus korupsi tambang, saya sepakat dengan Kejaksaan dengan menggunakan konsep retributif pembalasan," kata Hibnu kepada merdeka.com, Selasa, (24/12/24).

"Karena apa? Dengan hukuman yang tinggi nanti, misalkan banding yang tinggi, itu berdampak pada tambang-tambang yang lain tidak semena-mena terhadap tambang itu," sambungnya.

Menurutnya, hukuman yang dijatuhi kepada tersangka tidak dapat menjadikan efek jera kedepannya. Apabila mempertimbangkan kerusakan alam yang ditimbulkan juga kerugian yang didapat oleh negara, tentu dari pertambangan liar tersebut tidak sebanding dengan hukuman yang diterima.

Selain itu, dilansir dari detik.com, Direktur Penuntutan Jampidsus Kejagung, Sutikno, mengatakan pihaknya mengajukan banding atas terdakwa HM dan keempat lainnya yang juga terdakwa dari kasus korupsi komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk Tahun 2015-2022. Alasannya lagi-lagi karena vonis yang dijatuhkan dinilai terlalu ringan dan adanya ketimpangan hukum dalam vonis tersebut.

"(Alasan) satu, putusannya terlalu ringan ya khusus untuk pidana badannya. Dari situ nampak kelihatan hakim ini hanya mempertimbangkan peran mereka, para pelaku. Tetapi hakim nampaknya belum mempertimbangkan atau tidak mempertimbangkan dampak yang diakibatkan oleh mereka terhadap masyarakat Bangka Belitung," ucapnya kepada wartawan, Jumat (27/12/2024).

Lantas, apa saja pasal-pasal yang menjerat terdakwa HM? Dilansir dari news.detik.com, beberapa pasal yang menjerat terdakwa kasus korupsi komoditas timah diantaranya Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Berdasarkan kasus yang telah diuraikan, bisakah kita menyimpulkan bahwa hukum di Indonesia adil dan sesuai dengan ideologi kita, khususnya Pancasila sila ke-lima? Bagaimana kelanjutan dari kasus tersebut? Apakah akan berakhir dengan makna keadilan yang telah kita mengerti dan pahami? Ataukah...?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun