Masjid Raya Baiturrahman yang terletak di pusat Kota Banda Aceh menjadi penanda kota sekaligus icon Provinsi Aceh. Masjid Raya Baiturrahman memiliki gaya arsitektur kolonial dengan tampilan atap kubah. Awalnya masjid raya Baiturrahman menggunakan atap tumpang atau atap bersusun tiga dengan dindingnya terbuat dari tanah dan penutup atap dari daun rumbia.Â
Dalam Kitab Takhiratur Rakidin kaya Syekh 'Abbas Kuta Karang disebutkan bahwa peristiwa penyerangan terhadap masjid raya Baiturrahman terjadi pada hari Sabtu siang menjelang shalat Dzuhur. Perang Aceh-Belanda yang dimulai pada 22 Maret 1873 akibat penolakan Sultan Tuanku Muhammad Syah mengakui kedaulatan Belanda di Aceh. Sasaran pertama Belanda adalah merebut masjid raya Baiturrahman karena dianggap sebagai benteng pertahanan rakyat Aceh. Usaha Belanda ini gagal yang berujung tewasnya Jenderal Kohler di bawah pohon Geulumpang yang tumbuh di halaman namsjid raya Baiturrahman. Belanda menamakan pohon Geulumpang tersebut dengan Kohler Boom (Pohon Kohler).
Bulan November 1873 Belanda mengerahkan tentaranya dari pulau Jawa dan tempat-tempat lain untuk menundukkan Aceh. Penyerbuan ini dipimpin oleh Jenderal Van Swieten dibantu oleh Mayor Jeneral G.M. Verspijck. Penyerbuan ini dimulai tanggal 9 Desember 1873 . 6 Januari 1874 akhirnya Belanda berhasil menguasai masjid raya Baiturrahman melalui tembakan meriam yang diarahkan ke bagian atapmembuat masjid raya Baiturrahman terbakar habis beserta pejuang dan ulama Aceh yang berada di dalamnya. Untuk menunjukkan kepada dunia luar bahwa Aceh masih berdaulat, pada tahun 1878 sesuai dengan adat, Tuanku Muhammad Daud Syah dinobatkan sebagai Sultan Aceh di Masjid Indrapuri.Â
Terbakarnya masjid raya Baiturrahman menyulut kemarahan rakyat Aceh dan menjadi salah satu faktor panjangnya perang Aceh dalam melawan Belanda. Guna meredam kemarahan rakyat Aceh, Gubernur Belanda pada saat itu Jenderal J. Van Swieten berjanji akan membangun kembali masjid Raya Baiturrahman yang telah hancur tersebut. Ketika Van Lansberge mengunjungi Aceh Besar pada tahun 1877, ia mengulangi janji Gubernur Jenderal Van Swieten untuk membangun kembali Masjid Raya Baiturrahman. Pada bulan Safar 1295 H/awal Maret 1877, dengan mengingat janji Jenderal Van Swieten, Gubernur Jenderal Van Lansberge menyatakan akan membangun kembali masjid Raya Baiturrahman pada lokasi yang sama.
Van Landsberge memerintahkan untuk membangun masjid baru dengan kesan estetis, dikerjakan secara baik dan memenuhi persyaratan dalam Islam. Masjid ini dirancang oleh seorang arsitek Eropa yang berkonsultasi dengan para pemimpin yang berwawasan Eropa. Arsitek pembangunan masjid Raya Baiturrahman adalah seorang Belanda bernama Bruins dari Departemen Van Burgelijke Openbare Warken (Departemen Pekerjaan Umum) di Batavia. Untuk urusan keagamaan diminta bantuan kepada penghulu Besar Garut  agar polanya tidak bertentangan dengan aturan-aturan dalam agama Islam. bangunan masjid Raya Baiturrahman diborong oleh orang Cina yang bernama Lie A Sie seorang Letnan Cina yang berkedudukan di Aceh saat itu.[1] Material bahan bangunan didatangkan dari pulau Pinang, batu marmer dari Cina, besi untuk jendela dari Belgia, kayu dari Birma, dan tiang-tiang besi dari Surabaya. Karena pemborong dan sebagian materialnya berasal dari Cina, maka arsitektur Cina yang melekat pada masjid Raya Baiturrahman terlihat dari bentuk sisi atapnya yang berbentuk seperti pelana.
Tanggal 24 Safar 1299 H/27 Desember 1881 M pembangunan masjid Raya Baiturrahman dinyatakan selesai dengan penampilan satu kubah. tahun 1927, Masjid Raya Baiturrahman dilengkapi dengan minaret atau menara yang dibiayai oleh perusahaan perkebunan swasta Belanda yakni Deli Maatschappij. Tahun 1936 oleh Residen Y. Jongjans kubah masjid ini ditambah lagi menjadi dua yang terletak di sisi kiri dan kanan masjid. Penambahan kubah ini menelan biaya sebesar 35.000 gulden dengan arsitek Ir. Mohammad Thaher yang bekerja di Dinas Pekerjaan Umum (Burgelijke Openbare Warken).Â
tahun 1958 dibawah kepemimpinan Gubernur Aceh Ali Hasjmy, masjid Raya Baiturrahman diperluas lagi menjadi lima kubah dengan penambahan dua menara di sampingnya. Pelaksanaan perluasan masjid Raya Baiturahman dilakukan oleh N.V. Zein dari Jakarta dan peletakan batu pertama dilakukan oleh Menteri Agama Republik Indonesia saat itu K. H. M. Ilyas pada tanggal 16 Agustus 1958. Dalam perluasan ini ditambah lagi dua kubah dan dua menara di sisi utara dan selatan sehingga masjid Raya Baiturrahman memiliki lima kubah dan dua menara.
 Arsitektur masjid raya Baiturrahman yang tampil dengan atap berbentuk kubah menjadi tonggak baru dalam bidang arsitektur masjid dan menjadi penanda masjid dengan arsitektur modern.  Hingga tahun 1990an, seluruh arsitektur masjid yang ada di Aceh mengikuti gaya arsitektur masjid raya Baiturrahman karena dianggap sebagai arsitektur yang ideal untuk masjid dan menjadi penanda masyarakat yang modern.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H